Judul Buku : Indonesia For Sale
Pengarang : Dandhy Dwi Laksono
Penerbit : Jalan Baru
Tahun Terbit : Cetakan pertama 2009/Cetakan kedua 2018
Dimensi Buku : xxxviii+340 hlm 13 x 19 cm
Berawal dari percakapannya dengan sopir taksi soal kenaikan harga BBM, Dandhy Dwi Laksono, penulis buku, memulai petualangan nalar dan pergolakan batinnya untuk bercerita tentang Indonesia dan “salah obat” yang diderita negerinya itu. Ia pun terlibat berbagai percakapan jalanan dengan rakyat yang seringkali menjadi korban kebijakan ekonomi.
Meskipun tulisan reflektif ini bukanlah buku teori ekonomi, tapi sangat bergizi dan mendorong kita memahami rumitnya sistem ekonomi global dan benang merahnya pada kebijakan ekonomi nasional. Dalam buku ini, Dandhy mengajak kita untuk membongkar berbagai data dan fakta kebijakan ekonomi yang seringkali tak terekspose di media, kemudian berpetualang mengenal Adam Smith, hingga membahas “resep-resep neoliberalisme”, yang katanya obat bagi kesehatan ekonomi Indonesia. Tulisan “berat” dan penuh kejutan ini dianalogikan menjadi “cerita rakyat” yang dibaca dengan kacamata jalanan dan pengalaman pribadi rakyat kecil.
Ada lima bagian besar dengan sub cerita dalam buku ini. Dalam setiap bab, Dandhy menempatkan tokoh-tokoh imajiner sebagai teman dialognya. Dialog jalanan yang sangat renyah dan dibungkus kelakar khas rakyat itu berhasil mencairkan beberapa tema “berat” dalam bagian buku ini.
Bagian pertama berjudul “Orang Awam Menggugat”, mengisahkan awal dari segala petualangan nalar dan penguraian data serta analisa Dandhy menyoal Neoliberalisme. Pertemuan dengan sang sopir taksi membuat Dandhy menelusuri data dan fakta soal gejolak harga BBM yang naik turun, ekspor gila-gilaan hasil kekayaan sumber daya alam Indonesia, dinamika pengelolaan SPBU lokal dan asing, hingga sengkarut subsidi untuk rakyat yang dituduh menjadi ajang pemborosan APBN.
Kedua, “Komersialisasi Sampai Mati”, menceritakan tentang berbagai rekam jejak komersialisasi sumber daya alam yang erat kaitannya dengan privatisasi dan swastanisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia. Dandhy menulis bahwa komersialisasi tidak selalu identik dengan mata duitan. Masalahnya otak dan hati menggerus nilai-nilai sosial kita sebagai manusia, yang menumpulkan solidaritas dan menihilkan pelayanan umum, yang menjadikan kita makhluk haus uang, karena adanya logika bahwa tanpa uang hidup tak bermutu. Inilah alam berpikir neoliberalistis. Dan di kota-kota yang kita tinggali sekarang ini, wajah neoliberal itu muncul dalam berbagai aspek kehidupan. Hampir tidak ada lagi yang bisa gratis, mungkin kecuali bernafas.
Ketiga, dalam bagian yang berjudul “Neoliberal yang Saya Kenal”, Dandhy banyak membahas soal sejarah lahirnya Neoliberalisme dan perkembangan di Eropa. Dimulai dari pemberontakan William Wallace menggugat aristrokrasi dan monarki di Skotlandia, Adam Smith yang mencetuskan liberalisme ekonomi, kebangkrutan dan kritik terhadap liberalisme itu sendiri hingga kebangkitannya menjadi Neoliberalisme.
K e e m p a t , dal am judul “Neoliberalisme k e g e m a r a n Indonesia”, Dandhy membuka data dan fakta yang lebih spesifik mengenai rekam jejak kebijakan pemerintah yang bernafaskan semangat neoliberalisme. Dalam judul keempat ini percakapan Dandhy bersama Samin dan Dul di Taman Monas menjadi lebih asyik karena kedatangan sang penjual kopi yang banyak menghujani Dandhy dengan berbagai soal dalam kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kelima, dalam judul “Neoliberalisme di Media”, Dandhy menceritakan bagaimana ruang-ruang redaksi media bisa dengan mudahnya diintervensi oleh kepentingan politik para penguasa. Padahal, menurut Dandhy, dihadapan jurnalistik seharusnya semua pihak itu kedudukannya setara, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Tugas jurnalisme bukannya mengakomodasi tafsir-tafsir politik yang diminta Negara, tapi memastikan apakah semua perspektif sudah terwakili sehingga penilaian akan bisa dilakukan oleh rakyat.
“menurut Dandhy, dihadapan jurnalistik seharusnya semua pihak itu kedudukannya setara, tidak ada yang lebih tinggi atau rendah. Tugas jurnalisme bukannya mengakomodasi tafsir-tafsir politik yang diminta Negara, tapi memastikan apakah semua perspektif sudah terwakili sehingga penilaian akan bisa dilakukan oleh rakyat.”
Resep-Resep “Sehat” yang “Mematikan”
Jika dianalogikan sebagai orang sakit, Indonesia pasti butuh obat untuk sembuh. Itulah yang terjadi ketika Indonesia mengalami sekarat parah pada 1997-1998. IMF waktu itu hadir memberikan resep obat kepada Indonesia. Resep itu bernama: Neoliberalisme. Saat itu, Neolib dipercaya merupakan sebuah obat mujarab yang khasiatnya ampuh dan mutakhir. Beberapa kandungan resep mutakhir tersebut di antaranya, pertama, Kedaulatan Pasar yaitu pasar harus dibiarkan bebas tanpa campur tangan pemerintah, baik pasar uang, jasa, maupun barang.
Kedua, Deregulasi, yaitu pemerintah harus membagi kekuasaan pada pihak swasta. Tidak boleh ada aturan-aturan yang membebani dan mengurangi laba perusahaan. Termasuk aturan kelestarian lingkungan dan keselamatan kerja.
Ketiga, Pemangkasan pajak, hemat biaya sosial, dan pemerintah tidak boleh menarik pajak tinggi dari pengusaha. Belanja sosial seperti infrastruktur air, pendidikan, dan transportasi juga biar ditangani oleh swasta. Pemerintah, misalnya, cukup mengurus pertahanan keamanan dan belanja militer.
Keempat, Privatisasi. Pengelolaan BUMN oleh pemerintah itu sarat korupsi dan tidak efisien maka dari itu serahkan saja pengelolaannya kepada swasta dan asing agar lebih lincah dan kompetitif.
Itulah resep-resep neolib yang dipercaya akan mampu mensejahterakan bangsa. Negara-negara berkembang biasanya harus minum obat yang diresepkan oleh IMF dan Bank Dunia. Keempat resep neolib tersebut juga sepertinya diadopsi dalam perancangan RUU Omnibuslaw, semangat investasi dan privatisasi sumber daya alam berkobar tanpa memikirkan kelestarian lingkungan dan masyarakat lemah yang termarginalkan.
Akhirnya, untuk keluar dari krisis 1997-1998, IMF pun memberikan Letter of Intent (LoI) kepada Indonesia sebagai perjanjian atas “resep” yang dijanjikan. Bukan hanya resep-resep untuk menghadapi krisis, hutang luar negeri pun ditukar guling dengan agenda liberalisasi global yang sama sekali tidak relevan dengan penanganan krisis di tanah air.
Neoliberalisme: Yang Bangkit (lagi), Yang Menjatuhkan
Dalam kliping yang dikutip Dandhy, ia menulis bahwa Neoliberalisme bukan perkara ilmu ekonomi, tetapi merupakan filsafat politik. Karena itu membatasi perdebatan neoliberal hanya pada persoalan ekonomi itu salah kaprah. Neoliberal adalah cara berpikir yang menganggap bahwa mekanisme pasar (dan bukan intervensi Negara) merupakan pilihan terbaik untuk mengatur semua sendi kehidupan rakyat.
Sebelum Neoliberalisme lahir dan bangkit kembali, sejarah panjang tentang kelahirannya telah dimulai 400 tahun sebelum Adam Smith menggagas liberalisme ekonomi. Momentum kelahirannya merupakan perlawanan pada sistem monarki dan aristorkrasi. Liberalisme yakin bahwa manusia unggul bukan karena keturunan raja atau ditunjuk Tuhan, melainkan berkat kapasitas intelektual dan jaringan bisnisnya. Revolusi industri pun lahir di Inggris dan negara-negara Eropa pada abad ke-18 hingga 19.
Smith percaya bahwa tak boleh ada ada pembatasan produksi, dan kebijakan yang menghalangi perdagangan. Perdagangan bebas adalah cara terbaik untuk membangun ekonomi, Sebab manusia adalah makhluk ekonomi yang cenderung ingin mencari keuntungan dan menyejahterakan dirinya.
Liberalisme awalnya memang gerakan perlawanan pada kaum elit. Namun, di sisi lain paham ini sangat percaya bahwa modal dan ceruk keuntungan pasar tidak boleh dibatasi, karena modal akan terus membelah diri seperti sel dan melipatgandakan keuntungan demi mewujudkan kesejahteraan. Inilah prinsip dasar kapitalisme. Liberalisme pun runtuh saat terjadi resesi dan depresi ekonomi di Amerika pada 1930.
John Maynard Keynes, ekonom Cambridge University mengkritik liberalisme (1883-1946). ia menawarkan konsep welfare state atau Negara kesejahteraan. Intervensi Negara pada persoalan ekonomi sangat diperlukan, pasar harus diatur tidak boleh dibiarkan liar. Ajaran Keynes juga runtuh karena dominasi pemerintah membuat korupsi terjadi di mana-mana.
Pasca runtuhnya liberalisme dan Keynessian dalam sistem ekonomi, ekonom Freidrich Von Heyek mencoba membangkitan lagi liberalisme. Heyek menginginkan sistem kapitalis yang sama seperti abad ke-19 di mana kebebasan individu dalam persoalan ekonomi dan perdagangan tidak lagi dicampuri pemerintah. Regulator utama dalam persoalan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Neoliberalisme kembali bangkit ibarat hantu yang bergentayangan. Kebangkitannya tentang kedaulatan pasar bukan hanya terjadi pada persoalan ekonomi atau perdagangan, tetapi pasar menjadi ideologi untuk mengatur kehidupan sosial, politik, dan hukum. Pendidikan, kesehatan, dan air. Jadi Neo-nya ini adalah soal kebaruan dan soal penambahan unsur yang diliberalkan.
Jika Neo-liberalisme adalah wajah baru dari kebangkitan liberalisme yang telah bangkrut, maka ia telah bermutasi menjadi monster yang lebih mengerikan. Jika akar kelahiran liberalisme pada dasarnya melawan dominasi elit dan monarki aristokrasi, maka saat ini neoliberalisme sedang melawan kemanusiaan. Dengan baju “kesejahteraan” ia mengobral Indonesia di jalanan sambil berteriak: “INDONESIA FOR SALE! INDONESIA FOR SALE!”
Apa sekarang Indonesia telah sembuh? Atau masih mengidap penyakit kronis karena salah obat yang berkelanjutan?
Dinda Ahlul Latifah
Peneliti IRE