Yogyakarta (1/6/2016)
Dalam perjalanan UU Desa yang sudah diterapkan selama hampir 2 tahun, pendamping desa menjadi topik yang sedang hangat dibahas saat ini. Hal ini disebabkan pendamping desa memiliki peran strategis yang bisa menjadi faktor pendukung bagi keberhasilan Nawacita Pemerintahan Jokowi-Jk. Sayangnya, para pendamping desa maupun pendamping lokal desa yang direkrut oleh Kemendesa banyak yang tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan.
Pendampingan desa yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya muncul baru-baru ini. Sebelum Kemendesa memiliki skema pendamping desa untuk mengawal jalannya UU Desa, kementerian lain juga sudah memiliki pola serupa. Sepertihalnya pendampingan PNPM yang merupakan program dari Kemendagri, PKH (Program Keluarga Harapan) dari Kemensos, program Bidan Desa dari Kemenkes, dan masih banyak lagi. Namun menurut Totok Raharjo, Pendamping senior dari Insist (Indonesian Society for Social Transformation), pendampingan dari pemerintah tersebut berjalan sendiri-sendiri, tidak bersinergi, dan banyak hal fundamental yang terlupakan.
Permasalahan terkait pendamping dari pemerintah ini mulai perekrutan yang dikendalikan dari pusat. Perekrutan menjadi menjadi hal penting, mengingat hasil dari proses perekrutan itulah yang akan menjadi daya dorong jalannya pendampingan di desa. IRE melakukan penelitian di tujuh kabupaten di Indonesia (Kulon progo, Sambas, Lombok Timur, Timor Tengah Selatan, Buton Selatan, Ambon, Musi Rawas) menemukan kenyataan di lapangan, bahwa skema perekrutan sudah terlihat tidak sehat, mulai dari pengumuman lowongan yang hanya beberapa hari dan hanya bisa diakses oleh segelintir orang, soal tes tulis yang tidak dibedakan antara TA (Tenaga Ahli), dan PD (Pendamping Desa), hingga tes wawancara yang sangat permukaan dan waktu yang singkat. Tester seleksinya pun juga didatangkan dari pusat.
Dampaknya orang-orang yang lolos seleksi dan saat ini telah menjadi pendamping desa kurang mampu menjawab kebutuhan desa. “Perekrutan tidak bisa sentralistik, dan harus melihat kondisi desa beserta potensi yang ada,” kata Abdur Rozaki, peneliti IRE. Pendamping desa yang tidak berasal dari daerahnya akan banyak mengalami kesulitan untuk mengartikulasi kebutuhan masyarakat desa. Bahkan menurut Helena, direktur YMP (Lombok Research Centre), saat ini masyarakat belum medapatkan manfaat dari pendamping desa. Tahapan rekruitmen mungkin menjadi tahap kedua. “Yang lebih penting, pendampig desa lahir dari desa, tetapi lebih pada ketrampilan mengorganisir masyarakat untuk mengoptimalkan potensi yang ada di desa. Karena banyak potensi yang ada di desa namun tidak diangkat menjadi kebijakan,” tutur Helena.
Arie Sujito, peneliti senior IRE, menawarkan konsep pendampingan organik, yakni pendampingan yang lahir dari orang desa. Ia berpendapat bahwa pendampingan yang berasal dari pemerintah saat ini merupakan pendampingan transisi. Dimana intervensi berupa pendampingan ini tidak selamanya. “Ketika desa sudah menguat dalam pelayanan dasar, pengelolaan asset, dan mampu melakukan inovasi-inovasi, maka selanjutnya tidak perlu pendamping dari pemerintah lagi,” kata Arie.
Meski begitu, perlu kita mengingat semangat UU No.6/2014 pasal 112 ayat 4, bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten untuk melakukan pembinaan dan pengawasan dalam kerangka implementasi UU Desa, termasuk pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan melalui kegiatan pendampingan, dalam perencanaan, pelaksanaan hingga pemantauan Pembangunan Desa dan Kawasan Pedesaan. Hal ini berarti pendampingan masyarakat dilakukan dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, selain itu juga Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten memiliki kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan dalam proses pendampingan.
“Pendamping desa seharusnyalebih fundamnetal dalam mengembangkan masyarakat desa, bukan malah mendampingi elit desa seperti yang terjadi selama ini. Karena semangat UU Desa ini lebih partisipatif dengan basis data dan partnership,” tutur Rozaki. Ia menambahkan bahwa program yang masuk ke desa harus diintegrasikan dengan pemerintah desa, selain itu juga diperlukan kekuatan antara masyarakat dan pemerintah desa untuk membangun desa. NGO dan Pemdes perlu menyuarakan apa yang harus disuarakan agar desa berdaya dapat tercapai.
Paska riset dan menyusun riset paper, IRE melakukan workshop pada tanggal 1 Juni 2016, untuk mendiskusikan kegelisahan terkait pendampingan ini, kedepan masukan forum akan dikomunikasikan dengan pemangku kebijakan seperti Kemendesa, Kemendagri, dan Bappenas untuk mengadopsinya sebagai kebijakan nasional. Forum ini mengundang aktivis NGO, dan akademisi. Hal tersebut dilakukan mengingat mereka adalah aktor non pemerintah yang selama ini telah melakukan kerja-kerja pendampingan desa. Temuan riset IRE menunjukkan bahwa kerja-kerja NGO di desa, telah berhasil melakukan capaian-capaian positif dalam bidang ekonomi desa, demokratisasi desa, peningkatan ruang partisipasi, dan perwujudan pembangunan desa yang lebih inklusif.
Terkait konsep pendampingan desa, IRE memiliki tawaran bahwa pendampingan dapat dilakukan dengan cara mempertimbangkan keragaman dan kapasitas desa. Penting juga untuk melihat kekuatan masyarakat dan Pemdes, seperti tradisi kewargaan masyarakat dan pelayanan public. Pendampingan harus tetap memegang filososfi desa membangun, sebagaimana asas rekognisi dan kedudukan desa sebagai self governing community, bukan sebagai obyek penerima tenaga pendamping desa. Selanjutnya tradisi NGO yang tumbuh di setiap daerah melakukan pengorganiasasian yang panjang sehingga masyarakat tumbuh dan berkembang.
Model pendamping Asimetris Pluralis akan menjadi model pendampingan yang idesal. Dimana asimetris tersebut karena setiap daerah di Indonesia berbeda dengan keragaman masing-masing, dan pluralis ini dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat. “Pendamping Asimetris Pluralis Dapat mengupayan potensi yang ada di desa ke arah lebih baik dalam bidang sosial, ekonomi, budaya. Karena pendampingan tidak hanya teknoktarsis dan adminitratis. Pendampingan desa merupakan aktivitas mentransformasikan nilai-nilai yang terkandung dalam UU Desa agar bisa diterjemahkan dalam laku keseharian di desa,” pungkas Rozaki.[]
Melani Jayanti
Peneliti IRE
ya iya okey