Lompat ke konten

Mendorong Warga Menjadi Demos: Catatan Musdes Mertelu

  • oleh

 

Screen Shot 2015-08-31 at 9.48.26 AM

Kamis (20/8/2015) lalu menjadi hari yang bersejarah bagi Desa Mertelu, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul. Pertama kalinya sejak implementasi UU Desa, Mertelu menyelenggarakan Musyawarah Desa untuk penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) secara lebih serius. Ini sekaligus pengakhiran PNPM di Desa Mertelu. Sejatinya ini adalah sesuatu yang baru. Sejalan dengan Permendagri 114/2014, Musyawarah Desa Penyusunan RKPDes diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dan dihadiri oleh perwakilan kelompok masyarakat. Sedari pagi perwakilan warga desa dari 10 pedukuhan yang ada di Mertelu ‘turun gunung’ untuk datang ke Balai Desa Mertelu. Meskipun baru dua hari yang lalu undangan disebarluaskan, kehadiran mereka untuk menghadiri Musdes bisa dikatakan relatif tinggi.

Sebagai gambaran, Mertelu adalah sebuah desa yang dikelilingi oleh perbukitan Batur Agung (wilayah utara), letaknya 25 km dari Kota Wonosari. Meskipun secara administratif masuk ke dalam wilayah Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunungkidul; kegiatan ekonomi masyarakat Mertelu sebagian besar tersebar ke daerah Klaten (Bayat). Sebagian besar penduduk Mertelu bekerja sebagai petani dan buruh tani. Tak banyak yang mereka lakukan di kala musim kemarau panjang seperti saat ini. Hanya sedikit lahan yang dapat dimanfaatkan di tepi Sungai Oya yang hampir mengering. Kepadatan penduduk di sepuluh pedukuhan di Mertelu sangat rendah, satu rumah ke rumah yang lain saling berjauhan satu sama lain. Meskipun demikian, ikatan solidaritas sosial di antara mereka terbilang masih sangat kuat. Ini terbukti dengan tingginya tingkat partisipasi warga untuk menghadiri musyawarah dusun maupun kegiatan kerja bakti pengecoran jalan dan pengerjaan talud. Itu semua dilakukan dengan kerja swadaya masyarakat. Itulah sedikit gambaran mengenai kondisi sosial Desa Mertelu.

Kembali ke Musdes. Ada beberapa catatan mengenai pelaksanaan Musdes Mertelu kemarin. Pertama, partisipasi warga relatif tinggi dalam pelaksanaan musyawarah desa, namun tidak dibarengi dengan kapasitas teknokrasi institusi pemerintah desa yang baik. Dapat dikatakan musyawarah desa kemarin telah mewakili kelompok-kelompok sosial masyarakat yang ada di Mertelu, seperti kelompok tani, perempuan, pemuda, tokoh masyarakat, dan perwakilan kelompok masyarakat miskin. Kehadiran mereka pun tak sebatas presensi tanda tangan. Mereka menyampaikan aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan yang dihadapi. Harapannya, aspirasi masyarakat tersebut akan terakomodasi dalam Dokumen RKP Desa. Kita masih menunggu proses partisipatif berikutnya. Apakah jejak partisipasi warga tersebut berbekas dalam dokumen perencanaan dan penganggaran atau sebatas berakhir di meja musyawarah. Sayangnya, dari hasil pembacaan di lapangan, partisipasi warga yang relatif tinggi tak diimbangi dengan kapasitas teknokrasi perangkat desa yang memadai. Diperlukan adanya kemampuan teknis manajerial untuk dapat menerjemahkan aspirasi warga menjadi ‘bahasa’ perencanaan dan penganggaran. Memang proses yang demokratis seringkali tak melulu menghasilkan produk kebijakan yang emansipatoris. Kelak, ini yang menjadi pekerjaan rumah bagi IRE dan Mertelu untuk mengawal setiap proses kebijakan agar demokratis dan partisipatif.

Catatan kedua, penyelenggara Musdes nampaknya belum memahami tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing dalam mengelola jalannya Musdes. Permendes No. 2/2015 setidaknya mengatur bahwa Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang semestinya bertindak sebagai pemandu jalannya Musdes. Dalam konteks Musdes Mertelu yang lalu, peran Ketua BPD justru sebagian besar diambilalih oleh pemandu acara (MC). Padahal, sebagai representasi masyarakat peran BPD cukup krusial untuk memandu, mengatur, dan memastikan efektivitas jalannya Musdes. Meskipun terkesan teknis, namun hal ini nampaknya penting untuk memastikan proses partisipatif tersebut tidak ‘terdistorsi’ dan hasilnya berkualitas.

Ketiga, perwakilan kelompok pemuda cenderung tak bersuara. Kelompok pemuda yang diwakili oleh Karang Taruna justru tak cukup terdengar suaranya dalam pelaksanaan Musdes tersebut. Padahal, setelah kami gali informasi terhadap anggota Karang Taruna, mereka sebenarnya memerlukan kejelasan dalam pengelolaan Green Village Gedangsari yang menjadi aset potensial bagi Desa Mertelu. Selama tiga bulan sejak beroperasinya destinasi wisata alternatif ini, pengelolaan Green Village (utamanya parkir dan kebersihan) dijalankan secara voluntir oleh kelompok pemuda dari dua desa yang saling berbatasan (Mertelu dan Watugajah). Aspirasi mereka adalah adanya sistem pengelolaan yang jelas dan upaya serius pemangku kepentingan antar desa untuk mengoptimalkan nilai tambah dari aset tersebut.

Musyawarah Desa Mertelu beberapa waktu yang lalu agaknya memberikan kita pembelajaran yang menarik. Demokrasi yang dibayangkan oleh David Beetham sebagai kontrol populer dan kesetaraan politik nampaknya dapat kita lihat dalam pelaksanaan Musdes tersebut, meskipun dengan beberapa catatan. Upaya ini perlu didukung untuk mendorong masyarakat menjadi demos yang sadar akan perlunya kontrol publik atas sumberdaya dan kebijakan. Sungguhpun demikian, proses kebijakan yang partisipatif tersebut mesti dibarengi dengan proses teknokrasi yang baik. Dalam konteks ini, tapak partisipasi dalam proses perencanaan bisa jadi tak berbekas dalam hasil perencanaan manakala pemerintah desa tak mampu menuangkannya dalam dokumen perencanaan. Mari kita tunggu hasilnya!

Rajif Dri Angga

Peneliti Muda IRE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.