Mengimpelementasikan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) memang tidak semudah membalik telapak tangan. Namun, menata rute agar implementasi tidak salah arah juga bukan pekerjaan sulit. Pertama dan yang utama tentu saja adalah harus ada pemahaman yang mendalam terhadap roh, semangat, serta nilai yang terkandung dalam UU Desa yang ada. Tanpa itu, mustahil desa akan mewujud seperti apa yang digambarkan dalam UU Desa.
Jika kita bandingkan dengan UU yang sebelumnya ada mengatur desa, jelas bahwa dalam UU Desa yang baru ini ada semangat mendorong demokratisasi di level desa. Ada upaya mendorong pelibatan seluruh unsur masyarakat dalam menyelesaikan persoalan dan tantangan yang ada di desa. Dengan demikian kontrol atas arah yang hendak dituju oleh desa tidak lagi semata-mata milik pemerintahan desa, melainkan menjadi tanggung jawab seluruh warga desa.
Sayangnya, jika kita cermati pelaksanaan UU Desa yang sudah berlangsung sejauh ini, nampak masih adanya kehendak dari pemerintah pusat untuk tetap mempertahankan cara dan pola-pola lama dalam berelasi dengan desa. Desa tetap dijadikan medan politik kepentingan dengan berbagai target yang ditentukan oleh pusat.
Beberapa lembaga dan kementrian di tingkat pusat sibuk menentukan ukuran-ukuran ‘keberhasilan desa’. Sementara hal yang bersifat fundamental, misalnya mensupervisi desa untuk menemukan kewenangannya hampir tidak dilakukan. Padahal menemukan dan menyusun kewenangan desa adalah fundamen penting agar UU Desa bisa diimplementasikan dengan baik. Tanpa kewenangan, mustahil desa bisa menentukan masa depannya sendiri.
Karena itu, pemerintah pusat sudah selayaknya mengubah cara pendekatan dalam mengimplementasikan UU Desa. Dengan UU Desa yang baru ini, desa bukan lagi lokasi proyek negaranisasi yang semuanya ditentukan dan dikontrol oleh pemerintah pusat. Tugas pemerintah sekarang adalah menemani dan mensupervisidesa sehingga desa bisa menentukan masa depan yang hendak dituju. Masa depan yang lebih mensejahterakan warga desa.