“Saya ingat pada 2017 lalu saya sedang duduk mengenakan kaos dan celana pendek ketika seorang ibu meminta saya mengantarkannya ke Gereja Ayam Jago, setelah itu ia memberikan saya uang Rp. 100.000. Saya langsung berpikir dan mulai bergerak,”cerita Cemplon didiskusi bulanan yang diselenggarakan IRE Yogyakarta. Tiga tahun lalu perempuan tangguh ini adalah seorang pembuat batu bata, sampai suatu ketika sebuah peristiwa sederhana menggerakannya untuk memulai jalan perjuangan menjadi seorang perempuan desa yang merintis kiprah kolektif untuk tumbuh dan mengembangkan desa melalui sektor pariwisata.
Jumat 28 Februari 2020 IRE Yogyakarta mengadakan diskusi bulanan bertajuk Kiprah Perempuan Desa dalam Percepatan Pencapaian SDG’s. Dalam diskusi tersebut hadir tiga narasumber, Cemplon sebagai penggerak pariwisata desa, Ari Indah Hayati perwakilan perempuan pemangku kebijakan desa (BPD), dan Dina Mariana peneliti IRE.
Hujan deras sempat turun beberapa saat sebelum diskusi, namun semua itu tidak menyurutkan semangat para peserta untuk “menyalakan” nalar kritisnya dalam diskusi sore itu. Diskusi dibuka dengan kisah renyah dan mengguggah Cemplon, seperti yang ia tuturkan di dalam diskusi yang memulai perjuangan dari bawah sebagai seorang tour guideotodidak, barulah ia mengasah kemampuannya dalam pengelolaan potensi wisata desa dengan mengikuti pelatihan pembangunan desa inklusif yang diadakan oleh IRE.
Setelah mengikuti pelatihan, Cemplon mulai mengorganisir para perempuan dan kaum ibu didesanya untuk berhimpun membentuk kelompok ojek wisata. “Awalnya memang penuh tantangan dan kesulitan, namun dinamika perjuangan membentuk mereka semakin kuat dan berkembang,”ungkap Cemplon.
“Awalnya tantangannya itu karena kita belum terbiasa untuk melayani wisatawan, jadi masih belum bisa menyesuaikan pakaian dan bahasa. Cape sih sebetulnya, tapi saya harus berjuang, Ini semua bukan hanya untuk kemajuan kelompok kami, tapi untuk mengembangkan desa kami sebagai desa wisata. saya berpikir sebagai warga asli desa, bagaimana caranya, desa kita tidak boleh didominasi kaum-kaum elit yang berada diluar desa, sebisa mungkin kita harus berpikir kreatif dan inovatif” tambah Cemplon dengan nada berapi-api.
Kisah menguggah sore itu tak hanya datang dari Mbak Cemplon, Ari indah Hayati juga membawa kisah perjuangan yang membakar semangat, sebagai seorang anggota BPD dan perempuan yang berkiprah dalam ruang politik desa, Ari sadar betul bahwa perempuan memiliki banyak peluang sekaligus tantanngan dalam ranah politik desa.
“Pembangunan kapasitas itu bisa dimulai dari perempuan, bagaimana caranya kita juga mendorong perempuan yang bergerak di PKK untuk bisa membentuk pokja-pokja, mengembangkan kegiatan selain memasak, bagaimanapun juga keterlibatan perempuan dalam politik dan ekonomi desa itu penting” Ungkapnya.
Ari mengatakan bahwa perempuan memang belum terbiasa dipilih dan memilih dalam ranah poitik desa, ini merupakan tantangan bagi perempuan untuk memiliki kesadaran politik kritis dan mampu mengorganisir diri, masuk ke dalam ranah strategis untuk turut serta dalam proses perencanaan dan pengambilan kebijakan.
Jika melihat agenda SDG’s, salah satunya adalah target untuk mengurangi kemiskinan, tapi pertanyannya apakah desa memiliki data pasti jumlah masyarakat miskin paling tidak di wilayahnya? Hal inilah yang membuat peran perempuan dalam percepatan SDGs sangat penting, perempuan memiliki kepekaan dan resourcejaringan informasi sosial yang lebih dalam dan luas dari laki-laki.
Peneliti IRE, Dina Mariana juga menjelaskan bahwa masih banyak desa yang belum memahami konteks pembangunan desa dan pembangunan berkelanjutan SDGs. “Masih banyak pemdes yang masih belum paham untuk mengintegrasikan issue SDGs ke dalam RPJMDes. Kasus kekerasan seksual, diskriminasi perempuan dan lain-lain banyak terjadi di desa, namun desa masih banyak yg belum mampu menterjemahkan target SDGs pada kebijakan desa” Ungkapnya
Tanggal 28 februari ini 2020 dalam sejarah diperingati sebagai hari perempuan internasional yang pertama, meskipun selanjutnya diperingati setiap tanggal 8 Maret. Dalam hal ini IRE berkomitmen untuk mendorong pembangunan desa inklusif yang berpihak pada perempuan dan kaum marginal serta mewujudkan nilai-nilai yang berkeadilan gender” Ungkapnya
Dina menambahkan bahwa peran perempuan dalam ranah politik desa atau fungsi perempuan yang berkiprah dalam BPD merupakan sebuah bentuk representas, bagaimana perempuan dapat ikut mewadahi suara-suara dari grassroot untuk ditarik menjadi kebijakan di tingkat lokal. Kini masih banyak mitos-mitos pembangunan yang sifatnya membatasi peran perempuan dalam ranah politik desa, pembangunan desa berwajah sangat maskulin dan tidak berpihak pada perempuan serta kaum marginal, maka kesadaran kritis dan peran aktif perempuan dalam ranah kebijakan desa sangatlah diperlukan.
Dinda Ahlul Latifah