Pandemi Coronavirus disease atau Covid-19 telah menyebar ke seluruh dunia. Wabah ini telah dinyatakan sebagai pandemi global oleh organisasi kesehatan dunia WHO pada tanggal 12 Maret 2020. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai kedaruratan kesehatan masyarakat melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020. Status kedaruratan ini ditetapkan seiring dengan meningkatnya jumlah kematian dan meluasnya wilayah penyebaran wabah hingga ke pelosok tanah air.
Masyarakat Indonesia terutama mereka yang tinggal di perdesaan memiliki cara tersendiri dalam merespons terjadinya wabah penyakit atau dalam istilah lokal disebut sebagai pageblug.
Tradisi Labuan Merapi (Dok. IRE Yogyakarta)
Berbagai respon masyarakat perdesaan ini dipengaruhi oleh keyakinan dan cara pandang masya
rakat terhadap krisis yang terjadi di depan mereka. Perkembangan teknologi informasi dan masyarakat yang semakin rasional sedikit banyak mengubah pemahaman masyarakat mengenai asal muasal pageblug dan cara menghadapinya.
Tulisan ini berupaya untuk melacak berbagai kearifan dan pengetahuan lokal masyarakat perdesaan dalam merespons dan menghadapi krisis yang disebabkan oleh wabah penyakit. Bagaimana pun, kearifan dan pengetahuan lokal tersebut merupakan bagian dari strategi masyarakat mengatasi (coping) krisis yang dipengaruhi oleh konteks budaya masyarakat setempat.
Mitos dan Tradisi Menangkal Wabah
Di masa lalu, wabah penyakit berulang kali terjadi di wilayah Nusantara. Sejarah modern mencatat terjadinya epidemi kolera di Hindia Belanda pada abad 19 yang diakibatkan oleh buruknya sanitasi. Wabah pes pernah melanda Pulau Jawa pada tahun 1910-an dan menewaskan 63.000 penduduk Jawa. Flu Spanyol pernah melanda wilayah Nusantara antara tahun 1918 hingga 1920. Pandemi influenza ini barangkali merupakan wabah raya terbesar di era modern yang mengakibatkan kematian setidaknya 1,5 juta penduduk Hindia Belanda.
Wibowo et.al (2009) dalam buku Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda menjelaskan berbagai pengalaman masyarakat kala itu dalam menghadapi pandemi influenza. Di masa ini respons masyarakat dalam menghadapi bencana lebih banyak mengaitkan fenomena wabah dengan mitos-mitos gangguan makhluk halus atau pelanggaran terhadap tempat-tempat sakral. Oleh karena itu, sejumlah masyarakat menyelenggarakan upacara tradisional dengan menyembelih hewan-hewan tertentu.
Di perdesaan Jawa, masyarakat menandai datangnya bencana wabah dengan pertanda alam, seperti kemunculan cahaya berwarna merah. Ahmad Tohari dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (2018) menggambarkan bagaimana kemunculan pageblug seringkali dikaitkan dengan datangnya lintang kemukus atau kilatan cahaya merah yang datang dari langit. Jika lintang kemukus terlihat, Seketika masyarakat desa akan menutup semua makanan dan semua tempayan atau wadah penampungan air.
Dalam keyakinan masyarakat perdesaan, khususnya Jawa, pageblug merupakan bagian dari ketidakseimbangan antara tatanan mikrokosmos (jagad cilik) dengan tatanan makrokosmos (jagad gedhe). Ini dikaitkan dengan perilaku manusia yang menyimpang atau merusak sehingga menyebabkan datangnya mala atau bencana. Masyarakat Jawa pun memiliki cara tersendiri untuk memperbaiki rusaknya tatanan ini melalui berbagai ritual. Ketika wabah kolera melanda Yogyakarta pada tahun 1946, benda pusaka Kraton berbentuk bendera Kyahi Tunggul Wulung diarak keliling kota untuk keperluan tolak bala.
Tradisi lokal semacam ini juga berlangsung ketika wabah Covid-19 melanda. Di Pacitan misalnya, warga mengadakan ritual gejog yang bertujuan untuk tolak bala dan mengusir wabah. Ritual ini dilakukan dengan memukul-mukul kentongan secara serentak menjelang waktu petang. Di wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, terutama Keraton Yogyakarta, masyarakat mempercayai bahwa memasak sayur lodeh tujuh warna merupakan salah bentuk tolak bala. Tujuh aneka sayuran tersebut memiliki makna dan simbol tersendiri yang dikaitkan dengan petunjuk menghadapi kesulitan bencana. Sejumlah desa juga mulai menghidupkan kembali padasan (gentong pancuran berisi air) yang biasanya selalu ada di depan rumah-rumah warga pada masa lalu.
Covid-19, Antara Kearifan Lokal dan Pengetahuan Modern
Kearifan lokal yang berkelindan dengan tradisi dan budaya dalam menghadapi situasi krisis seringkali sulit untuk dimengerti dengan nalar modernitas. Bagi sebagian masyarakat, kearifan lokal tersebut tidak perlu dibuktikan dengan akal, tetapi cukup diyakini sebagai kebenaran. Sebagian lainnya mencoba menghubungkan pengetahuan lokal tersebut dengan hal-hal positif yang muncul dari laku tersebut. Bagi masyarakat desa, ritual gejog dapat dipandang sebagai pengingat agar masyarakat mengetahui adanya wabah yang tengah melanda.
Ini menjadikan mereka lebih waspada. Selain itu, tradisi memasak sayur lodeh tujuh warna sebagai tolak bala tidak dapat dipandang semata-mata irasional dan klenik. Bisa jadi, ini merupakan cara masyarakat dalam mengatasi ketegangan krisis, sekaligus pengingat untuk mengkonsumsi makanan yang sehat bagi daya tahan tubuh.
Di samping adanya kearifan lokal dan tradisi, masyarakat perdesaan yang semakin terakses literasi media sosial, juga merespons pengetahuan modern yang disosialisasikan. Dari situ, muncul prakarsa-prakarsa lokal yang adaptif terhadap perkembangan situasi pandemi. Beberapa desa misalnya, mulai menyediakan fasilitas cuci tangan dan melakukan disinfeksi sarana publik. Kontrol arus penduduk yang datang melalui RT/RW terbukti berjalan efektif. Sejumlah desa juga mengembangkan fasilitas karantina penduduk yang baru datang dari zona merah pandemi sekaligus menyediakan fasilitas pendukungnya.
Di tahap lanjut, desa-desa mulai berpikir mengenai strategi pemenuhan kebutuhan pangan jangka panjang. Sejumlah warga di Desa Sariharjo, Sleman, mulai memanfaatkan tanah desa untuk ditanami bahan pangan alternatif, seperti jagung dan singkong. Desa Panggungharjo, Bantul, sedari awal menjadi yang terdepan dalam tanggap Covid-19. Desa ini mengembangkan platform digital Pasardesa.id sebagai upaya menjembatani penjual dan pembeli untuk mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi. Sepinya wisata Borobudur dan sekitarnya memaksa beberapa pemuda Desa Karangrejo, Magelang, melirik alternatif penghasilan dengan menjual racikan jamu tradisional yang dikemas menarik.
Prakarsa lokal di atas menunjukkan bahwa desa memiliki mekanisme sendiri dalam mengelola dan mengatasi krisis pandemi Covid-19. Kearifan lokal dan pengetahuan modern berkelindan membentuk daya lenting terhadap guncangan penghidupan. Kearifan lokal berbalut tradisi dalam menghadapi wabah menjadi cara masyarakat menghadapi krisis yang terjadi. Di era modern saat ini, beberapa tradisi tetap dipertahankan namun langkah tanggap sesuai standar medis juga dijalankan. Di sisi lain, desa juga mulai mengembangkan alternatif penghidupan bagi warganya agar dapat bertahan dan pulih dari krisis pandemi ini.
Rajif Dri Angga
Peneliti IRE