Jika kita menelusuri jejak-jejak pembangunan di Indonesia, akan terlihat dengan jelas bahwa selama ini program-program pembangunan yang diusung pemerintah cenderung meminggirkan desa. Bahkan dalam banyak kasus desa kerap menjadi korban pembangunan. Demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi lahan pertanian di desa sekarang ini banyak yang telah berubah menjadi pabrik, kawasan industri, mall, hotel, terminal, ruko, dll., yang prosesnya selalu menggusur mata pencaharian peduduk desa.
Akibatnya, desa yang dulu adalah kawasan yang menjanjikan kesejahteraan bagi warganya lambat laun menjadi semakin merosot nilai ekonominya dan tidak lagi menjadi tempat yang menjanjikan bagi masa depan mereka yang membutuhkan pekerjaan layak. Sektor pertanian yang dulu menjadi andalan penduduk desa mengalami kemerosotan sangat tajam sehingga tidak bernilai lagi. Akhirnya, kemiskinan menjadi problem akut yang menjangkiti desa. Involusi yang terjadi di sektor pertanian itulah yang selama ini ditengarai sebagai sebab terjadinya kemiskinan di pedesaan.
Secara umum kondisi seperti itulah yang pada akhirnya memaksa orang desa hijrah ke kota-kota besar demi untuk mendapatkan remah-remah kue pembangunan. Pilihan tersebut tentu bukan tanpa resiko. Rendahnya tingkat pendidikan, minimnya ketrampilan dan pengalaman kerja di sektor-sektor yang tersedia di kota membuat mereka pada akhirnya tidak bisa menempati posisi pekerjaan menengah ke atas. Kebanyakan mereka akhirnya menjadi buruh-buruh industri, buruh bangunan, pelayan toko, restoran, juru parkir, pedagang kaki lima, dan pekerjaan-pekerjaan di sektor informal lainnya.
Meskipun sebenarnya mereka tidak bisa beranjak dari problem kemiskinan, namun setidaknya di kota peluang untuk mendapatan pekerjaan jauh lebih baik daripada ketika mereka berada di desa.
Upaya untuk menjadikan desa sebagai sentral aktivitas ekonomi sudah pernah dilakukan oleh pemerintah daerah dan provinsi. Salah satunya adalah gerakan bali ndeso mbangun ndeso (pulang ke desa membangun desa) yang pernah dicanangkan pemerintah Jawa Tengah di era kepemimpinan Bibit Waluyo.
Secara konsep, program tersebut seperti memberikan harapan. Namun faktanya sulit mengajak orang desa yang sudah terlanjur pindah ke kota kembali ke desa. Selama orang desa tidak memiliki aset produksi untuk meningkatkan kesejahteraan, ajakan tersebut mustahil disambut dengan suka cita.
Mensejahterakan desa adalah soal bagaimana aset desa dikembalikan lagi pengelolaannya kepada orang-orang desa. Mustahil desa bisa keluar dari derita kemiskinan jika aset yang ada di desa masih dikuasai oleh orang-orang dari luar desa. Dengan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa peluang untuk mengembalikan pengelolaan aset desa kepada desa, sangat terbuka.
Titok Hariyanto
Pimpinanan Redaksi Flamma Review