
Kaum muda gelisah lantaran reformasi di tangan golongan tua tak berjalan progresif. Keterkaitan golongan elit “angkatan tua” secara historis, kultural, bahkan ekonomi (bisnis) dengan rezim kleptokrasi Orde Baru dipandang jadi belenggu laju reformasi. Misi reformasi di segala bidang direcoki oleh kepentingan jangka pendek, partisan, dan cenderung melanggengkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Di tahun 2008 ini, isu regenerasi kepemimpinan nasional kian menemukan momentumnya bertepatan dengan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, sekaligus 80 tahun Sumpah Pemuda. Baik momen 1908 maupun 1928 diharapkan menjadi inspirasi dan penggugah moral bagi kaum muda untuk tampil ke panggung politik nasional.
“Wacana kaum muda memimpin itu merupakan reaksi atas kecenderungan menguatnya orang-orang lama yang dianggap mewakili golongan tua dalam politik,” kata Sosiolog UGM Arie Sudjito. Wacana tersebut sekaligus sebagai counter terhadap praktik politik dagang sapi dan budaya patronase politik. Arie memaknai ”golongan tua” sebagai orang-orang yang pernah dan ingin berkuasa kembali di panggung politik.
“Yang paling dicatat di sini, keenganan kelompok lama untuk turun dari kekuasaan bukan karena kaum muda yang tidak siap. Tetapi lebih pada kecenderungan bahwa orang itu berkuasa kalau sekali itu tidak enak,” ujar Arie yang juga Sekretaris Jenderal Pergerakan Indonesia. Padahal, kata Arie, gejala ingin
Muda dan Citra Perubahan
Pertanyaannya: apakah pemuda bersinonim dengan perubahan? Pengamat politik UGM Abdul Gaffar Karim mengatakan, gagasan pemimpin muda diuntungkan oleh terminologi kata muda itu sendiri yang menurutnya menyimbolkan perubahan, kesegaran, sesuatu yang fresh. Namun, kata dia, sejatinya kemudaan tidak otomatis berimplikasi pada perubahan. Karena terpaku pada usia, orang jadi keliru ketika melihat sejarah Indonesia di mana banyak pemimpin muda berperan dominan dalam pergerakan.
Sjahrir menjadi Perdana Menteri Pertama RI ketika berusia 36 tahun. Sukarno telah menjadi ketua parpol berpengaruh ketika usianya baru menginjak 27 tahun dan kemudian menjabat Presiden RI ketika berumur 44 tahun. “Tapi contoh-contoh ini keliru kalau dikatakan kaum muda menentukan sejarah,” kata doktor dari Curtin University Australia ini. Sebab, para founding fathers itu menentukan sejarah bukan karena muda, tapi mereka adalah sentra dari proses-proses politik. “Mereka berada di titik tengah dalam proses perubahan politik. Kebetulan saja mereka muda,” ujar Gaffar.
Lantas, bagaimanakah kondisi yang ada ketika kaum muda itu efektif mendesakkan perubahan? “Kaum muda selalu bisa menjadi pendorong ketika ada tema besar yang dipegang oleh mereka. Ketika kaum muda itu membawa bukan saja umur, bukan saja klaim ‘saya waktunya memimpin, orang tua sudah 10 tahun dan sekarang giliran saya.’ Tapi ada tema besar yang menjadi pegangan,” jelasnya panjang lebar.
Tema perubahan inilah, tegas Gaffar, menjadi pembeda antara golongan tua dan muda. Ia memisalkan, popularitas Barack Obama sebagai capres tak lepas dari tema perubahan yang ia desakkan. “Obama itu naik ke popularitas, dia tidak hanya mengatakan saya muda dan pilihlah saya. Tapi dia bilang, saya akan mereformasi sistem perpajakan agar setiap orang mempunyai uang lebih agar bisa berbelanja lebih,” kata Gaffar. “Kaidah dasar setiap sirkulasi kepemimpinan yang ideal seharusnya didasari pada tema, tidak hanya tokoh.”
Tak Ada Tema Besar
Sayangnya, kata Gaffar, tidak ada tema besar yang konkret dari para tokoh tua maupun muda. “Ketika Rizal Malarangeng bilang ‘if there is a will, there is a a way, kalau ada kemauan ada jalan, tapi kemauan apa dulu? A will apa dulu yang bisa menghasilkan a way? Kalau hanya a will ingin jadi presiden, ya semua orang pingin,” kata Gaffar.
Senada dengan Gaffar, Ekonom UI Faisal Basri juga menyesalkan pilihan para elit yang lebih menonjolkan sisi personalnya ketimbang gagasan dan tema perubahan mereka. “Dia tidak tua, tidak muda, yang ditampilkan bukan gagasannya tapi nama dulu. Saya sebut nama sajalah. Sutrisno Bachir, Rizal Malarangeng, iklankan dirinya bukan gagasannya,” kata Faisal dalam Seminar Kepemimpinan 2009: Dari Jogja Untuk Indonesia, yang diselenggarakan Merti Nusantara dan The Indonesia Power for Democracy, Auditorium MM UGM, 18 Oktober 2008.
Dari baliho di jalanan, layar televisi, hingga layar bioskop para elit berlomba memajang diri berhias pesan-pesan perubahan. Tak cuma elit politik nasional, para calon bupati, walikota, gubernur pun latah mengiklankan diri melalui media massa nasional. Mengiklankan diri, seperti halnya mengiklankan produk, dipilih sebagai jalan pintas mendulang popularitas. Gejala tersebut, ujar Arie Sudjito, merupakan paradoks. “Kita menggantikan (kepemimpinan—reds) patronase dengan tipe yang advertising. Mereka hanya mengiklankan diri. Nggak penting itu mereka berkeringat bersama raykat, nggak penting berjuang bersama masyarakat,” kata Arie.
Idealnya, “Seorang pemimpin dilahirkan dan diproses melalui cara yang membuat dia mengerti kepentingan rakyat, mampu mnyerap kepentingan rakyat, dan mampu membawakan kepentingan rakyat terutama mereka yang tidak terwakili secara politik dan ekonomi,” kata I Ketut Putra Erawan, Direktur Program PascaSarjana Ilmu Politik UGM. Dan dasar dari kapasitas merepresentasi kepentingan rakyat, kata I Ketut, adalah ideologi.
Sosok Evo Morales I Ketut sebut sebagai salah tokoh yang punya ideologi dan cara berpikir yang menjadi dasar rakyat memilihnya. Indonesia sendiri tak kurang memiliki banyak tokoh pergerakan nasional yang dalam kiprahnya aktif berkeliling ke daerah-daerah untuk bertemu rakyat. Tak terkecuali termasuk para tokoh gerakan kiri, yang oleh kacamata sejarah tertentu, disebut sebagai pengkhianat bangsa. “Dia besar, dia berkembang, dia dididk oleh proses sejarah. Dan mereka-mereka itu pernah keliling Indonesia, menyerap aspirasi, mengkomunikasikan apa yang dia perjuangakan. Dia buka hati nuraninya, dia buka pengalamn hidupnya untuk jadi seseorang yang benar-benar pemimpin. Bukan dia yang hidup di Jakarta, enak di Jakarta, mau jadi presiden. Presiden taksi aja nggak bisa,” papar I Ketut panjang lebar.
Gelombang iklan politik di media, dimaknai Arie Sudjito sebagai wujud ketidakpercayaan para ketua parpol terhadap pengaruhnya sendiri di dalam hati rakyat. Kita pun bisa menarik kesimpulan, ketakpercayaan diri tersebut bisa jadi karena mereka sadar tidak pernah sungguh-sungguh turun ke daerah terpencil, mengunjungi kelompok minoritas paling tersingkir, atau bertemu warga miskin yang paling terpinggirkan secara ekonomi.
Gejala “instan” yang lain adalah kebijakan “potong kompas” parpol untuk mengusung kaum muda yang berasal dari selebriti maupun keluarga para pengurusnya. Putra kedua SBY, Edi Baskoro bakal maju menjadi caleg Partai Demokrat dalam Pemilu 2009. Puan Maharani, putri Megawati Soekarnoputri, bahkan sudah pasti menjadi caleg DPR-RI dari PDIP nomor urut satu dari wilayah Solo. Putra Ketua DPP Partai Golkar Theo Sambualga, Jerry AK Sambualga, juga berencana masuk parlemen dengan predikat caleg termuda Partai Golkar yakni 23 tahun.
Baik Abdul Gaffar Karim maupun Arie Sudjito menilai, gejala ”potong kompas” ini dikarenakan tidak adanya sisitem kaderisasi yang terlembaga baik di partai politik. Selebritis dipilih karena popularitasnya, tanpa menimbang bahwa popularitas tersebut samasekali bukan hasil dari proses agregasi aspirasi panjang dari bawah. “Kalau kita bisa membenahi institusi-institusi yang memproduksi kaderisasi politik, sebenarnya debat tua dan muda itu tidak akan mengeras,” kata Arie. Pembehanan sistem kaderisasi, pesan Arie, menjadi ”PR” partai politik di masa mendatang.
Terbelenggu Persoalan Internal
Bukan hanya problem orang tua ingin terus berkuasa, buruknya pelembagaan kaderisasi, dan masih mengguritanya patronase politik, namun di kalangan kaum muda sendiri terdapat persoalan. Nurkhalik Ridwan, pengamat kaum muda NU, menjelaskan, berbagai persoalan internal yang menghambat kiprah pemuda.
Menurut Nurckhalik, kaum muda tumbuh dan dibesarkan dalam iklim politik Rezim Orde Baru yang dicirikan antara lain anti regenerasi dan sarat praktik KKN. Dalam iklim tersebut, gerakan sosial yang muncul dicirikan oleh ”sekolah” perlawanan berbasis non politik, umumnya di organisasi non-pemerintah, tidak berpartai, dan di luar sistem. “Ibarat main tinju, kita tidak mau masuk ring tapi tetap mau mukul,” terangnya. Generasi kaum muda yang lebih belakangan mulai berkiprah di parpol. “Tetapi karena regenerasi parpol tidak ada, ketika mereka masuk, ya tidak akan atau belum menjadi politisi tetapi sudah didik menjadi calo-calo parpol,” keluhnya.
Sementara itu, kaum muda yang memilih NGO sebagai basis gerakan sosial terjebak ketergantungan berikut kompetisi untuk mendapatkan sumber pendanaan dari funding. “Kultur dan habitus kita, ketidakmandirian teman-teman menggantungkan pada basis funding, terus kita juga berbasis segmentasi gender dan seterusnya, seakan-akan ini berbeda semua. Seakan-akan ini tidak bisa bertemu,” keluh Nurkhalik.
Ketergantungan yang berlebihan ini menurut Nurkhalik juga turut menjadi penyebab tidak jelasnya orientasi ideologis kaum muda. “Saya sudah men-sounding perlunya pengorganisasian kita menjadi organisasi politik, tidak harus menjadi parpol, tetapi menjadi organisasi politik yang bisa melakukan agregasi-agregasi politik,” kata Nurkhalik. Namun gagasannya ini bertepuk sebelah tangan. Ia menengarai, fokus berlebihan pada sektor gerakan dan kompetisi mendapatkan funding menjadi penyebabnya.
Persoalan di atas juga berdampak pada lemahnya efektivitas jaringan kaum muda ketika menjalan advokasi. Jaringan juga tak mampu jadi mesin efektif untuk mendukung kampanye politik kaum muda lantaran ia lemah dalam pengorganisasian akar rumput. ” Itu pekerjaan jaringan ya hanya memetakan,” ujar Nurkhalik.
Efektivitas kerja jaringan di kalangan kaum muda juga diragukan oleh Tigan Solin, aktivis Buruh yang kini maju menjadi caleg PBR. Bagaimana membangun poros blok politik kaum muda yang bisa menjadi mesin pengorganisiran rakyat dan mesin membangun basis dukungan di kar rumput, menurut Solin, hingga kini masih menjadi tanda tanya. Bahkan, dalam konteks di mana kaum muda kini mewacanakan pentingnya pemimpin muda, lemahnya kinerja jaringan kaum muda dalam pengorganisiran kiranya menjelaskan temuan Solin bahwa di daerah pedesaan wacana tersebut tidak cukup populer.
Beranjak dari segudang problem ”internal” di atas, Nurkhalik berpendapat, “Tidak hanya kaum muda harus tampil, kaum muda sendirilah yang harus melakukan regenerasi kepemimpinan, regenerasi di dalam perspektif, di samping regenerasi pengorganisasian,” katanya.
MERETAS JALAN
Arie Sudjito memandang, wacana kaum muda memimpin bernilai strategis secara politik. Ia mengakui, jika menakar kekuatan, kiranya kecil kans bagi kaum muda untuk menang. Namun, “Paling tidak ini bisa menjebol kebekuan dalam partai. Ini bukan soal menang,” katanya. Di samping itu, kata Arie, masuknya para aktivis ke panggung politik formal, adalah keniscayaam zaman. “Aktivis bukan lagi kalau ada sesuatu yang baik dia tepuk tangan, kalau ada yang buruk, dia lempar botol,” ujarnya. Ketika parpol belum sedemikian terbuka, investasi politik tersebut bisa juga dilakukan dengan memasuki lembaga-lembaga bernilai strategis seperti KPU, Komnas HAM, Lembaga Ombudsman, dan yang lainnya. Tujuannya, agar kaum muda bisa memberikan pengaruh secara langsung.
Belajar dari lemahnya kinerja jaringan, para aktivis hendaknya tidak hanya mengandalkan lapisan atas masyarakat untuk meraih dukungan. Arie juga menekankan peran penting organisasi adalah alat ideologisasi. “Sekarang di dalam sejarahnya, produksi dan reproduksi ideologi oleh aktor itu kadang-kadang tidak efektif kalau tidak disemai dalam habitus atau lahan yang subur untuk ideologi itu,” kata Arie.
Dengan berkeringat membangun basis dan ideologi yang kuat, ke depan, kelemahan kaum muda berupa ketakmampuan mengubah basis gagasan dan ide menjadi basis material dan dukungan bisa secara bertahap diselesaikan. Hasil akhir dari proses panjang tersebut berujung pada menyatunya modal sosial, simbolik, material, modal kultural, dan modal lainnya yang menjadi basis kepemimpinan. “Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa menyimpulkan seluruh modal itu pada satu tangan,” katanya Gaffar.
Sementara itu, dari sisi regulasi, upaya memunculkan pemimpin yang pro rakyat dan pro perubahan—yang selama ini dilekatkan pada diri pemuda—menurut I Ketut Putra Erawan bisa dilakukan setidaknya melalui dua jalur. Jalur pertama adalah desain jalur formal yakni sistem pemilihan presiden dua putaran. Berlakunya sistem dua putaran memaksa capres untuk dikenal seluruh Indonesia. Prosedur-prosedur juga bisa dibuat agar para calon merasa memerlukan turun ke bawah menemui rakyat. Untuk tujuan ini, syarat pencalonan capres-cawapres mesti direndahkan di bawah 30 persen. “Kalau dua calon itu artinya partai sudah memilihkan anda untuk jadi calon presidennya. Bisa jadi calon yang aneh-aneh yang keluar,“ kata I Ketut.
Jalur kedua yakni dengan membuat regulasi yang mewajibkan bahwa untuk menjadi ketua parpol di tingkat nasional harus terlebih dahulu menjadi ketua parpol di tingkat daerah. “Di empat atau lima daerah sehingga dia meng-Indonesia. Sehingga dia tidak hanya menjadi ketua partai golkar DIY, tapi dia pindah ke Papua, agar dia tahu daerah itu dan segala macam,” katanya.
Ashari Cahyo Edi