Ada beberapa pertanyaan yang patut dan harus kita jawab jika mendengar tentang desa. Pertanyaannya adalah siapa yang melakukan pembangunan? apa yang akan dibangun? bagaimana caranya melakukan pembangunan? Pertanyaan ini menjadi penting untuk dijawab dalam benak kita masyarakat Indonesia. Lalu seperti apakah nanti jalannya pembangunan di desa? Munculnya Undang-Undang Desa No. 6 tahun 2014 masih menjadi garda depan dalam perubahan pembangunan desa di Indonesia. Namun penulis ingin mengomentari beberapa hal yang masih menjadi masalah serta menjadi tugas besar dalam penunjang kemajuan negara (terutama menanggulangi kemiskinan) melalui pembangunan desa sepanjang dinamika perjalanan implementasi UU Desa saat ini.
Pertama, siapa yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pembangunan desa? Jika pertanyaan ini diberikan pada masyarakat Indonesia, sebagian besar pasti menjawab hal itu tentu menjadi tugas dan tanggung jawab bersama. Kemudian kalau boleh penulis lanjut bertanya tanggung jawab bersama itu ‘bersama’nya siapa? Pemerintah sajakah, warga desakah, atau ‘bersama’nya yang lain? Memang mudah untuk menjawabnya, namun bagaimana ketika penulis menagatakan bahwa tanggung jawab bersama itu masih semu, nyata namun tak terlihat. Namun yang ada saat ini “mereka” (pemerintah dan masyarakat) berjalan sendiri-sendiri. Seperti yang terjadi disalah datu desa di Blitar dalam pelaksanaan pembangunan antara kelompok petani dengan pemerntah masih berjalan sendiri-sendiri. Kelompok petani yang melakukan usaha pemberdayaan kelompok tanpa campur tangan dari pemerintah. Terkait hal ini masyarakat desa dituntut untuk mengetahui dan memaksimalkan potensi melalui wacana masyarakat yang partisipatif. Pemerintah desa dituntut untuk mendorong dan menjalankan birokrasi yang mapan untuk kemajuan desa. Secara umum tugas keduanya memang berbeda namun tidak ada upaya dan keseimbangan diantara keduanya.
Saat ini pembangunan yang terjadi adalah pembangunan yang berusaha untuk memberdayakan masyarakat desa khususnya untuk menanggulangi kemiskinan secara nasional oleh negara. Pemberdayaan di desa menuntut masyarakat desa agar menyadari potensi mereka sehingga pembangunan desa yang terwujud dari warga desa sendiri secara mandiri. Pertanyaan yang muncul lagi adalah apakah masyarakat sudah benar-benar diberdayakan? Pemberdayaan secara singkat diartikan dengan memberi daya pada yang tidak berdaya, dalam hal ini masyarakat desa yang masih belum berdaya dalam melakukan pembangunan karena belum banyak terlihat komunitas desa yang mandiri serta belum adanya sinergi diantara pemerintah dan masyarakat.
Jika dihubungkan dengan teori sosiologi Dahrendorf yang membahas terkait konflik kekuasaan sehingga memang pemberdayaan harusnya bertindak tentang pemberian kewenangan agara tidak terjaid konflik. Artinya dalam konteks ini adanya pendistribusian kekuasaan/kewenangan dari yang berdaya kepada yang tidak berdaya. Seperti yang sedang dan masih terus dilakukan oleh beberapa NGO dengan upaya mengintervensi desa-desa baik pemerintah maupun masyarakat agara sama-sama bergerak. Ketika masyarakat masih belum diberi daya maka, NGO berperan sebagai fasilitator dalam pemberdayaan masyarakat. Kemudian dengan adanya pendistribusian kewenangan dalam masyarakat desa, masyarakat desa diberikan peluang dalam melakukan pembangunan dengan memaksimalkan dan menggali potensi yang dimiliki oleh desa sendiri, atau bahkan menjaid masyarakat yang partisipatif. Selanjutnya ketika pemerintah dalam hal ini belum menjadi pemerintah yang akuntabel maka itu juga yang masih diupayakan dan didorong oleh NGO/LSM tersebut.
Kedua, dari hasil penelitian yang dilakukan penulis ada banyak desa yang melakukan pembangunan dengan wacana besar yaitu membangun melalui pariwisata. Saat ini yang terjadi seolah-olah pembangunan desa di sebagian besar daerah menjadi tergeneralisir menjadi Indonesia dengan ranah pembangunan “desa wisata/desa inovatif” sehingga yang terlihat banyak pemaksaan pembangunan di bidang itu. Beberapa masalah yang muncul dalam pembangunan melalui pengembangan ekonomi masyarakat dalam bidang pariwisata. Bidang pariwisata ini juga tidak serta merta menjadi satu-satu jalan keluar atau kesempatan emas menuju pengembangan ekonomi lokal dalam desa itu. Kefokusan suatu desa terhadap bidang pariwisata yang belum diatur benar dan bahkan belum ada pembentukan BUMDES yang tepat dan bersinergi menimbulkan beberapa masalah dalam desa. Asumsi yang muncul adalah perekonomian dibidang wisata akan bertahan selama 7 tahun, setelah itu yang muncul adalah kejenuhan jika tidak dilakukan pengelolaan yang berkelanjutan dan inovatif.
Disisi lain juga adanya beberapa konflik yang muncul di salah satu desa yang sedang berupaya melakukan pengembangan ekonomi lokal, karena belum adanya pengelolaan BUMDES yang tepat dalam hal itu muncul beberapa konflik diantara masyarakat terkait. Konflik yang muncul adalah adanya ketamakan dalam pengelolaan pariwisata di desa oleh masyarakat dengan adanya pemanfaatan mata pencaharian yang double disana. Misal ketika si ibu A sudah mencari nafkah melalui homestay, tapi beberapa bulan kemudian, si ibu A juga membuka toko kelontong yang ternyata sama dengan si Ibu B, yang kemudian berujung pada persaingan ekonomi dan berakhir dengan konflik karena persaingan.
Hal seperti diataslah yang kurang diperhatikan dalam banyak pemerintahan desa. Sehingga hal itu sudah terpotret oleh IRE yang juga mewadahi beberapa desa dalam program BUMDES untuk mensharingkan perkembangan dalam proses BUMDES mereka di setiap desa. IRE mewadahinya melalui suatu FORKOM antara pengurus BUMDES di beberap desa yang sudah menjadi binaan dari IRE. Hal ini jelas mempermudah untuk melakukan proses belajar pengelolaan perekonomian desa dalam BUMDES yang bukan hanya melalui pariwisata saja tapi beberapa perekonomian lokal desa tersebut. Bahkan dalam FORKOM ini, IRE juga bekerja sama dengan lembaga pelatihan BUMDES yang juga akan melatih pengurus BUMDES beserta masyarakat dalam proses pengembangan ekonomi lokal di desanya.
Namun penulis juga memberikan pendapat tentang upaya memaksimalkan dan menggali potensi masyarakat yang terlihat memaksa. Dalam hal itu seolah-olah yang menjadi masalah besar desa hanyalah soal birokrasi pemerintahan yang kandel untuk diperbaiki dan tidak lagi menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam pembangunan. Beban berubah haluan kepada punggung masyarakat desa agar dapat bergerak dalam membangun desa, sehingga kita lupa akan peran dan tugas pemerintahan dalam pembangunan. Penguatan desa sebagai entitas dalam pembangunan yang mandiri saat ini terlihat hanya dipikul masyarakat, pemerintah menjadi tak berfungsi dan terlupakan. Desa yang seyogyanya berjalan dengan demokratis ternyata lupa juga dengan tugas pemerintah yang menjadi pendukung pembangunan. Contohnya saja masih banyak BPD yang kurang menjalankan fungsinya. BPD yang menjadi lembaga desa yang melaksanakan fungsi pemerintahan, sekaligus juga menjalankan fungsi menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, melakukan pengawasan kinerja kepala desa serta menyelenggarakan musyawarah desa (Sutoro,2014) itu tidak terlihat.
Lemahnya BPD yang seharusnya menjadi lembaga yang berpeluang besar dalam memperkuat proses demokrasi di desa telah menjadi pendorong dominasi kekuasaan dari pemerintah desa dalam proses pembangunan. “Kembalikan lagi fungsi BPD dalam pemerintahan desa!”, sehingga nantinya ‘mereka’ akan bekerja bersama-sama untuk menyelengarakan urusan pemerintahan dalam upaya mengatur serta mengurus kepenttingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ketiga, fokus beberapa desa pada potensi wisata membuat kelalaian dan kelupaan akan pentingnya peran pemerintah dalam pembangunan maka yang terjadi adalah akan terjadi ketimpangan dalam beberapa tugas dan tidak terwujudnya pembangunan dengan prinsip demokrasi. Pembangunan yang seharusnya adalah pembangunan dengan logika equilibrium/keseimbangan dalam pembangunan. Adanya usaha pembangunan dilakukan dengan sinergi antara pemerintah desa dengan masyarakat desa setempat sehingga segala macam bentuk kesenjangan bukan lagi menjadi masalah dalam pembangunan. Keseimbangan antara sangat mempenagruhi aspek pembangunan desa dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya. Terutama dalam bidang ekonomi yang terus masih digencarkan melalui SDM dari masyarakatdesa itu sendiri. Kemudian terkait beberap wacana pembangunan desa melalui pengembangan ekonomi lokal desapun dapat berjalan dengan lancar, karena adanya kerjasama dalam pengembangan demokrasi lokal yang nantinya akan mempengaruhi bagaimana pemerintah dan masyarakat akan benar-benar bersama mewujudkan pembangunan melalui pengembangan ekonomi lokal.
Dameria Rosalin Situmorang
Mahasiswa Magang IRE