Ada sebuah pemaparan kisah yang cukup melegakan dalam Diskusi Bulanan IRE, Jumat (8/03). Sugeng Riyanto, sebagai Kepala Seksi Kemasyarakatan Desa Karangsari, Kulonprogo, dan sebagai salah satu Relawan Desa Lawan Covid-19, menuturkan bahwa kehadiran internet telah membantu desa untuk memindahkan penyelenggaraan hal-hal yang tadinya memerlukan interaksi secara langsung ke media daring, dan malah menekan jumlah biaya yang berpotensi digelontorkan. Ujarnya, “Kami membuat satu sistem bersama dengan teman-teman Puskesmas untuk membuat form mudik dengan menggunakan Google Form.” Ia mengatakan hal ini sangat membantu menekan anggaran sehingga bisa dialokasikan untuk kebutuhan mendesak lain. Dalam cerita Mas Sugeng, Desa Karangsari yang memiliki kendala dalam menganggarkan Dana Desa ke pengeluaran-pengeluaran terkait Covid-19, akhirnya banyak memanfaatkan media sosial sebagai wadah sosialisasi dan edukasi, yakni melalui Grup WhatsApp.
Pak Kurniantara, sebagai Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan Desa Sekda Bantul, juga mengamini betapa krusialnya internet dan media sosial. Desa seringkali bingung menghadapi banyaknya kebijakan yang berganti-ganti dan mengimbau mereka untuk segera melakukan perubahan, seperti yang termaktub di SE No 8 Tahun 2020 (yang direvisi SE No. 11 Tahun 2020), hingga Permendes PDTT No. 6 Tahun 2020. Kabupaten pun harus turut andil dalam menjernihkan hal ini, dan proses “turun” ke warganya adalah dengan berkoordinasi melalui media sosial.
Apa yang dikatakan oleh kedua narasumber dalam diskusi bulanan IRE turut menambahkan signifikansi sistem informasi dan komunikasi bagi desa dalam menyelenggarakan kewenangannya. Dalam salah satu infografis IRE(2020), dikatakan bahwa Sistem Informasi Desa (SID) yang tanggap Covid-19 menjadi salah satu kunci pencegahan dan penanggulangan Covid-19. IRE (2020) mencatat SID penting karena dapat berperan untuk memastikan ketersediaan data warga desa yang berstatus ODP, PDP, atau positif, warga desa yang datang dari zona merah (pemudik), juga sebagai penentuan langkah pencegahan (isolasi mandiri, disinfeksi lingkungan, promosi kesehatan, dan PHBS). Tak hanya berhenti di sana saja, tetapi SID pun menjelma menjadi sebuah sistem yang turut mendorong desa terkoneksi dengan pihak-pihak yang kelak bisa membantu desa menuntaskan masalahnya.
Namun, rupanya, kita mesti berhenti sejenak dan merenungkan kembali: kisah gembira tentang aksesibilitas internet yang dilakukan Mas Sugeng dan Pak Kurniantara bukanlah hal yang lazim ditemukan secara merata di seluruh desa di Indonesia. Di sebuah artikel yang dipublikasikan Kompas, tampak sekelompok orang tengah bertengger di atas pohon sembari menatap layar laptop. Mereka adalah BPD, Kepala Desa, dan Sekretaris Desa Wolo Klibang, Adonara Barat, Kabupaten Flores Timur, NTT yang harus memanjat pohon untuk mencari jaringan internet. Ini mereka lakukan agar mereka dapat mengikuti rapat virtual dengan Bupati Flores Timur. Desa Wolo Klibang adalah salah satu desa dari banyak desa di Indonesia yang belum terhubung dengan internet dan belum memiliki infrastruktur BTS (Base Transceiver Station).
Covid-19, Desa, dan Kesenjangan Digital
Menyitir dari tulisan Rinoza (2015)dalam Remotivi, kesenjangan digital atau digital divideadalah sebuah konsep yang diperkenalkan The National Telecommunication and Information Administration (NTIA) tentang pemilahan warga negara menjadi “yang memiliki” dan “tak memiliki” akses bagus ke teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam skala sosial ekonomi, kependudukan, geografi, dan faktor lain (OECD, 2001; dalam Purbo, 2017). Kesenjangan digital ini merupakan persoalan yang turut dihadapi Indonesia sedari lama, meskipun Indonesia sudah pernah mengimplementasikan Program Desa Pinter, Pusat Layanan Internet Kecamatan (PLIK), dan Proyek Palapa Ring.
Sekitar 15 ribu desa di Indonesia memiliki akses internet yang buruk, bahkan belum terjangkau internet sama sekali sehingga menjadi daerah blankspot (Kominfo, 2019).Mayoritas dari pengguna internet di Indonesia bertempat di bagian barat Indonesia, utamanya tersentralisasi di Pulau Jawa, di mana penetrasi internet mencapai angka 36,9% (Puskakom UI, 2015; Purbo, 2017). Sementara, akses telepon seluler paling baik ditemukan di areal perkotaan atau sub-urban, dan terburuk di areal perdesaan atau area terpencil lainnya (Arifin, 2017). Hal ini sebenarnya mungkin bisa “dipahami”, mengingat usaha untuk membangun infrastruktur jaringan komunikasi yang harus menaklukan halangan fisik dan geografis seperti daerah yang berbukit-bukit atau dipisahkan pegunungan tinggi jelas bukanlah usaha yang mudah. Namun, Purbo menulis, sebagai akibatnya masyarakat perdesaan harus menanggung ketidakmampuan menyerap manfaat internet secara maksimum, menyebabkan ketertinggalan mereka memperoleh hal-hal tertentu dibandingkan daerah lain di Indonesia.
Mengontekstualisasikan dengan situasi pandemi Covid-19, di saat internet menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang menjembatani interaksi manusia, mulai dari rapat virtual, diskusi bulanan, kegiatan belajar-mengajar daring, hingga temu kangen, desa yang tidak memiliki infrastruktur jaringan internet akan mengalami kesulitan memperoleh informasi dari dunia luar. Belum lagi, informasi yang dipertukarkan bisa menjadi sangat krusial: Surat Edaran No. 8 dan No. 11 Tahun 2020 yang menyoal PKTD, misalnya, atau modul-modul edukasi yang dipublikasi via portal daring covid19.go.id.Apalagi, bila kita membayangkan desa yang mengalami kesulitan memperoleh internet tersebut adalah Desa Wolo Klibang yang notabene terletak di Pulau Adonara, terpisah oleh lautan dari ibukota Kabupaten Flores Timur (Lamalera) dan ibukota Nusa Tenggara Timur (Kupang). Informasi dan komunikasi non-internet harus mengandalkan transportasi air yang mungkin turut terkendala akibat Covid-19.
Ini baru dari tataran koordinasi pemerintah desa dengan pemerintah supra-desa untuk memperoleh informasi yang bisa disampaikan ke masyarakatnya. Di skala warga, urusan layanan masyarakat dan laporan ke instansi pemerintah secara online dalam kondisi sebelum Covid-19 saja sudah sulit dilakukan, seperti yang terjadi di Desa Tlogoharjo, Wonogiri, Jawa Tengah (Kominfo, 2019). Mencari sinyal telepon dan SMS harus naik ke tempat tinggi, sementara untuk tersambung internet mereka harus menempuh 14 kilometer ke daerah Punung, Pacitan, yang bahkan masuk Jawa Timur. Tak berhenti di sana saja, beberapa minggu yang lalu banyak berita bermunculan yang menceritakan kesulitan sekolah-sekolah mengadakan kegiatan belajar mengajar online untuk siswanya, kali ini bukan hanya karena faktor kesulitan jaringan internetatau telepon di desa mereka, tetapi karena alasan tidak seluruh siswa dan keluarganya memiliki telepon seluler. Ini pun juga menyadarkan kita, kesenjangan digital bukan hanya karena permasalahan koneksi yang buruk atau lokasi di perdesaan yang memiliki kesulitan aksesibilitas, tetapi juga faktor lain seperti keterampilan TIK, rendahnya level literasi dasar atau keterampilan numerik, bahkan rendahnya pendapatan (yang tidak mengimbangi mahalnya kuota internet) (Montagnier dan Wirthmann, 2011; ITU, 2012; Purbo, 2017).
Langkah Strategis Pemerataan dan Pemahaman Informasi
Tentunya, kita ingin kabar menyenangkan seperti yang diungkapkan Mas Sugeng dan Pak Kurniantara untuk terdengar pula di sebagian besar areal perdesaan yang ada di Indonesia. Namun, mengusahakan dibangunnya akses internet dan infrastruktur jaringan di perdesaan pada saat pandemi mungkin hal yang terlalu muluk-muluk, mengingat desa dan kabupaten kini harus fokus dulu terhadap langkah mitigasi covid-19 dan penyelamatan secara sosial, ekonomi, dan tentunya kesehatan. Apalagi, Purbo (2020: 77) mengatakan, persoalan kesenjangan digital harus dilihat melebihi isu akses semata, yakni dengan mengatasi perbedaan kemampuan mengakses manfaat dari internet yang harus diupayakan melalui pengembangan keterampilan komputer, keterampilan internet, dan literasi digital.
Dalam jangka pendek selama Indonesia masih berjuang melawan Covid-19, Kabupaten yang desa-desanya mengalami keterbatasan internet, bahkan masih merupakan desa blank spot, bersama desa-desa di bawahnya mau tidak mau harus menjembatani adanya kesenjangan digital dengan membentuk strategi berbeda yang tidak hanya mengandalkan sharinginformasi melalui kanal daring saja. Kabupaten dan desa harus tetap menciptakan alternatif-alternatif penyampaian informasi dan komunikasi yang tidak bergantung pada internet: misalnya tetap memerhatikan kondisi pos dan pengiriman barang antar-wilayah, serta transportasi trans-pulau.
Kabupaten sebaiknya memetakan daerah mana saja yang masuk kategori: (1) desa blank spot, (2) desa yang sudah memiliki infrastruktur jaringan telepon/SMS, tetapi belum memiliki jaringan internet, (3) desa yang sudah memiliki infrastruktur jaringan telepon/SMS dan internet, sekaligus tingkatan sinyal yang tertangkap gawai (GPRS, EDGE, 3G, HPSA, 4G/LTE). Hal ini dilakukan agar bisa terpetakan desa-desa dengan infrastruktur dan konektivitas paling memadai yang bisa menjadi “penyampai informasi utama” untuk desa-desa sekitarnya. Ketika kabupaten butuh untuk meneruskan suatu informasi yang hanya bisa dijembatani oleh internet, maka desa-desa penyampai informasi utama tersebut bisa meneruskan materi tersebut ke desa-desa sekitarnya tadi. Misalnya, ketika sebuah rapat virtual harus dilangsungkan, Desa B dengan konektivitas paling memadai akan mengundang Desa A dan C yang masih blank spot untuk turut serta rapat di desanya. Sementara, bila mengasumsikan pos pengiriman masih bisa mencapai desa-desa tanpa jaringan internet di masa pandemi Covid-19 ini, kabupaten juga harus memastikan modul-modul penting terkait Covid-19 (misal modul Buku Saku Desa Tangguh Covid-19,Panduan Isolasi Diri, Panduan Memakai Masker yang Benar) yang disebarluaskan melalui internet juga dapat dicetak dan dikirimkan ke desa-desa tersebut hingga ke tangan Relawan Desa Lawan Covid-19 (yang diasumsikan sudah dibentuk). Setelah dipetakan, “peta jaringan” tersebut juga disosialisasikan ke desa-desa.
Selain itu, kesenjangan digital yang juga terbit karena kurangnya konten-konten berbahasa lokal (Jurriens dan Tapsell, 2017) dan ramah segala level pendidikan sehingga memunculkan ketidakpahaman harus ditanggulangi dengan pengalihbahasaan konten ke bahasa lokal atau dalam format yang sederhana. Ini, misalnya, sudah dilakukan oleh Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) yang mentranslasikan kampanye cegah Corona ke 42 bahasa(Azis, 2020).
Meskipun kesenjangan digital dalam tataran internet memerlukan banyak upaya untuk ditanggulangi, SID di desa masih bisa berjalan dengan mengandalkan komputer atau laptop desa. Data keluar-masuk warga desa, termasuk pemudik, masih bisa dicatat, demikian pula data penduduk yang kira-kira memerlukan bantuan sosial seperti BLT masih bisa dihimpun dengan sinergi Relawan Desa Lawan Covid-19, RT, RW, dan Pemerintahan Desa. Harapannya, data-data ini bisa dikirim secara berkala baik melalui pos atau disampaikan melalui perantaraan “desa inti” dalam peta jaringan desa tadi. Lalu, modul-modul terkait Covid-19 yang sudah diterima desa, harapannya juga bisa disebarluaskan ke warganya (verbal ataupun tertulis).
Sementara itu, untuk jangka panjangnya, ketika pandemi Covid-19 ini selesai dan dampak ekonomi yang ditimbulkannya dapat berangsur-angsur dipulihkan, agenda pemerataan internet dan teknologi ke daerah-daerah perlu digencarkan lagi, apalagi melihat semakin diperlukannya internet sebagai sarana informasi dan komunikasi paling aman di tengah wabah penyakit menular. Mengutip dari Purbo (2017) harga peralatan yang relatif terjangkau saat ini, bertambahnya jumlah Dana Desa, dan kewenangan desa yang dijamin oleh UU No. 6 Tahun 2014 untuk merencanakan prioritas serta kebutuhan mereka, telah memberikan desa kesempatan untuk menyediakan infrastruktur internet mereka sendiri, tentu saja bila kebutuhan pembangunan infrastruktur ini disepakati oleh keseluruhan masyarakat di desa. Namun, Purbo mewanti-wanti, keinginan membangun infrastruktur jaringan sebaiknya memakai strategi bottom-up. Pertama, masyarakat desa harus tumbuhkesadarannya akan kebutuhan internet dari proses mengalami sendiri, artikel, diskusi, seminar, media, dsb—Covid-19 dapat dijadikan sebagai momentum untuk “menyadari” hal ini. Kedua, mereka kemudian menciptakan permintaan untuk membangun infrastruktur internet. Ketiga, infrastruktur pun dibangun, entah melalui sokongan operator komersil atau masyarakat secara mandiri. Keempat, ekosistem manufaktur dalam negeri pun menciptakan komponen yang diperlukan (saklar, perkabelan, titik akses WiFi) untuk mengoperasikan infrastruktur hingga tak perlu diakses dari luar negeri (Purbo dan Walton, 2010; dalam Purbo, 2017). Seluruh usaha ini bisa didanai oleh masyarakat sendiri tanpa bantuan pemerintah pusat, sehingga ada prinsip kemandirian juga.
Strategi bottom-upyang diawali oleh poin “menyadari” pentingnya internet, merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan oleh institusi supra desa, mulai dalam tataran pemerintah seperti pemerintah kabupaten dan provinsi, atau non-pemerintah seperti CSO untuk menumbuhkan kesadaran terkait pentingnya internet. Program-program yang diciptakan bisa diarahkan ke sini, tentu saja diiringi dengan pendampingan dan yang paling penting, program dengan tujuan membangun literasi digital kritis yang melampaui kemampuan mengoperasikan komputer.
Merefleksikan kembali dari permulaan pada artikel kecil ini, kemudahan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan langkah pencegahan Covid-19 melalui internet bukanlah kemewahan yang dimiliki seluruh daerah di Indonesia. Kesenjangan digital nyata adanya, tetapi apabila kabupaten dan desa-desa sama-sama mengupayakan cara untuk tetap saling terkoneksi tidak hanya melalui internet, informasi dan komunikasi terkait Covid-19 tetap bisa disampaikan, meskipun dalam waktu yang relatif lebih lama. Poin inklusivitas tetap harus ditekankan, karena dalam kasus ini, mereka yang tereksklusi dari jaringan internet telah terkategorisasi sebagai “kelompok rentan”.
Referensi:
Purbo, O. W. (2017). Narrowing the digital divide. Dalam E. Jurriens & R. Tapsell (Peny.), Digital Indonesia: Connectivity and Divergence (hlm. 75-92)
Shabia (Asisten Peneliti IRE)