Keterbatasan lahan dan modal finansial menjadi faktor pendorong warga Gunungkidul melakukan migrasi keluar. Migrasi keluar menjadi strategi penghidupan yang dipilih warga karena struktur dan organisasi sosial tidak mampu menghadirkan portofolio aset/sumberdaya sebagai sumber penghidupan yang produktif dan berkelanjutan. Aliran migrasi keluar ini akhirnya menasbihkan Gunungkidul sebagai lumbung para migran lokal dan nasional. Animo migrasi mengalir terus karena daerah tujuan terus menerus memberikan penghidupan yang lebih baik, bahkan para migran berhasil memberikan remitensi (kiriman uang) kepada keluarganya di daerah asal. Potensi remitensi di Kabupaten Gunungkidul tidak boleh diremehkan, karena remitensi telah menjelma sebagai simbol ikatan sosial, bahkan berpotensi untuk investasi sosial. Apakah remitensi dapat ditransformasikan dari ikatan sosial menuju investasi sosial? Bagaimana peluang dan tantangan mentransformasi remitensi ini untuk investasi sosial?
Pengantar
RA (35), warga Bedoyo pada penelitian yang dilakukan IRE dan Pemda Gunungkidul bercerita tentang tambang kapur di desanya. Ia mengaku paham bahwa tambang merusak lingkungan, namun kata RA jika ditutup maka orang-orang di desanya akan semakin banyak merantau, artinya suami akan jauh dengan istri dan anaknya dan keluarga bisa rusak. Untuk keluarganya yang tak punya lahan pertanian, tidak ada pilihan lain selain merantau jika tidak bisa lagi menjadi buruh tambang kapur. Merantau atau migrasi menjadi jalan terakhir dan bisa jadi satu-satunya jalan yang tersisa bagi keluarga-keluarga petani tanpa lahan seperti RA.
Kasus seperti keluarga Ratinem tidak sedikit. Migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul memiliki beragam motivasi. Salah satu faktor pendorong untuk migrasi adalah sedikitnya lahan pertanian dan peluang kerja di wilayah Gunungkidul. Sedangkan kesempatan ekonomi di daerah lain yang lebih baik, menjadi salah satu faktor penarik bagi masyarakat Gunungkidul untuk melakukan migrasi. Migrasi menjadi salah satu strategi nafkah (livelihood strategy) bagi masyarakat Gunungkidul yang ingin mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Keluarga WI dari Desa Putat. Terdorong oleh kebutuhan keluarga, biaya pengobatan WI, dan sedikitnya lahan garapan, suami WI yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan buruh serabutan memutuskan untuk bekerja di Jakarta sebagai buruh kerajinan mebel. Dengan bekerja di Jakarta, ada harapan suami WI bisa mendapatkan uang lebih dan mengirimkan uang (remitensi) ke keluarga di Gunungkidul.
Remitensi dipandang sebagai upaya perantau dalam membantu penghidupan keluarga di daerah asal sekaligus menjaga ikatan sosial yang ada. Menurut kecenderungan yang ada, remitan berupa uang lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi individu (misalnya investasi jangka panjang seperti pendidikan dan investasi usaha seperti pembuatan warung).
Tulisan ini melihat bagaimana masyarakat Gunungkidul melakukan migrasi sebagai strategi nafkah supaya dapat memberikan remitensi kepada keluarga di daerah asal. Tulisan ini bukan sekedar melihat migrasi dan remitensi sebagai potensi untuk membantu mengurangi kemiskinan di Gunungkidul. Lebih jauh lagi, tulisan ini juga melihat bagaimana migrasi dan remitensi dilihat sebagai rantai persoalan dan bagaimana stakeholders yang ada bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini.
RA (35), warga Bedoyo pada penelitian yang dilakukan IRE dan Pemda Gunungkidul bercerita tentang tambang kapur di desanya. Ia mengaku paham bahwa tambang merusak lingkungan, namun kata RA jika ditutup maka orang-orang di desanya akan semakin banyak merantau, artinya suami akan jauh dengan istri dan anaknya dan keluarga bisa rusak. Untuk keluarganya yang tak punya lahan pertanian, tidak ada pilihan lain selain merantau jika tidak bisa lagi menjadi buruh tambang kapur. Merantau atau migrasi menjadi jalan terakhir dan bisa jadi satu-satunya jalan yang tersisa bagi keluarga-keluarga petani tanpa lahan seperti RA.
Kasus seperti keluarga Ratinem tidak sedikit. Migrasi yang dilakukan oleh masyarakat Gunungkidul memiliki beragam motivasi. Salah satu faktor pendorong untuk migrasi adalah sedikitnya lahan pertanian dan peluang kerja di wilayah Gunungkidul. Sedangkan kesempatan ekonomi di daerah lain yang lebih baik, menjadi salah satu faktor penarik bagi masyarakat Gunungkidul untuk melakukan migrasi. Migrasi menjadi salah satu strategi nafkah (livelihood strategy) bagi masyarakat Gunungkidul yang ingin mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini sebagaimana yang dialami oleh Keluarga WI dari Desa Putat. Terdorong oleh kebutuhan keluarga, biaya pengobatan WI, dan sedikitnya lahan garapan, suami WI yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dan buruh serabutan memutuskan untuk bekerja di Jakarta sebagai buruh kerajinan mebel. Dengan bekerja di Jakarta, ada harapan suami WI bisa mendapatkan uang lebih dan mengirimkan uang (remitensi) ke keluarga di Gunungkidul.
Remitensi dipandang sebagai upaya perantau dalam membantu penghidupan keluarga di daerah asal sekaligus menjaga ikatan sosial yang ada. Menurut kecenderungan yang ada, remitan berupa uang lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar yaitu konsumsi rumah tangga dan investasi individu (misalnya investasi jangka panjang seperti pendidikan dan investasi usaha seperti pembuatan warung).
Tulisan ini melihat bagaimana masyarakat Gunungkidul melakukan migrasi sebagai strategi nafkah supaya dapat memberikan remitensi kepada keluarga di daerah asal. Tulisan ini bukan sekedar melihat migrasi dan remitensi sebagai potensi untuk membantu mengurangi kemiskinan di Gunungkidul. Lebih jauh lagi, tulisan ini juga melihat bagaimana migrasi dan remitensi dilihat sebagai rantai persoalan dan bagaimana stakeholders yang ada bertanggung jawab dalam menyelesaikan persoalan ini.