Jalan berliku harus dilalui untuk mendorong lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Setelah UU Desa disahkan, jalan untuk menuju desa yang lebih sejahtera seperti yang diharapkan undang-undang ternyata juga belum sepenuhnya mulus.
Sejak tahun 2010, aparat desa dari sejumlah wilayah beberapa kali harus ke Jakarta, mendatangi Kompleks Parlemen atau Kementerian Dalam Negeri, untuk mendesak agar RUU Desa segera dibahas.
Saat akhirnya RUU Desa siap dibahas pada Maret 2012, sejumlah fraksi di DPR berebut menjadi pimpinan panitia khusus (pansus) yang membahas RUU itu. Akhmad Muqowam dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, saat itu, akhirnya terpilih menjadi ketua pansus.
Perebutan pimpinan Pansus RUU Desa terjadi karena RUU itu termasuk yang banyak menarik simpati masyarakat. Hal ini tak lain karena ada wacana, lewat RUU itu, kelak setiap desa akan mendapat dana hingga Rp 1 miliar setiap tahun. Jika wacana itu berhasil diperjuangkan, politisi yang memperjuangkannya berpotensi mendapat simpati masyarakat. Apalagi, saat itu Pemilu 2014 hanya sekitar dua tahun lagi.
Ketika akhirnya DPR setuju untuk mengesahkan UU Desa pada akhir 2013, isu Rp 1 miliar untuk setiap desa tetap dipakai sejumlah pihak pada Pemilu 2014 untuk menarik massa. Saking hangatnya penggunaan isu itu selama kampanye, sejumlah pihak sampai menjelaskan bahwa siapa pun yang menang di pemilu, dana desa tetap turun karena merupakan perintah UU.
Persyaratan
Saat ini, sebagian dari dana desa telah dikucurkan pemerintah. APBN-P 2015 menyediakan anggaran sebesar Rp 20,7 triliun. Menurut data BPS, Indonesia memiliki 81.635 desa.
Hingga saat ini, tinggal 16 kabupaten/kota yang belum menerima transfer dana desa dari Kementerian Keuangan. Sebanyak 10 dari daerah itu merupakan kabupaten di Papua, yaitu Biak Numfor, Merauke, Paniai, Sarmi, Tolikara, Waropen, Supiori, Mamberamo Raya, Mamberamo Tengah, dan Puncak. Sementara di Papua Barat adalah Kabupaten Teluk Bintuni. Tiga daerah lainnya ada di Pulau Jawa, yakni Bekasi dan Majalengka di Jawa Barat serta Kota Batu, Jawa Timur. Dua daerah lain adalah Kepahiang di Bengkulu dan Konawe di Sulawesi Tenggara (Kompas, 1/7).
Hal itu terjadi karena 16 kabupaten/kota itu belum membuat peraturan daerah (perda) tentang alokasi dana desa, seperti yang disyaratkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Desa.
Perda tentang alokasi dana desa menjadi salah satu masalah yang kini muncul terkait dana desa. Ada sejumlah masalah lain, seperti tentang ketimpangan dalam jumlah dana yang diterima setiap desa. Sebagai contoh, besar dana desa tahap pertama yang diterima setiap desa di Sidoarjo, Jawa Timur, antara Rp 38 juta hingga Rp 403 juta. Di Batang, Jawa Tengah, alokasi dana desa yang diberikan antara Rp 51,6 juta hingga Rp 916 juta.
Ketimpangan itu akibat dari ketentuan tentang jumlah dana yang diterima setiap desa, seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 22/2015 tentang Perubahan atas PP No 60/2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN.
Sementara itu, beberapa desa di Jawa Timur sebelum menerima dana desa sudah melakukan pengadaan laptop yang dananya ditalangi pengusaha setempat. Di Sulawesi Selatan, ada pengusaha menyumbang dana kampanye di pemilihan kepala desa agar mendapat proyek pengadaan dari dana desa.
Perangkap hukum
Dalam pembagian dana desa, setiap desa harus membuat perencanaan dan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa. Persyaratan ini bisa menjadi persoalan karena masih ada kepala desa yang kesulitan membaca dan menulis.
Pembuatan perencanaan dan laporan yang dimaksudkan untuk menumbuhkan manajemen perencanaan dan pertanggungjawaban akhirnya tak hanya dapat memunculkan birokratisasi berlebihan di desa, tetapi juga bisa menjadi perangkap hukum.
UU Desa telah disahkan. Kini, satu-satunya jalan adalah mengoptimalkan pengawasan dan pemberdayaan untuk mengatasi berbagai kendala yang muncul di desa. Dengan demikian, dana desa dapat dioptimalkan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Sumber : Kompas, 3 Juli 2015