
Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa kini masuk babak baru. Pada akhir tahun 2013 ini RUU tentang Desa akan diputuskan. Beberapa perangkat desa di seluruh Indonesia menurut beberapa sumber akan mengikuti persidangan pleno dari jarak dekat yang akan memutuskan Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang. Artinya para kepala desa dan atau perangkat desa dari seluruh daerah di Indonesia akan berbondong-bondong datang ke Senayan.
Misalnya perangkat desa yang tergabung dalam FPD (Forum Pembaharuan Desa) pada 12 Desember 2013 telah melakukan konsolidasi yang akan menurunkan pasukannya sekitar 5.000 orang kepala desa dan perangkat desa menyambangi gedung DPR/MPR/DPD RI di Senayan Jakarta memberi dukungan moral kepada DPR RI, khususnya Pansus RUU Desa DPR RI yang rencananya akan menyelenggarakan sidang paripurna pengesahan RUU Desa di akhir masa sidang tahun 2013 pada 18 Desember 2013.
Ketua FPD, H. Agus Tri Raharjo, kepada Flamma mengatakan bahwa perangkat desa yang sudah dikoordinir akan siap menjunjung disahkannya RUU tentang Desa menjadi UU. Ia memastikan kepala desa dan perangkat desa yang tergabung dalam FPD tidak akan melakukan kekisruhan yang dapat mengganggu proses jalannya paripurna. “Tidak akan seperti tahun kemarin (aksi demonstrasi perangkat desa di depan gedung Senayan) yang berakhir ricuh. Aksi ini merupakan bentuk dukungan moral kepala desa dan perangkat desa kepada pansus (panitia khusus RUU Desa) dan anggota dewan bahwa UU tentang Desa memang penting untuk segera disahkan,” ungkap Agus di sela konsolidasi pemberangkatan kemarin (Kamis, 12/12/13) di Sukoharjo.
Dorongan untuk segera disahkannya RUU tentang Desa sudah mencuat beberapa tahun terakhir ini. Tidak hanya oleh elemen perangkat desa, beberapa elemen lain yang concern terhadap kajian desa juga ikut serta menanti-nati lahirnya produk hukum resmi yang berkaitan prihal pengaturan tentang desa. Dalam siaran persnya, FPD mengatakan bahwa alasan realistis mengapa UU tentang Desa harus segera disahkan karena akhir tahun ini menjelang memasuki tahun politik. Bila akhir tahun ini belum bisa disahkan paripurna DPR RI pasti di tahun 2014 akan sangat kecil dan tipis peluangnya untuk bisa lahir jadi Undang-Undang. Bila hal itu terjadi, FPD bersama perangkat lainnya mengancam akan memboikot tidak memilih calon legislatif pada pemilu April 2014.
Tarik Ulur
RUU Desa sejatinya masuk dalam pembahasan prolegnas (program legislasi nasional) pada tahun 2012 lalu. Adanya tarik ulur pembahasan mengenai substansi dan kepentingan politik membuat RUU ini molor disahkan. Tidak hanya itu, RUU ini sebenarnya sudah diajukan kurang lebih tujuh tahun lalu. Adanya kepentingan dan saling tarik ulur antar beberapa golongan di parleman disebutkan oleh beberapa kalangan sebagai indikasi molornya pembahasan prihal UU Desa.
Pertanyaan yang acap mengemuka sejauh mana UU tentang Desa penting? Bukankah desa tidak dikenal secara eksplisit dalam konstitusi? Bukankah UUD 1945 hanya mengakui kesatuan masyarakat hukum adat? Juga mengapa penting desa diatur tersendiri dalam undang-undang? Tidakkah cukup desa diatur dalam UU Pemda (Pemerintah Daerah)? Serta seabrek pertanyaan prihal UU Desa.
Sejak 2005 pemerintah bersama DPR RI telah mengambil kesepatan untuk melakukan pemecahan UU No. 32/2004 menjadi tiga undang-undang: UU Pemda, UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan UU Desa. Ketiga RUU telah berproses sejak 2007. Di kalangan Tim Pakar Kementerian Dalam Negeri, melalui debat yang panjang, pada tahun 2009 mengambil kesepakatan untuk merumuskan dua pasal interface (penghubung atau cantolan) tentang desa dalam RUU Pemerintahan Daerah. Pasal pertama berbicara tentang definisi desa, dan pasal kedua berbunyi: desa selanjutnya diatur dengan UU tersendiri. (Sutoro Eko, policy brief, 12/11/09)
Menurut Sutoro Eko, ketua FPPD (Forum Pengembangan Pembaharuan Desa), mengatakan bahwa nomenklatur RUU Desa tetap berjalan dan digunakan secara resmi oleh pemerintah dan DPR. Namun perjalanan RUU Desa sejauh ini dihadapkan pada rangkaian pertanyaan di atas, atau menghadapi gugatan dari beberapa pihak, terutama gugatan terhadap posisi formal (legal standing) dan nomenklatur desa. Tentu berbagai pertanyaan dan gugatan itu harus dijawab agar RUU Desa mempunyai kekuatan formal dan material yang memadai.
Secara terpisah, Drs. Achmad Muqowam (ketua Pansus RUU Desa), membenarkan bahwa RUU Desa lahir dari revisi UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian oleh Pemerintah diajukan 3 UU, yakni UU Pilkada, UU Pemda, dan UU Desa. Berkaitan dengan pembuatan UU ini di DPR, UU Pilkada oleh komisi II dan UU Pemda dan UU Desa oleh Pansus. Bagaimana mengkonsolidasikan substansi yang terkait? Pertanyaan demikian menjadi persoalan serius. Hal tersebut kiranya juga berdampak pada molornya pembahasan dan pengesahan RUU Desa menjadi UU.
Di sela-sela diskusi IRE-FPPD dengan PBNU di ruang pertemuan PBNU tahun lalu (27/12/12), Muqowam yang juga menjadi anggota DPR RI fraksi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) mengatakan bahwa pembahasan materi UU yang tercakup dalam tiga rangkaian tersebut cukup rumit. Jika ada materi yang secara substansi tidak berbeda atau sebaliknya yang secara substansi sama di dalam UU Pilkada, UU Pemda, dan UU Desa, maka disepakati dulu. “Kita (komisi II DPR RI dan pansus) sepakat, pertama bahwa UU Pilkada (di Komisi II) yang substansi tidak terlalu banyak, akan digolkan. Kedua adalah UU Pemda. Hal tersebut karena hak yang sifatnya subsidiaritas, UU Pemda akan memberikan kewenangan kepada desa didalam batas-batas tertentu. Kalau UU Desa didahulukan maka saya kawatir manakala ada pasal di UU Pemda yang tidak terakomodasi di dalam UU Desa,” ungkap Moqowam.
Kini, setelah mengalami rangkaian perubahan dari waktu ke waktu (pembahasan terakhir 3 Desember 2013) RUU tentang Desa mengalami substansi pokok pembahasan. Dari catatan Flamma terdapat beberapa capaian yang bisa dikatakan lebih baik dari pembahasan-pembahasan sebelumnya. Diantaranya mengenai pengaturan desa, kewenangan, pemerintahan desa, keuangan dan aset desa, dan badan usaha milik desa (BUMDes).
Pro dan kontra prihal pembahasan RUU Desa telah mengemuka sejak RUU ini diajukan. Tidak sedikit kalangan yang menyangsikan bahwa RUU tentang Desa penting dituntaskan. Tidak sedikit pula mereka yang was-was bahwa RUU ini akan menjeneralisir desa di seluruh Indonesia. Jawanisasi desa yang mereka sebut sebagai langkah merubah keadaan desa yang ada di seluruh di nusantara, tanpa terkecuali desa adat, menjadi lebih kaku dan seragam.
Sebaliknya, adanya kepastian produk hukum yang mengatur tentang desa dapat menjadi payung hukum atau IRE menyebut sebagai benteng pertahanan. Apabila RUU Desa lepas (lagi) dari pembahasan akan berefek pada kemajuan pembangunan di desa. Menurut Ari Sujito, ketua advokasi RUU Desa dan peneliti IRE, mengatakan bahwa berpikir tentang RUU Desa jangan sekedar membahas Undang-Undang yang diperuntukkan bagi elit desa. Lebih dari itu ialah bagaimana UU Desa nantinya dapat menjadi kemeslahatan bersama seluruh warga desa.
Arie Sujito mengatakan bahwa persoalan desa tidak hanya berhenti di tingkat elit desa, akan tetapi bagaimana desa didorong menjadi daulat sehingga kedudukan, kewenangan, keberagaman, dan sumber daya manusia (resources) yang menjadi masalah serius di tingkat desa dapat tersalurkan dengan baik. “Tidak cukup desa hanya diakui tetapi tidak ada resources yang didistribusikan kepada mereka. Kita harus bela desa, tetapi kita juga harus didik desa. Jika di desa terjadi diskriminasi gender, terjadi kekerasan atas nama hukuman dengan konteks lokalitas, maka kita tidak boleh tutup mata. Kita harus bela adat. Kalau ada dimensi adat yang melanggar, kita harus didik edukasi mereka. Ini yang disebut demokrasi kontekstual, tidak semata-mata mengambil dari luar dan kita terapkan atau sekedar membenarkan atas nama sejarah. Karena sejarah ada nilai positif kita akui, tetapi ada dimensi yang cukup kritis,” ungkap Ari Sujito seperti terekam dalam diskusi dengan pengurus besar Nahdlatul Ulama di ruang pertemuan PBNU pada kamis (27/12/12) tahun lalu.