Setiap institutional arrangement pengambilan keputusan politik di Indonesia senantiasa didasarkan pada prinsip demokrasi: keadulatan rakyat dan representasi warga. Perencanaan dan penganggaran, yang dipayungi dengan UU No. 25/2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional (SPPN), merupakan salah satu institutional arrangement yang mengutamakan prinsip demokrasi. Setiap tahun perencanaan dan penganggaran selalu hadir sebagai arena bagi demokrasi, terutama partisipasi warga, deliberasi multiaktor dan representasi rakyat melalui para wakil rakyat (lembaga representasi). Secara normatif, keputusan akhir dalam bentuk RAPBN atau RAPBD diharapkan oleh semua pihak benar-benar mencerminkan kedaulatan rakyat dan representasi warga, sehingga pelaksanaan dan hasil-hasilnya memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan rakyat.
Tetapi sistem dan praktik perencanaan dan penganggaran (PDP) sungguh merisaukan. Berbagai kekecewaan dan kritik banyak studi telah ditujukan kepada sistem PDP selama beberapa tahun terakhir: usulan dari bawah yang naik ke atas tidak jelas nasibnya; proses Musrenbang yang terjebak pada formalitas; partisipasi yang dangkal dan masih banyak lagi. Berbeda dengan studi-studi sebelumnya, fokus policy brief ini pada representasi warga dalam perencanaan dan penganggaran. Secara konseptual, representasi warga dalam PDP dapat ditunjukkan dengan tiga komponen: partisipasi langsung sebagaimana direkomendasikan oleh aliran strong democracy, deliberasi melalui forum bersama seperti anjuran deliberative democracy, dan artikulasi melalui institusi elitis (parlemen) sebagaimana dianjurkan oleh teorirepresentative democracy (Olle Tornquist, 2009).
Isu representasi warga ini kami kedepankan karena rapuhnya relasi antara warga dan parlemen bukan hanya dalam ranah institusi demokrasi perwakilan, tetapi juga dalam ranah PDP. PDP menyajikan skema yang berbeda antara hubungan warga dengan eksekutif dan antara warga dengan legislatif (parlemen). Kedua jalur yang berbeda masing-masing mempunyai klaim representatif, tetapi secara institusional dan empirik, keduanya tetap saling mendistorsi, sehingga memperlemah representasi warga dan merapuhkan proses dan hasil PDP.
Politik Akomodasi Kuat, Politik Representasi Lemah
Sistem PDP lebih mengutamakan politik akomodasi ketimbang politik representasi. Politik akomodasi diwujudkan dengan mewadahi beragam aktor beserta cara pandang dan kepentingannya masing-masing. PDP berupaya mengakomodasi tiga pendekatan: politik (sebagai ranah pejabat politik seperti presiden, gubernur, bupati/walikota dan DPR maupun DPRD); teknokratik (pendekatan yang mengutamakan keahlian dan kecermatan yang menjadi ranah birokrasi) dan partisipasi (ranah warga dan masyarakat). Negara, khususnya lembaga eksekutif, menyediakan Musrenbang dari bawah (desa) sampai nasional, sebagai arena representasi, partisipasi, dan deliberasi warga untuk terlibat dalam perencanaan. Tabel 1 secara jelas memahami kembali berbagai proses yang terjadi dalam tiga pendekatan dan dua jalur (dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas) yang diamanatkan oleh UU No. 25/2004.
Tim Peneliti: Sutoro Eko, Abdur Rozaki, M. Zainal Anwar, Sunaji Zamroni, Dina Mariana, Bornie Kurniawan,