Lompat ke konten

Reforma Agraria dari Desa

  • oleh

Screen Shot 2016-05-31 at 10.20.38 AM

 

UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berupaya memperkuat desa sebagai basis penghidupan melalui gagasan kemandirian desa. Berbekal kewenangan yang dimiliki, desa diharapkan menjadi arena sekaligus basis penghidupan bagi masyarakatnya melalui aset yang dimilikinya. Dalam konteks ini, penguasaan dan pemanfaatan aset di desa memerlukan tidak saja kepastian dan kejelasan status melalui proses inventarisasi, namun juga partisipasi dan kontrol masyarakat. Tujuannya agar penguasaan aset tidak didominasi semata untuk kepentingan elit desa (elite capture), namun juga dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa serta meningkatkan pendapatan asli desa. Dalam konteks itu, keadilan akses dalam kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria di desa mutlak dibutuhkan untuk menopang basis penghidupan masyarakat.

Namun demikian, tak jarang ketidakadilan dan ketimpangan penguasaan lahan sebagai salah satu sumber agraria memicu terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat, negara, dan perusahaan swasta. Tuntutan redistribusi lahan pun menjadi salah satu langkah penyelesaian konflik agraria di tingkat lokal. Dalam konteks konflik semacam ini, desa seringkali justru berdiri di belakang kekuatan

aktor supra desa yang berhadap-hadapan dengan masyarakat, alih-alih menjadi aktor yang memediasi sengketa yang ada. Pertanyaan yang mesti diajukan adalah sejauh mana UU Desa mampu memberikan peluang bagi desa untuk mencapai penyelesaian akhir atas konflik agraria yang terjadi dan bagaimana alternatif pengelolaan aset yang dapat ditawarkan? Riset IRE di Desa Gadungan, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Blitar dan Desa Lendang Nangka, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur beberapa waktu lalu berupaya menjawab pertanyaan tersebut.

Download Policy Brief : Reforma Agraria dari Desa

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.