Lompat ke konten

REFLEKSI 3 TAHUN UNDANG-UNDANG DESA

dsc_0222

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

”Yang terhormat bapak Anwar Sanusi Sekjen Kementrian Desa, PDT dan trasnmigrasi, Ibu Wakil Bupati Sleman, Bapak Camat Sleman, dan seluruh hadirin. Marilah kita panjatkan puji syukur alhamdulilah kepada Tuhan, atas berkat rahmatnya kita semua dapat berkumpul dalam acara ini dengan keadaan yang sehat walafiat”demikian salam dari kepala desa Pandowoharjo Catur Sajumiharja dalam pembukaan Seminar Nasional di Balai Desa Pandowoharjo yang diikuti dengan sambutan dari Wakil Bupati Kabupaten Sleman Muslimatun dan Direktur IRE Sunaji Zamroni.

Seminar Nasional ini merupakan salah satu kegiatan yang diselenggarakan oleh IRE dalam rangka memperingati 3 Tahun Refleksi UU Desa yang diadakan di Balai Desa Pandowoharjo, Sleman Yogyakarta tanggal 17-18 Desember 2016.Dalam seminar nasional kali ini menghadirkan empat orang narasumber yaitu Ketua Komite I DPD RI Ahmad Muqowam, Sekjen Kementrian Desa PDT dan Transmigrasi Anwar Sanusi, Direktur Daerah Tertinggal, Transimgrasi dan Pedesaan BAPPENAS Sumedi Andono Mulyo, dan Direktur IRE Sunaji Zamroni.

Seminar yang dipandu oleh Krisdiyatmiko selaku moderator ini, diawali dengan paparan dari Ahmad Muqowam. Dalam materinya beliau beranggapan bahwa kelahiran UU 32 tahun 2004 menghadirkan sebuah gerakan pemikiran untuk mendesak agar regulasi tentang desa bisa lebih advance. Apresiasi beliau tentang UU Desa ditunjukkan beliau dengan ucapan terimakasih kepada IRE dan kelompok sosial lainnya yang berjuang dalam pembentukan UU Desa. Di tengah-tengah paparannya, beliau mengingatkan bahwa apapun kondisi UU Desa saat ini merupakan warisan dari pemerintahan masa lalu, “siapapun presidennya tahun ini, harus berterimakasih kepada SBY karena tidak bisa dipungkiri UU Desa adalah warisan pemerintahan masa lalu”ucapnya. Undang-undang desa yang tidak ditangani oleh satu kementrian yang berakibat pada kebingungan akan regulasi pada pelaksanaan UU Desa, merupakan persoalan yang kompleks menurut beliau. Hal ini dikarenakan oleh beragamnya peraturan yang membuat desa hanya akan menjadi korban regulasi dalam kebingungan praktik pelaksanaan.

Dalam paparan kedua yang dibawakan oleh Anwar Sanusi sebagai Sekjen Kemendes PDT dan Daerah Tertinggal, menjelaskan materi tentang permasalahan kesimpang-siuran regulasi dalam UU Desa dan pembangunan desa yang berkualitas yang berdasar pada perbaikan kualitas ekonomi desa. ”UU Desa merupakan undang-undang yang sangat aktif untuk menelurkan regulasi-regulasi seperti PP, belum lagi permendes dan permendagri. Ditambah dengan urusan desa yang dibagi dalam dua kementerian, merupakan sebuah keputusan politik dan kita tinggal meneruskan dengan membantu membuat pola kelembagaan yang baik dari dua kemeterian tadi sehingga bisa saling menghormati urusan masing-masing” ucap beliau. Sikap saling rebut yang ditunjukkan oleh Kemendes dan Kemendagri dalam mengeluarkan regulasi diakui beliau menguras energi yang luar biasa dan menciptakan kondisi kebingungan di ruang lingkup pemerintahan desa. Dalam menutup paparannya, beliau berpendapat bahwa lahirnya BUMDES dapat menjadi pemicu gairah ekonomi masyarakat desa baik skala besar maupun skala kecil. “Kita tawarkan dan juga sedang kita kembangkan konsep one village, one product dan kita juga sedangkan kembangkan desa online karena tidak bisa dipungkiri kita hidup dalam digital society” pungkasnya menutup materi.

Sebagai narasumber ketiga dalam seminar ini, Sumedi Andono lebih menekankan pada bagaimana cara pandang yang seharusnya dalam menyikapi kehadiran UU Desa. “Spirit UU Desa masih kurang dua hal yaitu bagaimana membuat masyarakat desa bahagia dan bermartabat” ungkap beliau dalam penjelasan materinya. Paparan beliau yang mengedepankan pola pikir dan cara pandang UU Desa ini memberikan pemahaman bahwa seharusnya ada perubahan cara pandang kemendagri, kemenkeu, kemendes, dan juga bappenas bahwa masyarakat desa dapat dipercaya dan kehadiran Bappenas dalam hal ini adalah berusaha mempertegas pendekatan asimetris dalam UU Desa. Terkait dengan dana desa, beliau berpendapat bahwa dana desa adalah stimulan bukan tujuan. “Tugas pemerintah desa adalah bagaimana menempatkan dana desa sebagai instrumen”pungkasnya. Dalam menutup paparannya beliau memberikan usulan bahwa desa tidak bisa dibiarkan sendirian, bupati dan gubernur harus senantiasa mendampingi. Begitu pula kementrian harus senantiasa mendampingi dalam upaya membangun desa.

“Dalam 3 tahun pelaksanaan UU Desa ini masih terasa kurang merata dan tidak bertenaga. Kurang merata dalam pemahaman dan pengetahuannya” demikian ungkapan Sunaji Zamroni mengawali materinya sebagai narasumber terakhir dalam seminar ini. Dalam materinya Sunaji mengungkapkan bahwa ada beberapa isu krusial yang dihadapi dalam UU Desa. Pertama, masih ada peraturan-peraturan teknis di daerah yang seolah-olah mengambil alih kewenangan desa. Kedua, dalam membuat perturan seharusnya daerah hanya memberikan pedoman saja tidak untuk mengatur secara rigid sehingga tidak membatasi hak desa untuk menentukan nasib sendiri. Ketiga, di dalam berdesa cara pandang yang digunakan harus merupakan cara pandang desa sebagai suatu entitas dengan paham bahwa desa merupakan pencangkokan local self government dengan masyarakatnya. Keempat, perlu ditelaah terkait bagaimana aset-aset yang masuk ke desa dapat ditransformasikan menjadi sumber-sumber penghasilan masyarakat desa yang berkelanjutan dan BUMDES jangan hanya didudukkan sebagai bisnis tapi sebagai entitas di desa yang mendampingi pemerintah dan masyarakat desa untuk mentransformasikan potensi sosial dan ekonomi di desa itu. bagaimana kita mendorong BUMDes sebagai gerakan ekonomi dan sosial di desa. Kelima, koordinasi antara kementrian, pemerintah daerah dan pemerintah desa merupakan hal yang sangat vital dalam mendorong pengetahuan dan pemahaman tentang UU Desa oleh seluruh masyarakat.

Dalam seminar kali ini diberikan kesempatan kepada 7 orang peserta untuk bertanya kepada keempat narasumber yang dibagi dalam dua sesi terkait materi yang sudah disampaikan. Secara mendasar, keseluruhan pertanyaan peserta lebih menekankan bagaimana solusi akan keambiguan regulasi, bagaiamana menerapkan UU Desa pada pemerintahan desa yang belum terbuka, dan ditengah keambiguan regulasi mana regulasi yang harus dianut oleh masyarakat dan pemerintah desa. “Kelompok marjinal memang harus menjadi bagian integral perencanaan desa. Problemnya lagi-lagi pemahaman UU Desa hanya dimiliki oleh elite desa. Makannya ketika pemahaman substantif UU Desa menyebar, maka saya pikir pelaksanaan UU Desa akan meliputi semua komponen desa,” ungkap Sunaji dalam mejawab pertanyaaan sesi terakhir yang sekaligus mengakhiri seminar nasional tersebut.

Zen Siboro

Mahasiswa Magang IRE

 

1 tanggapan pada “REFLEKSI 3 TAHUN UNDANG-UNDANG DESA”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.