Latar Belakang Semesta desa adalah semesta yang paradoks. Desa sebenarnya mempunyai sejarah yang lebih tua dan panjang daripada Republik Indonesia. Indonesia adalah sebuah negeri agraris yang berbasis desa. Desa merupakan bagian penting dari republik, setidaknya secara statistik mayoritas rakyat Indonesia hidup di desa dan menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Tetapi semesta ketatanegaraan dan pembangunan Indonesia selalu meminggirkan (marginalisasi) desa, sehingga menimbulkan ketergantungan, kemiskinan, keterbelakangan, ketertinggalan desa. Sepanjang enam dekade, Republik Indonesia tidak mempunyai regulasi tentang desa yang kokoh, legitimate dan mampu menjawab sisi paradoks yang melekat pada desa. Sejak 1948 hingga sekarang, Undang-undang yang mengatur desa silih berganti dan mengalami bongkar-pasang, tetapi semuanya tidak memperlihatkan perubahan dan kemajuan yang bermakna untuk membangun harkat-martabat desa.
Kini di bawah payung UU No. 32/2004, desa tetap menghadapi berbagai level dan bentuk permasalahan. Pertama, masalah kemandirian atau otonomi desa. Sejak lahir UU No. 22/1999 otonomi (kemandirian) desa selalu menjadi bahan perdebatan dan bahkan menjadi tuntutan riil dari bawah, tetapi sampai sekarang belum terumuskan visi (roh) bersama apa makna otonomi desa. Apakah yang disebut otonomi desa adalah “otonomi asli” sebagaimana menjadi sebuah prinsip dasar yang terkandung dalam UU No. 32/2004, atau otonomi yang disentralisasikan seperti halnya otonomi daerah? Otonomi asli sering dikemukakan banyak pihak tetapi substansinya tidak jelas. Ada banyak kalangan bahwa otonomi desa berdasar otonomi asli, yang berarti desa mengurus sendiri sesuai dengan kearifan dan kapasitas lokal, tanpa intervensi dan tanggungjawab negara. Tetapi juga ada banyak pandangan bahwa sekarang otonomi asli itu sudah hilang sebab semua urusan pemerintahan sudah menjadi milik negara; tidak ada satupun urusan pemerintahan yang luput dari pengaturan negara. Bagi banyak kalangan yang sudah melampui (beyond) cara pandang otonomi asli menyampaikan dan menuntut pemberian (desentralisasi) otonomi kepada desa dari negara, yakni pembagian kewenangan dan keuangan yang lebih besar. Tetapi pandangan ini juga menghadapi resistensi dari kalangan lain. Para penolak desentralisasi desa mengatakan bahwa desa tidak siap menjalankan kewenangan (otonomi) dalam jumlah yang besar karena keterbatasan sumberdaya desa; atau pemberian kewenangan dan keuangan yang besar kepada desa justru akan menciptakan otonomi kebablasan yang bakal merusak desa.
Untuk Mendapatkan Policy Paper Lengkap Silahkan Download DISINI