Mengawal Dana Hingga ke Desa, begitu judul diskusi interaktif yang digelar di Pendopo Kepatihan, Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diskusi bertema ‘antikorupsi’ yang disponsori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan didukung Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) ini merupakan bagian dari upaya sosialisasi hasil kajian KPK tentang pengelolaan keuangan desa.
Kegiatan ini juga bermakna upaya pencegahan korupsi dalam konteks implementasi Undang-Undang No. 06/2014 tentang Desa (UU Desa).
Melibatkan perwakilan dari desa-desa se-DIY dan Jawa Tengah, serta para pemerhati persoalan desa, diskusi publik ini menampilkan tiga narasumber; Pimpina KPK Sementara, Johan Budi, Dirjend Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri, Nata Irawan, dan Sekjen Kementerian Desa, Anwar Sanusi.
Diawali dengan penampilan kelompok musik keroncong alternatif, diskusi dibuka oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam sambutannya, Sri Sultan menegaskan bahwa DIY telah mempersiapkan regulasi pendukung implementasi UU Desa. Sultan menegaskan bahwa DIY telah mengesahkan Peraturan Gubernur (Pergub) yang berisi rumusan prosedur, manajemen, dan aspek administrasi keuangan telah disyahkan.
Selain menceritakan komitmen dan persiapan DIY dalam implementasi UU Desa, Sultan juga menyampaikan harapannya agar pencegahan korupsi dapat menjangkau hingga ke level desa. Raja DIY itu juga berharap bahwa upaya pemberantasan korupsi tidak berhenti sekedar tahap komitmen, tetapi juga dilanjutkan hingga penyadaran masyarakat, sehingga proses pemberdayaannya bisa berkelanjutan.
Sementara, Johan Budi banyak menyinggung tentang hasil kajian KPK terkait adanya potensi masalah dalam pengelolaan keuangan desa. Menurutnya, UU Desa belum didukung dengan kesiapan perangkat desa. “Perangkat desa bukan hanya SDM, tapi aturan, pelaksanaan, dan seterusnya,” Johan menegaskan.
Selain itu, Johan juga memaparkan sejumlah potensi masalah tersebut, di antaranya, belum adanya satuan harga barang dan jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APB Desa. Dia menambahkan bahwa dokumen yang sudah disusun desa, umumnya belum menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa, rencana penggunaan, serta pertanggungjawaban APB Desa kurang transparan dan rawan manipulasi. Karena, “Pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang dilakukan inspektorat daerah kurang efektif,” imbuhnya.
Guna mengatasi berbagai persoalan menyangkut desa, Johan mengaku bahwa KPK telah mengundang pihak Kemendagri, Kemendes PDTT, dan Kemenkeu, untuk membahas implementasi UU Desa dan berupaya mencari jalan keluar yang paling memungkinkan. Untuk semua persoalan terkait itu, maka KPK merekomendasikan agar ketika kementrian itu menyusun kesepakatan bersama terkait pengawasan, pemantauan, dan evaluasi penggunaan dana desa. Sedangkan, bagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota, agar menyediakan dukungan pendanaan dan SDM.
Sementara itu Sekjen Kementrian Desa PDTT, Anwar Sanusi mengakui adanya persoalan SDM. Menurutnya, hampir semua desa masih menghadapi keterbatasan pengetahuan dan skill dalam menyusun administrasi keuangan desa. Karena itu, pihaknya saat ini juga tengah mendidik pendamping desa yang akan ditempatkan ke seluruh desa, guna mengatasi keterbatasan pengetahuan yang ada. Masih menurut Anwar bahwa skema yang akan diterapkan, “Per tiga desa nanti akan didampingi satu pemandu untuk membantu melakukan penyusunan pengelolaan keuangan desa.”
Selain itu, Anwar juga mengakui bahwa sosialisasi yang telah dilakukan lembaganya masih belum maksimal dan efektif. Karena itu, pihaknya berharap bahwa pelatihan untuk grand trainers yang akan dilakukan melalui skema training of trainers (TOT), yang nantinya dilanjutkan dengan training kepada para calon pendamping, akan dapat mengatasi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi oleh desa secara lebih cepat.
Mengambil sudut pandang yang berbeda, Dirjend Bina Pemerintahan Desa Kementrian Dalam Negeri, Nata Irawan lebih banyak menyampaikan perihal dukungan kebijakan yang telah diberikan dan tengah dipersiapkan lembaganya dalam mengawal implementasi UU Desa, terutama yang berkaitan dengan dana desa. Selain itu, Irawan juga mengetengahkan soal permasalahan yang muncul mengenai implementasi UU Desa, yang sebagian besar juga menguatkan apa yang telah dipaparkan oleh kedua pembicara sebelumnya.
Di akhir paparannya, Irawan juga memberikan beberapa rekomendasi, di antaranya, perlunya skema monitoring dan supervisi ‘day-to-day’ terhadap pemerintahan daerah dalam proses transfer dana desa, serta pentingnya koordinasi yang intensif antara kementrian terkait maupun antara kementrian dengan pemerintahan daerah.
Selain dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta yang hadir dalam acara tersebut, forum juga diselingi dengan tele-tanya-jawab melalui skype dengan para perwakilan kepala desa dari beberapa daerah di luar Jawa. Mereka umumnya mengetengahkan persoalan yang mereka hadapi dalam implementasi UU Desa, termasuk diantaranya tentang banyaknya regulasi yang harus mereka pelajari dan pahami, serta rumitnya tata laksana ketentuan yang ada. Beberapa peserta juga mempersoalkan komitmen pemerintah supra-desa dalam memfasilitasi implementasi regulasi baru itu. Di samping itu, ada juga peserta yang menyayangkan buruknya koordinasi antara ketiga kementrian yang mengurusi masalah desa. Dia juga mempertanyakan upaya-upaya konkrit tiga kementrian agar dana desa tidak justru menjadi musibah bagi warga desa.
Namun demikian, peserta yang dari desa nampak gembira, ketika diakhir sesi Johan Budi menegaskan bahwa BPKP tengah mempersiapkan model auditing yang sederhana untuk membantu menilai pelaksanaan APBDes. Karena, dalam sesi tanya jawab, kekawatiran pihak desa akan ancaman sangsi hukum ketika menggunakan dana desa, banyak muncul dalam pernyataan-pernyataan peserta penanya.
Sg. Yulianto, Peneliti IRE