Kata Pengantar
Arie Sujito adalah orang muda yang sejak mahasiswa telah aktif dalam kegiatan politik mahasiswa di UGM. Pemikirannya sangat dipengaruhi oleh ilmu-ilmu yang berkembang dalam disiplin sosiologi. Akan tetapi satu perspektif sosiologi saja tak cukup baginya, dia memerlukan sosiologi politik yang lebih mampu untuk melakukan perubahan melalui praksis politik. Garis pemikirannya, jelas berpijak pada cara berpikir sosial demokrasi yang menjembatani antara kepentingan rakyat dan pelaku ekonomi melalui instrumen politik demokrasi.
Demokrasi dalam pemikiran Arie Sujito yang dituangkan dalam kumpulan tulisan ini bukanlah sekadar proses-proses demokrasi prosedural yang sifatnya institusionalis, namun lebih merupakan upaya politik melalui representasi rakyat dalam tujuan untuk mencapai kesejahteraan sosial yang menyeluruh. Cara berpfikir tersebut sangat tampak dalam tulisan ini, yang lebih merupakan protes sosial terhadap rezim demokrasi pasca reformasi 1998 yang sangat institusionalis prosedural dan mengesampingkan kesejahteraan rakyat.
Dalam karya Arie Sujito di awal tulisan ini menunjukkan bagaimana para politisi itu lebih mementingkan diri sendiri dan partai politiknya. Bahkan di dalam partai politik masing-masing pun terbelah lagi menjadi perjuangan kepentingan dari kelompok masing-masing. Akibatnya terjadi konflik di dalam internal partai, saling serang antar partai, hingga konflik dalam pemilukada yang seringkali berujung pada kekerasan. Semua ini merupakan ekspresi dari “mabuk kekuasaan” yang dalam era reformasi akses menjadi lebih terbuka, termasuk akses pada keuangan negara yang berujung pada praktek korupsi.
Prakti k-praktik uang dalam politik telah semakin membebani rakyat, karena telah menjelma menjadi politik biaya tinggi. Dalam konteks inipun para politisi berlomba untuk memperoleh posisi kuasa baik di partai maupun posisi kepala daerah dengan kekuatan uang bukan program untuk kesejahteraan rakyat. Tarik-menarik untuk sampai pada kuasa politik, transaksi politik antarpartai menjadi agenda dari partai untuk ikut memiliki akses terhadap sumber keuangan negara melalui departmen maupun badan anggaran di DPR. Akibatnya koalisi untuk menuju ke kursi presiden pun lebih merupakan transaski politik, demikian pula dengan penentuan posisi mentri dalam kabinet.
Dalam kacamata Arie Sujito, perilaku elite partai dalam demokrasi di Indonesia merupakan hedonisme dalam dunia politik, saat pelakupelaku politik mabuk kuasa. Akses terhadap kekuasaan bukanlah untuk membuka akses kesejahteraan rakyat, namun lebih merupakan upaya untuk membobol uang rakyat untuk masuk kedalam keuangan partai maupun pribadi. Perilaku politik transaksi dan demokrasi prosedural yang ti dak memperhatikan kesejahteraan rakyat, dalam hal ini telah menjadi ‘lubang hitam’ yang menyedot para politisi tanpa ideologi, kecuali pragmatisme, untuk berlomba-lomba membajak negara melalui prosedur demokrasi yang jauh dari fungsi menesejahterakan rakyat. Para politi si semakin membusuk di dalamnya, beserta partaipartai yang semakin jauh dari perjuangan rakyat. Dari situasi inilah dorongan untuk memunculkan politisi independen menjadi gairah dari politisi muda yang kurang percaya pada partai, karena politik telah semakin mengarah ke pembusukan.
Kekecewaan demi kekecewaan terhadap partai politik, dan kebuntuan demokrasi sebagai instrumen untuk mensejahterakan rakyat diamati oleh Arie Sujito dengan munculnya ormas yang ‘go politi c’. Peran mereka memang serba sulit, karena bukan partai politi k, namun keberadaan ormas itu sendiri jauh lebih tua dari partai, dan memiliki akar yang kuat di tingkat akar rumput. Peran mereka pada dasarnya hanya sebatas pesan moral berpolitik, yang mereka sampaikan dengan berbagai cara. Namun pesan moral mereka larut dalam pusaran politik yang memabukkan, sehingga kebermaknaannya tidak telalu memberi harapan pada kita semua.
Ketika kesejahteraan rakyat tidaklah secara serta merta dapat tercapai melalui demokrasi, prakti k korupsi yang dibongkar oleh KPK semakin menyeruak ke tingkat permukaan. Badan Anggaran yang merupakan arena pertempuran posisi politik antar partai bekerja melalui uang APBN Perubahan. Di arena itulah negosiasi, koalisi, bahkan konfrontasi berlangsung, termasuk pencomotan posisiposisi menteri yang bermuara dari partai. Posisi itu bukan sekedar jabatan karena prestasi, namun lebih merupakan ujung dari berbagai kesepakatan politik dan uang. Oleh karena itu ketika KPK diserang habis-habisan oleh anggota parlemen, perlu untuk dibaca sebagai fenomena ketidaksukaan elit politik dan oligarki karena diusik sumberdayanya.
Pada tingkat daerah Arie Sujito juga mengamati, fenomena tarik-menarik RUUK DI Yogyakarta, sebagai tarik menarik politik. Kegamangan untuk memberikan penetapan pada Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai gubernur secara otomati s, diamati oleh Arie Sujito bukan sekadar tarik menarik antara SBY dan Sultan HB X, namun juga dia melihat keberagaman tafsir dari berbagai pihak mengenai RUUK tersebut. Baginya, keberadaan Yogyakarta mesti nya mampu menghasilkan model keragaman politik di Indonesia yang ti dak perlu diseragamkan semuanya, namun yang lokal melengkapi nasional, bukan yang nasional meniadakan yang lokal, sehingga NKRI bukanlah politik penaklukan lokal untuk kepentingan nasional namun lebih merupakan politik bernegara yang saling mendukung satu sama lain.
Akhir kata, kumpulan tulisan Arie Sujito ini merupakan ekspresi dari pemikirannya yang selalu gelisah dalam melihat mengapa setelah demokrasi ditegakkan kesejahteraan rakyat belum menjadi agenda partai. Partai di Indonesia pada dasarnya ti dak memiliki akar di tingkat rakyat, karena partai merupakan bentukan elite politi k dan oligarki. Akibatnya akar partai hanya menggantung, dan tak pernah menyentuh rakyat, sehingga rakyat juga tidak merasa menjadi bagian dari kehidupan partai itu sendiri. Maka itu dapat dimengerti mengapa elite partai cenderung lebih sibuk pada dirinya sendiri, baik itu menghasilkan kegaduhan di dalam partai ataupun terhadap partai lain. Politi k seperti ini hanya menghabiskan energi, dana, dan tidak memberi pendidikan pada rakyat. Indonesia menanti pemimpin yang berasal dari rakyat bukan dari elite.
Dr. Aris Arif Mundayat