Policy brief ini bertujuan untuk mendialogkan problem subtansial antar-regulasi. Mandat UU Desa, terutama pasal 112 ayat (4) terkait dengan pendampingan desa, telah ditafsirkan secara luas oleh PP 43/2014 tentang pelaksanaan UU Desa, Permendesa No. 3/2015 tentang Pendampingan Desa, serta Surat Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) No. 002/SD/Dep.I/III/2015, perihal pedoman pendampingan desa. Pasal 128-131 PP43/2014 menafsirkan pendampingan desa dengan menggunakan pendekatan multiaktor dan multipihak. Sedangkan Permendesa No. 3/2015 mengatur pendampingan desa dengan muatan pendekatan sentralistik, menafikan potensi multipihak dan multiaktor.
Dengan merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh IRE selama bulan Maret-April 2016 di 7 Kabupaten di Indonesia, yakni Ambon, Buton Selatan, Lombok Timur-NTB, Kulonprogo DIY, Sambas-Kalbar, Musirawas- Sumsel dan Timor Tengah Selatan-NTT, memberikan banyak konfirmasi, bahwasannya Permendesa dan Surat Dirjen PPMD yang menjadi pendoman pelaksanaan rekrutmen pendamping desa yang mengutamakan pendekakatan sentralistik, tidaklah cukup memadahi di dalam menjawab problema dan tantangan yang dihadapi oleh masing-masing desa dan daerah di Indonesia.