Lompat ke konten

Pendampingan Asimetris

  • oleh

Diskusi Bulanan IRE_juli

Sleman-Institute for Resachh and Empowerment (IRE) Yogyakarta menyelenggarakan diskusi bulanan dengan tema “ Pendampingan Asimetris : solusi pendampingan desa” diskusi bulanan kali ini mengudang narasumber diantaranya Dr Abdur Rozaki selaku peneliti IRE Yogyakarta, Totok Raharjo dari Sanggar Alam Anak, dan Rindang Farihah dari Mitra Wacana. Tema tersebut satu dua bulan yang lalu masih hangat tentang pendampingan desa, hal ini dilakukan oleh teman-teman peneliti IRE untuk melakukan riset. Hasil risert juga sudah menjadi policy paper dan sudah diberikan kepada pemangku kebijakan.

Pada kesempatan kali ini Abdur Rozaki mengungkapkan bahwa semangat voluteranism yang tinggi yang dapat kita ambil. Dalam konteks pendampingan mulai luntur. Istilah pendampingan identik dengan pendeketan pasar, dibayar. Termasuk dalam implementasi UU Desa. Kebijakan yang ada sekarang bersifat simetris, general, sentralistik. UU Desa membuka ruang utuk multi aktor yang ada didalamnya. Bukan terfokus satu pintu terhadap pendamping. Tidak dapat menjawab keberagaman dan lokalitas. Karakter kewilayahan, kapasitas desa. Dalam penelitian yang kami lakukan bahwa “desa dibagi tiga kapasitas yaitu desa lemah , desa sedang , dan desa kuat” jelas Abdur Rozaki.

Semakin kuat kapasitas pemerintah desa dan masyarakat semakin sedikit peran dan intervensi pendamping desa, sebaliknya semakin lemah kapasitas pemerintah desa maupun masyarakat peran dan intensitas pendamping juga semakin tinggi. Peran pendampingan sekedar untuk menunjukan adanya intensitas dan kebutuhan yang beragam. Pendampingan desa sebenarnya hanya bersifat sementara untuk mengantarkan desa dalam mewujudkan desa yang mandiri.

Abdur Rozaki memaparkan pendampingan asimetris memperhatikan kedekatan, kelokalan. Walaupun menghabiskan banyak dana. Adanya affirmative action agar biaya lebih murah. model pengorganisasian masyarakat yang militant, sebagai contoh pengorganisasian PKI : sama kerja, Sama tidur, sama makan, mengikuti yang diorganisir. Militan, ideologi kuat, hasil maksimal. Disitulah kuncinya.

Pada kesempatan kedua diberikan kepada Rindang Farihah untuk memberikan argument tentang pendampingan desa asimetris, sebelumnya beliau menceritakan kegiatan lembaga yang menaunginya, selama ini lembaganya melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat yang berkonsentrasi terhadap isu-isu perempuan. Kegiatan pendampingan desa sangat berat tantangannya isu besar kekerasan rumah tangga. Kami melakukan pengorganisasian masyarakat sasarannya adalah pemerintah desa. Bagaimana desa disini berperan untuk memberikan layanan terhadap masyarakat. Setelah UU desa disahkan kami mempunyai spirit untuk mendampingi ibu-ibu untuk masuk dalam perumusan RPJMDes pada Musyawarah Desa yang dilakukan di desa tersebut. Walaupun pada perumusan RPJMDes sudah ditunjuk tim 11 ibu-ibu yang didampingi tidak masuk dalam tim 11 tetapi bertugas mengawal yang dari desa busa sampai ke pemerintah desa.

Organisasi masyarakat yang kami dampingi sudah mendapat SK, dan organisasi tersebut masuk dalam lembaga desa. Ibu-ibu bisa berkantor di desa membantu menerima keluhuhan baik kekerasan rumah tangga maupun hal lain terkait trafficking. Sehingga mampu memetakan agar warga mendapat bantuan.

Rindang Farihah memaparkan bahwa proses pendampingan yang rumit memakan biaya dan waktu. Bagaimana memunculkan kader lokal yg akan menjadi jembatan. Apakah tugas pendamping bisa menjalankan yang selama ini dilakukan oleh NGO. “Sampai kapan Kemendes merekrut untuk pendamping? Apalagi digaji dari hutang”tegasnya

Cerita menarik yang disampaikan oleh Totok Raharjo, desa-desa NTT jauh sebelum adanya UU Desa tidak ada yang berminat untuk menjadi pamong desa. Dengan di sahkanya UU Desa seakan akan manjadi peluang bagi masyrakat berlomba untuk mendapatka posisi sebagai pamong desa. Ini adalah fenomena setelah UU Desa karena spirit yang diterima masyarakat terkesan lahan perebutan uang. Hal ini menjadi problem paling berat. System pengorganisasian masyarakat dalam konteks ini sangat penting karena adanya pengorganisasian masyarakat menjadikan tatanan masyrakat yang lebih baik. Pada kenyataanya adanya UU Desa hanya dimaknai public sekedar uang. “Pendampingan simetris dan asimetris berhubungan dengan pertarungan bukan hasilnya baik atau buruk tapi menang atau kalah” Ujar Totok.

Pertanyaan yang dilontarkan oleh Totok sebagai narasumber pada diskusi bulanan IRE “ apakah akan bertahan kementrian desa ini setelah masa jabatan jokowi habis?”. Beliau juga mengungkapkan program pengorganisasian masyarakat sekarang lebih berat dari jaman orde baru yang musuhnya jelas pemerintah dibaningkan jaman sekarang yang musuhnya tidak jelas. Dalam pendampingan dibutuhkan voluntarnism yang akarnya adalah kemanusiaan.

Terkait tema diskusi ini memicu kepada peserta untuk saling tanya jawab kepada narasumber secara langsung. Dan hasil dari diskusi ini memberikan wawasan luas bagaimana pendampingan desa, dipaparkan oleh tiga narasumber dari sudut pandang ideologisnya, sistematis dan hal-hal terkait teknis. Fungsi pendamping sangatlah penting melakukan fungsi mendampingi desa dalam membangun jejaring melalui komunikasi, dan pengoragnisasian masyarakat. Pedamping desa harus mampu sebagai jembatan baik antar desa dengan masyarakat dan desa dengan kabupaten.

Ema Yuliyanti (Pustakawan IRE)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.