Pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah memberikan berbagai capaian sekaligus tantangan. Praktik-praktik baik dan menginspirasi telah dimunculkan banyak desa. Namun, tidak sedikit pula desa-desa yang masih terkendala oleh urusan internal terkait pemahaman UU Desa, tata kelola, dan isu politik lokal. Salah satu bidang kewenangan desa yang penting dicermati adalah pelaksanaan pembangunan desa.
Studi IRE dan mitra jaringannya menemukan bahwa pelaksanaan pembangunan desa masih belum memihak kepentingan kelompok marginal (warga miskin, perempuan dan difabel). Konsorsium Pemberdayaan Kelompok Marginal Desa (KPKMD)1 merumuskan tiga tipologi desa dalam mempraktikkan akuntabilitas dan inklusi sosial pada proses penganggaran desa. Dari 20 desa yang diteliti, tipologi desa kondusif ditemukan di 7 desa (35 persen), cukup kondusif 10 desa (50 persen), dan 3 desa (15 persen) bertipologi belum kondusif (KPKMD, 2017). Konsorsium untuk Desa Inklusif2 mengkonfirmasi juga bahwa pelaksanaan pembangunan desa belum memihak kelompok marginal. Kebijakan desa tentang pengelolaan aset masih diprioritaskan untuk sumber pendapatan asli desa (Konsorsium untuk Desa Inklusif, 2017). Fenomena tersebut membuktikan bahwa kebijakan pemerintah melalui peraturan teknis pelaksanaan pembangunan desa masih mengedepankan pendekatan legal formal prosedural. Akibatnya, tata nilai dan kelembagaannya hanya berorientasi pada proses dan hasil untuk memenuhi ketentuan peraturan yang berlaku. Pelaksanaan pembangunan desa yang seharusnya dapat memenuhi hak-hak dasar masyarakat marginal justru terlupakan. Lantas, bagaimana mewujudkan pembangunan desa yang berorientasi kepada kepentingan kelompok marginal? Bagaimana strategi meningkatkan partisipasi kelompok marginal dalam pembangunan desa?
Untuk melanjutkan membaca silahkan download DISINI