Lompat ke konten

Negara Ini Perlu Berguru Pada Kearifan Lokal Bangsa Sendiri

Akhir-akhir ini kegundahan nampak menghampiri sebagian besar masyarakat desa. Desa yang dulu kental dengan kehidupan sosial dan penuh harmoni mendadak menjadi terlihat beringas, bahkan kadang dianggap penuh anarkhi. Perangai tersebut bukanlah semata-mata karena by nature desa berkarakter keras, bersumbu pendek, ataupun anti perubahan. Tapi, karena gelombang perubahan baik yang diperankan

negara melalui kegiatan pembangunannya maupun ekspansi pasar (capital) yang ti dak cerdas menghargai harmoni sosial dan tata nilai sosial yang hidup di desa, akhirnya berujung pada peminggiran desa itu sendiri. Desa pada akhirnya menjadi obyek pembangunan dan pasar yang pelan tapi pasti sedang dikondisikan harus mati , dalam arti harus mengekor pada jargon pembangunanisme semata.

Ada beberapa prakti k kebijakan yang meminggirkan desa. Pertama, kebijakan pemerintah orde baru yang melahirkan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang desa telah melakukan tindakan penyeragaman perlakuan negara terhadap desa. Muaranya, keberagaman desa dan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia mati . Fungsi-fungsi kelembagaan sosial atau kelembagaan adat seperti panglima laot, panglima uten, kejreun blang di Aceh, nagari dan wali nagari di Sumatera Barat, raja, saniri dan negeri di Maluku dan masih banyak lainnya nyaris terpinggirkan berganti dengan kelembagaan bernama desa. Karena penyeragaman ini, muncullah senti men kedaerahan yang menuduh UU No. 5 tahun 1979 melakukan Jawanisasi. Lebih disayangkan lagi isti lah Jawanisasi cenderung memiliki makna negativa. Kira-kira, semua yang berbau Jawa dianggap buruk untuk diadopsi. Tidaklah mengherankan keti ka reformasi bergulir,
kemudian momentum ini menjadi ajang perebutan kekuasaan para elite, isu SARA menjadi menu yang cukup efekti f untuk mengoyak harmoni sosial masyarakat desa. Tragedi kemanusiaan di Poso, Sambas, Ambon dan Aceh merupakan sederet pengalaman pahit bangsa Indonesia yang terkoyak karena dampak lain dari
kebijakan penyeragaman.

 

Borni Kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.