Lompat ke konten

“MUSIM SEMI” DAN “MUSIM GUGUR” REFORMASI PEMERINTAHAN DAERAH

  • oleh
Sutoro Eko1
The most dangerous moment for a bad government is when it begins
to reform.
— Alexis de Tocqueville —
Selama satu dekade (2000-2010), praktik desentralisasi dan otonomi daerah telah menyajikan “musim semi” reformasi pemerintahan daerah. Sejumlah daerah menampilkan kampiun-kampiun kepala daerah yang melakukan inovasi dan reformasi terhadap birokrasi, perencanaan dan penganggaran, pelayanan publik dan lain-lain, yang semuanya mengarah pada perubahan pemerintahan lokal dan pencapaian kesejahteraan. Kabupaten Solok mengutamakan birokrasi yang bersih dari korupsi; Kabupaten Musi Banyuasin yang kaya raya memberbarui fasilitas publik serta membuat pendidikan dan kesehatan gratis; Kabupaten Sumedang membuat penganggaran yang partisipatif dan pro poor; Kabupaten Kebumen yang mempromosikan good governance dan menggairahkan desa; Kabupaten Bantul yang melancarkan kebijakan sosial pro petani dan pro miskin; Kota Surakarta yang membuat kota lebih “manusiawi”; Kabupaten Purbalingga yang melancarkan kebijakan pro jobs dan pro poor; Kabupaten Sragen yang membuat birokrasinya lebih baik dan bersahabat dengan investasi; Kabupaten Sukoharjo yang membuat pendidikan-kesehatan gratis dan memberbaiki desa; Kabupaten Lamongan yang menggairahkan konomi lokal; kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah yang sukses dalam meningkatkan surplus beras dan ketahanan pangan; Kota Balikpapan yang menciptakan keteraturan-ketertiban administrasi an kota; Kota Tarakan yang sukses dalam memperbaik pelayanan publik; Kabupaten Jembrana yang tampil sebagai perintis sekolah dan kesehatan gratis serta reformasi birokrasi yang lebih efisien dan efektif, dan masih banyak lagi. Pengalaman ini memberikan kabar-kabar baik yang menggembirakan, sekaligus menyuntikkan optimisme bahwa desentralisasi mampu menyuguhkan bukti-bukti kesejahteraan rakyat.
Namun tampaknya tidak ada reformasi pemerintahan yang sempurna, kokoh dan berkelanjutan. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa reformasi pemerintahan daerah itu sangat
bergantung pada kepemimpinan sang kepala daerah (Eko Prasojo, 2005; Stefan Nachuk, 2006; Riant Nugroho, 2008; Sutoro Eko, 2008; Christian von Luebke 2009), sehingga buah reformasi mengalami
kerentanan yang serius. Pasca tahun 2010, setelah terjadi pergantian kekuasaan melalui pilkada langsung, tampaknya merupakan arus balik reformasi, yang menghadirkan “musim gugur” reformasi
pemerintahan daerah. Sejumlah kepala daerah yang inovatif akhirnya terkena tuduhan korupsi dan berurusan dengan penjara. Sejumlah daerah seperti Jembrana, Garut, Ciamis, yang menjalankan kebijakan populis dalam bentuk kesehatan gratis,akhirnya menderita kebangkrutan dana.
Pergantian kekuasaan melalui pilkada langsung 2010 juga membuahkan perubahan kontelasi politik dan kebijakan baru. Para penguasa baru berupaya membangun legacy baru, seraya melakukan perombakan terhadap warisan reformasi penguasa lama. Jembrana, misalnya, menyajikan contoh yang terkemuka. Kebijakan kesehatan gratis dan birokrasi yang efisien karya Bupati I Gede Winasa, dihentikan dan
dirombak kembali oleh bupati baru, I Putu Artha, sejak awal 2011. Di Kebumen, engagement yang baik antara pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil selama sepuluh tahun terakhir (2000-2010), dihentikan oleh bupati baru yang memenangkan pilkada 2010.
1 Peneliti senior IRE Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.