Desa Bergerak
Hajatan festival desa bukanlah ide spontan apalagi latah. Festival desa berlatarkan cita-cita besar desa-desa di Indonesia timur atas disain terbaik desa secara nasional. Festival desa ini tidaklah dirancang sebagai seuah ruang yang secara pragmatis hanya menyuarakan kepentingan desa-desa di Indonesia timur. Sebaliknya, desa-desa dari Indonesia timur ingin memberi kontribusi terbaik bagi RUU Desa. Atas dasar apa? Ya, sudah barang tentu berbasiskan fakta perubahan positif yang telah terjadi karena munculnya gerakan inovasi, partisipasi, emansipasi dari dalam desa itu sendiri.
Pengalaman sebelumnya, penyusunan Undang-Undang Desa seperti UU No. 05 tahun 1979 tentang pemerintahan desa maupun UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah masih bias supradesa. Mengapa demikian? Salah satu akar penyebabnya tidak lain adalah proses maupun pelaku perumusan kebijakan tercerabut dari akar sejarah yang selalu berkembang di desa. Apa yang terjadi dengan desa-desa di Indonesia timur adalah gelombang perubahan positif dan strategis untuk transformasi kebijakan Undang-Undang Desa.
Bertemu, bertatap muka, berdialog dan menyampaikan aspirasi kepada pengampu kebijakan selama ini merupakan harapan yang sulit digapai orang-orang desa. Saluran aspirasi serasa tersumbat. Maka, sejak IRE maupun FPPD menjembatani harapan desa-desa dari Indonesia timur mendapat kabar Pansus RUU Desa siap bergerak bersama desa mengawal RUU Desa, desa-desa Indonesia timur pun segera bergerak. Memang, pertengahan tahun 2012 sekitar 8 kepala desa champion (Labbo-Bantaeng, Mbatakapidu-Sumba Timur, Bola-Buton, Eelahaji-Buton Utar, Oemolo-Kupang, Rora-Bima, Meninting-Lombok Barat, Bungaiya-Selayar) dari Indonesia timur pernah berkunjung dan masuk dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU Desa, tapi forum sama sekali tidak memberi kesempatan pada mereka untuk menyampaikan bukti-bukti kemajuan desa.
Wajarlah ketika Pansus RUU Desa menyatakan bersedia hadir dalam agenda Festival Desa, desa-desa Indonesia timur, juga disambut desa-desa dari Jawa dan Yogyakarta segera bergerak, menyiapkan berbagai perangkat bukti prestasi kemajuan pembangunan desa yang diprakarsai oleh desa sendiri. Ada yang memba perangkat keras seperti dokumen perencanaan dan penganggaran partisipatif, berbagai produk ekonomi hasil kerja organisasi rakyat desa membangun perekonomian desa berbasis aset/potensi lokal, produk-produk kebijakan lain seperti awig-awig, peraturan desa sebagai simbol kesiapan desa membangun demokratisasi lokal, peta sosial desa dan masih banyak lainnya. Aktor-aktor yang hadir dalam agenda festival desa juga adalah intelektual organik dari desa yang membawa ingatan, ide, ggasan dan pengalaman kolektif yang siap disumbangsihkan demi terciptanya Undang-Undang yang berkualitas dan menjunjung tinggi martabat desa.
Tujuannya tidak lain adalah agar para pengampu kebijakan mengetahui secara nyata bahwa inisiatif, inovasi dan emansipasi desa membangun negara Indonesia memang nyata. Dengan kata lain, desa-desa tersebut bergerak, mengumpulkan bukti untuk mengatakan bahwa desa bisa dan mampu membangun Indonesia.
Bukan sebaliknya, mereka bergerak dan merayakan agenda festival desa ini sebagai bentuk ucapan terima kasih desa kepada supradesa karena telah membangun desa. Justru mereka bergerak untuk mencari titik temu (permusyawaratan) dengan pemerintah supradesa memberi pengakuan bahwa desa harus dihormati kedaulatanya serta menjadi desa sebagai lokus utama membangun negara. Gerakan desa-desa di Indonesia timur tersebut akhirnya bertemu dalam satu titik gravitasi di desa Rappoa.