Lompat ke konten

“Merawat Kebhinekaan dan Demokrasi Indonesia”

  • oleh

diskusi-kebhinekaandemokrasi-indonesia

“Pada periode akhir-akhir ini keberagaman kita sedang mengalami gejala kekhawatiran yang luar biasa, jika tidak segera kita sikapi maka kehbinekaan kita akan keropos dan implikasi negatif akan menyebar kemana-mana,” ujar Sunaji Zamroni, M.Si, dalam membuka diskusi bulanan IRE di Joglo Winasis.

Kekroposan Kebhinekaan ini bisa dilihat dari aktvitas di sosial media yang banyak memunculkan benci dan cinta yang berlebihan terhadap keberagaman. Kesantunan dalam berdialektika di dalamnya mengkhawatirkan untuk membangun mozaik republik tentang kebhinekaan. “Merespon kondisi demikian, maka IRE memilih tema Merawat Kebhinekaan dan Demokrasi Indonesia sebagai tema diskusi bulanan kali ini,” ucap direktur IRE tersebut.

Pada acara diskusi kali ini IRE menghadirkan tiga pembicara, pertama ialah K.H Imam Aziz. Mengawali diskusi Ia mengatakan bahwa perpecahan bangsa dalam artian yang ekstrim tidak akan terjadi. Walaupun pada tanggal empat November lalu telah terjadi demo yang cukup besar. Aksi tersebut hanyalah puncak klimaks dari gerakan yang tidak jelas. Sebab dalam aksi tersebut banyak ditumpangi oleh berbagai isu kepentingan. “Pada awalnya isu yang digulirkan adalah kasus pulau seribu kemudian tentang pemimpin muslim, namun Karena tidak laku maka kemudian isu yang diangkat adalah penistaan agama,” tutur Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) tersebut.

Menurut K.H Imam Aziz latar belakang gerakan tersebut hanyalah gerakan politik semata karena ditunggangi berbagai kepentingan politik. Sebab saat ini partai politik (parpol) di Indonesia tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Parpol hanyalah mesin pada saat pemilu saja dan tidak mampu menggerakkan masa. Maka menurutnya gerakan 4/11 tidak perlu dikhawatirkan karena hanyalah antiklimaks dan tidak jelas mengenai tuntutannya.

Senada dengan pembicara sebelumnya, Dr. Zuli Qodir selaku pembicara kedua pun mengatakan bahwa dari pihak Muhamadiyah gerakan 4/11 tersebut tidak lah penting. Saat ini memang sedang berjalan munculnya gerakan politik islam hingga memunculkan istilah jika tidak munafik berarti kafir. Di dalam Muhammadiyah sendiri terdapat pro-kontra yakni ada yang mendukung dan yang tidak. PP Pusat Muhammadiyah sendiri mengatakan bahwa tidak perlu demo.

“Hal ini justru tidak menguatkan islam, namun semakin melemahkan islam,” ucap Dosen Universitas Muhammdiyah Yogyakarta (UMY) tersebut. Menurutnya jika segregasi yang dipimpin oleh mantan pemimpin islam ini akan menjadi perkelahian dua ormas terbesar di Indonesia. Ia juga mengatakan jangan sampa antar NU dan MUhammadiyah jangan sampai berbenturan karena masalah ini.

Padahal perkara memilih pemimpin dan politik islam adalah masalah duniawi saja dan tidak ada kaitanya dengan akhirat ataupun ibadah. Sehingga memang benar adanya bahwa gerakan demo 4/11 hanyalah upaya menggerakkan masa dengan banyak ditungganggi kepentingan politik saja. Ia juga mengatakan bahwa isu perpecahan karena sentiment agama akan hilang seiring berlalunya pemilu kepala daerah. “Jika isu ini telah berlalu, akan ada isu dan aktor baru lagi yang akan digulirkan lagi,” tutur Dosen Fisip UMY tersebut.

Jika pembicara sebelumnya dari tokoh agama, pembicara ketiga dating dari peneliti senior IRE sekaligus Dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Ari Sujito. Senada dengan pembicara sebelumnya, menurut Ari Sujito bahwa gerakan aksi 4/11 lalu memang merupakan gerakan yang ditunggangi kepentingan politik.

“Peristiwa kemarin merupakan gerakan yang bertujuan negoisasi politik atas kelompok yang dirugikan oleh gerakan pembersihan Jokowi,” jelas Dosen Fisipol UGM tersebut. Ia mengatakan bahwa banyak kelompok kepentingan yang dirugikan akibat gerakan pembersihan oleh Jokowi ini. Maka jaringan yang menghidupi pun goyah karena dihajar habis oleh Jokowi dan KPK dalam usaha pembersihan pungli ini. Maka dicarilah isu yang sekiranya mampu membawa masa bergerak.

“Selama ini jika kita perhatikan sejarah gerakan Indonesia bahwa selama ini bergerak pada isu agrarian atau isu agama,” terang Ari Sujito. Maka digunakanlah kerentanan isu politik islam sebagai alat mereproduksi identitas sebagai konflik. sebab menurutnya selama ini parpol tidak pernah bisa menggerakkan basis sosialnya.

Padahal fungsi parpol adalah sosialisasi dan mediasi politik namun pada kenyataannya parpol hanya berfungsi sebagai elektabilitas dan mesin electoral ketika pemilu. Namun menurut Ari Sujito saat ada konflik justru NU dan Muhammdiyah dihadirkan sebagai katup pengaman social. NU dan Muhammdiyah selalu diminta menjadi juru penyelamat ketika masyarakat mulai risau akan konflik agama. “Padahal NU dan Muhammadiyah bukan parpol,” jelas Ari Sujito.

Pada diskusi ini pun memunculkan perspektif lain yang muncul dari slah satu peserta diskusi yaitu Titok Haryanto. Ia mengatakan selain yang disampaikan oleh pembicara bahwa ada sisi lain dari konflik ini. yaitu munculnya ruang diskusi publik menanggapi isu konflik ini dan perlu adanya pemahaman struktur dan pencerahan secara politik. “Hal ini menunjukkan kegagalan parpol dan bagaimana membumikan parpol lagi merupakan hal yang sulit,” ujar Totok Haryanto.

Ari Sujito pun menanggapi bahwa harus ada reformasi parpol di Indonesia. Sebab selama ini biaya demokrasi atau pemilu di Indonesia sangat mahal namun kualitasnya murahan. Parpol selama ini hanya membahas mengenai ketua parpol dan bagaimana bisa menang dalam pemilu padahal seharusnya perpol pun memikirkan tentang resolusi bangsa. “maka jawaban atas semuanya adalah dengan menghadirkan rakyat sebagai subyek bukan lagi sekedar objek,” pungkas Ari Sujito pada diskusi yang diselenggarakan pada 28 November 2016.

Inda Lestari
Mahasiswa Magang IRE

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.