Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2015 tentang Desa sudah memasuki tahun ke- 5, tetapi tujuan pengaturan desa belum tercapai, yaitu: mendorong prakarsa, gerakan dan partisipasi masyarakat desa untuk pengembangan potensi dan aset desa demi kesejahteraan bersama, dan memajukan perekonomian masyarakat desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional. Salah satu hambatan terbesar bagi pencapaian tujuan ini adalah penyelenggaraan desa yang cenderung masih eksklusif. Prakarsa dan gerakan Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) lebih banyak dilakukan oleh elit dan pemerintah desa. Begitu juga pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi, belum melibatkan seluruh masyarakat desa terutama kelompok rentan dan marginal.
Demi tercapainya tujuan pengaturan desa, program PEL semestinya bersifat inklusif, melibatkan seluruh masyarat terutama kelompok rentan dan marginal. Dalam PEL inklusif, semua masyarakat desa memiliki hak-hak politik, sosial, dan ekonomi yang sama; memiliki akses yang sama pada semua aset dan potensi desa serta semua program pembangunan desa; memiliki hak untuk memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak.
Relevansi Konsep PELĀ
Desa idealnya bisa menghidupi masyarakatnya sendiri, mengingat di desa tersedia sumber daya yang dapat dikelola untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Akan tetapi banyak desa belum mampu melakukannya. Data yang dilansir Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah desa di Indonesia, 39.091 dari 74.093, berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Agar dapat keluar dari jerat kemiskinan dan ketimpangan tersebut dibutuhkan sebuah konsep pembangunan lokal yang memampukan desa untuk berkembang secara mandiri. Salah satu yang relevan adalah konsep Pengembangan Ekonomi.
Untuk melanjutkan membaca silahkan download DISINI