Institut for Research and Empowerment (IRE) melakukan penjajakan (assesment) yang salah satu hasilnya menyebutkan, bahwa masyarakat eks pengungsi di Ambon-Maluku masih menghadapi berbagai masalah. Ragam masalah tersebut antara lain; soal akses pekerjaan, minimnya fasilitas publik, masih menyewa rumah yang dipakai sebagai tempat tinggal, dan susahnya terlibat dalam proses perencanaan pembangunan di desa masing-masing. Keterlibatan masyarakat eks pengungsi yang minim dalam proses Musrenbang Negeri (nama desa di Ambon-Maluku) memberikan sinyal negatif bagi upaya mengembangkan Negeri tanggap damai.
Dalam kenyataannya, pelaksanaan kegiatan pembangunan negeri berjalan tanpa panduan sebuah dokumen perencanaan yang dirumuskan bersama-sama antara masyarakat dengan pemerintah melalui Musrenbang negeri. Wal hasil, dinamika Musrenbang negeri selama ini berjalan secara minimalis tanpa memakai pandu arah yang terukur dan tertuang dalam dokumen induk perencanaan negeri, misalnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Fakta ini kami temukan di tengah perjalanan forum diskusi, workshop maupun pelatihan bersama-sama dengan pengelola pemerintahan negeri maupun masyarakat pada umumnya.
Permasalahan ini kian bertambah karena dalam kenyataannya, hampir semua negeri yang menjadi lokasi program MATASIRI tidak memiliki dokumen perencanaan yang kokoh dan berbasis kebutuhan warga. Jikalau ada program pembangunan yang masuk ke negeri, maka program tersebut bisa dikatakan sebagai “kebaikan hati” dari pemerintah supranegeri dan bukan berbasis pada dokumen perencanaan pembangunan negeri.
Selain itu, tidak adanya “anak negeri” yang mumpuni membuat dinamika Musrenbang negeri berjalan hambar dan terkesan tidak ada penyegaran. Akibatnya, pembangunan berjalan “apa adanya” dan tanpa greget apalagi berupaya menjawab kebutuhan maupun permasalahan yang berkembang di masyarakat negeri. Salah satu tantangan, bahkan perdebatan awal, dalam pengelolaan program MATASIRI di Ambon dan Maluku adalah, apakah program ini akan menghadirkan fasilitator dari luar Ambon-Maluku atau mendorong munculnya “anak negeri” dan melakukan transformasi pengetahuan secara perlahan-lahan? Memang, jika program ini mengambil fasilitator dari luar yang sudah “jadi,” maka program MATASIRI ini niscaya akan berhasil menghadirkan dokumen perencanaan pembangunan sebagaimana diharapkan. Dari sisi implementasi program, bisa jadi strategi ini lebih baik. Tetapi dari sisi pemberdayaan dan transformasi sosial, strategi ini tentu instan belaka dan tidak akan meninggalkan legasi yang baik dan berkelanjutan.
MATASIRI, yang sebenarnya merupakan kependekan dari Maluku Sejahtera, Sehat, dan Mandiri, merupakan program yang bertujuan untuk mendukung keberlanjutan perdamaian di Maluku melalui pemberdayaan ex Internally Displace Persons (ex-IDPs) atau para mantan pengungsi (eks pengungsi) internal, agar mereka terintegrasi menjadi komunitas-komunitas yang aman, produktif, dan berkeadilan. Upaya integrasi ini disinergikan dengan kegiatan penguatan negeri sebagai salah satu basis penghidupan masyarakat secara menyeluruh. Dengan kata lain, apabila negeri diperkuat kapasitasnya, maka upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi keniscayaan, baik secara umum seluruh warga negeri, termasuk di dalamnya adalah ex-IDPs.
Pada akhirnya, program ini mendorong dan mencari “anak negeri” yang punya komitmen kuat untuk menjadi katalisator pembangunan negeri. Ibarat mencari talenta untuk ajang penyanyi berbakat, pada awal tahun 2011, tim IRE dan MercyCorps mencari kader lokal tersebut ke pelosok negeri yang menjadi lokasi program MATASIRI. Dalam skema program MATASIRI, kader lokal ini selanjutnya kami sebut sebagai fasilitator yang kemudian juga diajak berdiskusi melalui serangkaian pelatihan, workshop hingga kunjungan belajar ke Yogyakarta.
Buku saku ini merupakan bagian dari upaya mendorong hadirnya “anak negeri” yang memiliki fungsi fasilitasi dan mampu menjadi katalisator tanggap damai dalam membangun negeri. Materi dalam buku saku ini merupakan ringkasan beberapa tulisan yang pernah disajikan dalam berbagai pelatihan yang digelar program MATASIRI di Ambon-Maluku dalam rentang waktu 2011-2013. Tetapi untuk memperkaya materi dalam buku saku ini, tim penyusun juga memasukkan beberapa materi relevan dari pengalaman IRE di daerah lain yang memiliki tema serupa terutama dalam hal perencanaan dan penganggaran daerah.
Buku saku ini diharapkan akan mempermudah siapa saja terutama para mitra kami di Ambon-Maluku dalam mengembangkan negeri tanggap damai melalui perencanaan dan penganggaran negeri. Buku saku ini disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti, dengan harapan bisa menjadi “amunisi” dalam melakukan advokasi perencanaan dan penganggaran daerah. Kami mengucapkan terima kasih kepada Komisi Eropa (European Union), MercyCoprs Indonesia maupun MercyCorps Ambon, Pemerintah daerah Maluku Tengah, Pemerintah Kota Ambon, dan Pemerintah daerah Seram Bagian Timur, atas kerjasama dan dukungannya dalam penyelenggaraan pelatihan maupun kegiatan lainnya. Sejawat peneliti di IRE juga berkontribusi besar dalam hadirnya naskah ini, terutama para peneliti dan pengelola program Participatory Budgetting and Expenditure Tracking (PBET) yang menjadi sumber inspirasi dalam penyusunan buku saku. Secara khusus, buku ini juga kami dedikasikan kepada almarhum Anthony Temtalahitu—fasilitator lokal dari Negeri Soya, Kecamatan Sirimau, Kota Ambon—yang sejak awal turut ambil bagian dalam rangkaian kegiatan Matasiri dan secara intensif mendampingi warga Negeri Soya hingga akhir hayatnya.