Anak-anak merupakan bagian dari masyarakat yang masih memiliki ketergantungan terhadap orang lain, mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus, dan membutuhkan perawatan dan perlindungan agar mereka dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam kehidupan. Menyadari pentingnya memberi perlindungan dan pengembangan kehidupan anak, Indonesia telah meratifikai Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990.
Perlindungan dan pengembangan anak-anak menjadi sangat penting di Aceh. Bagaimana tidak, wilayah ini mengalami problema konflik bersenjata yang panjang. Banyak korban berjatuhan yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak buruk pada anak-anak. Mereka menjadi korban tindak kekerasan, kehilangan orang tua dan sanak saudara, dan masih banyak permasalahan lainnya yang sangat mempengaruhi kondisi psikis mereka. Konflik tak kunjung usai, penderitaan masyarakat dan anak-anak Aceh diperparah dengan bencana gempa bumi dan tsunami yang meluluhlantakkan bumi serambi Makkah.
Di tengah upaya pemulihan paska gempa dan tsunami, masyarakat Aceh memperoleh harapan penghidupan yang lebih baik dengan ditandanganinya kesepakatan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2005. Satu tahun berikutnya, diterbitkan Undang-undang nomer 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang di dalamnya juga memuat pasal tentang perlindungan anak. Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pun cepat dalam menindaklanjuti upaya perlindungan anak. Pada tahun 2006, Gubernur NAD telah menerbitkan Keputusan nomer 260/494 tahun 2006 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Provinsi NAD. Di tingkat kabupaten, Bupati Aceh Besar juga telah merumuskan Keputusan Bupati Aceh Besar nomer 200 tahun 2007 tentang Pembentukan Forum Anak Aceh Besar.
Adanya jaminan kebijakan perlindungan dan pengembangan anak baik di tingkat nasional sampai kabupaten, ternyata tidak serta merta mengurangi kasus-kasus yang dihadapi anak-anak. Pada tahun 2007, Plan International telah melakukan assessment terhadap kekerasan anak. Dari 4.335 anak-anak yang diteliti, 34,41% atau 1.480 jiwa pernah mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis. Data lain saat dilakukan assessment di 11 kota/kabupaten di Aceh menunjukkan bahwa ada 322 pekerja anak dan trafficking terhadap 130 anak-anak.
Permasalahan yang dihadapi anak-anak merupakan fenomena gunung es. Data Plan International tersebut hanya sebatas gambaran kecil, permasalahan yang sebenarnya tentu jauh lebih besar. Mengapa permasalahan anak masih saja muncul di tengah banyaknya kebijakan tentang perlindungan anak? Setidaknya ada dua jawaban atas pertanyaan ini. Pertama, kebijakan perlindungan anak masih bersifat parsial dan terlepas dari kebijakan pembangunan secara makro. Pemerintah lebih mengedepankan pendekatan pelayanan sosial (social service) yang melihat pemecahan masalah anak sebagai urusan Dinas Sosial atau sejenisnya. Perspektif pemenuhan hak anak belum menjadi mainstreaming dalam perumusan kebijakan di berbagai sektor. Kedua, kebijakan provinsi dan kabupaten tidak tereplikasi sampai di tingkat gampong. Padahal, gampong merupakan unit pemerintahan yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Perhatian gampong terhadap pemenuhan hak anak sebatas disatukan dengan PKK dan Posyandu dan itupun sebatas pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Belum ada upaya mengintegrasikan program pemenuhan hak anak dalam perencanaan dan penganggaran pembangunan gampong secara menyeluruh.
Berdasarkan realitas di atas maka diperlukan intervensi program yang mampu mengembangkan gampong agar memiliki kepedulian terhadap pemenuhan hak anak. Tiga lembaga, Plan International-Gita Pertiwi-IRE Yogyakarta, bekerjasama untuk mewujudkan gagasan tersebut. Strategi yang diterapkan dengan memadukan antara dua pendekatan, yakni reformasi tata pemerintahan (menuju good governance) dengan perspektif lokal yang berpijak pada pendekatan sosial budaya (nilai-nilai masyarakat dalam gampong).
Buku ini merupakan hasil pembelajaran dari implementasi program pengembangan gampong untuk peduli hak anak di empat gampong pada dua kecamatan di Kabupaten Aceh Besar. Bab 1 merupakan landasan konseptual yang menjelaskan pentingnya pendekatan yang mengintegrasikan pendekatan governance dalam pemenuhan hak anak. Pilihan atas pendekatan ini didasari kenyataan bahwa selama ini isu anak belum menjadi perhatian dalam perumusan kebijakan gampong.
Bab 2 merupakan gambaran tentang pandangan atau nilai-nilai lokal tentang anak, kondisi anak-anak di gampong, serta bentuk-bentuk program yang selama ini telah dilaksanakan warga. Masyarakat Aceh hidup dalam konfigurasi budaya Islam sehingga nilai-nilai anak pun sangat dipengaruhi nilai-nilai dalam Islam. Nilai-nilai lokal ini sedikit banyak telah memberi perlindungan bagi anak-anak. Tetapi, pengaruh eksternal dalam bentuk konflik bersenjata dan bencana membuat anak-anak Aceh terenggut hak-haknya. Selama ini, dalam kondisi konflik dan paska bencana, pemerintahan dan masyarakat dengan dibantu oleh berbagai lembaga nasional dan internasional, telah melakukan berbagai aktivitas untuk anak.
Tetapi, program-program tersebut masih terfokus pada pemenuhan hak dasar, dan itupun dalam kondisi yang masih minimalis. Gambaran ini semakin menguatkan atas pilihan strategi yang dipilih IRE – GP.
Bab 3 mendeskripiskan dan menganalisis rangkaian kegiatan, dari sisi strategi, proses, dan capaian. IRE-GP masuk langsung dalam kehidupan masyarakat di gampong untuk mengidentifikasi potensi dan masalah dalam mendorong gampong peduli hak anak. Hasilnya, kondisi tata kelola pemerintahan di keempat gampong sama-sama belum efektif dalam mengintegrasikan isu pemenuhan hak anak dengan kebijakan gampong. Selanjutnya, disusun strategi intervensi melalui pengorganisasian warga dengan membentuk kelompok kerja atau tim task force. Masyarakat sendirilah yang harus menjadi pelaku utama dalam perubahan untuk meningkatkan harkat dan martabat anak-anak. Tim ini terdiri dari unsur pemerintahan gampong dan masyarakat sehingga memperlapang upaya mendorong kebijakan gampong yang peduli hak anak. Tim ini diperkuat kapasitasnya melalui berbagai pelatihan dan pendampingan intensif oleh tim IRE-GP. Selain itu, dilakukan pula upaya pengembangan jaringan, baik secara horisontal maupun vertikal untuk memperkuat advokasi ke lembaga supra desa.
Bab 4 berisi pengalaman berharga yang bisa dipetik dari rangkaian proses implementasi program ini di empat gampong. Di kalangan masyarakat, muncul inisiasi-inisiasi baru yang tidak semata menggantungkan bantuan dari luar. Mereka mengembangkan Posyandu menjadi tempat meningkatkan tumbuh lembang anak secara luas dan tidak sebatas untuk pelayanan bagi para Balita. Sebagai contoh, Posyandu dimanfaatkan sebagai taman bacaan, sanggar tari, permainan edukatif, dan bentuk-bentuk aktivitas lain yang sesuai dengan usia anak-anak. Anak-anak pun juga mulai muncul keberaniannya untuk menyuarakan aspirasi. Mereka telah memberi usulan pada pemerintah gampong untuk mengalokasikan anggaran untuk les bahasa Inggris dan komputer guna memperkaya pengetahuan dan keterampilannya. Pemerintahan gampong pun tak mau ketinggalan. Mereka menginisiasi berbagai qanun yang berorientasi pada pemenuhan hak anak. Selain itu, ada komitmen dari pemerintah gampong untuk mengalokasikan anggaran gampong secara khusus untuk program-program yang bersasaran pemenuhan hak anak.
Akhirnya, Bab 5 mengurai tentang strategi keberlanjutan agar substansi program bisa terinstitusionalisasi pada masyarakat. Ada lima strategi yang telah diinisiasi untuk menjamin gagasan program ini terus dipelihara dan diperjuangkan oleh masyarakat gampong. Internalisasi nilai-nilai pemenuhan hak anak telah dilakukan, tim task force telah terbentuk dan memiliki kapasitas yang memadai untuk terus bergerak memperjuangkan hak anak, serta pemerintahan kabupaten dan gampong pun telah diadvokasi untuk mengedepankan pemenuhan hak anak dalam perumusan kebijakannya. Kesadaran, komitmen, kemampuan dan adanya kelompok kerja untuk merealisasikannya menjadi jaminan ide dasar program ini akan terus terlembaga di masa depan.
Program ini tentu tidak menjanjikan memecahkan kompleksitas permasalahan anak-anak. Namun, strategi program yang mengintegrasikan upaya pemenuhan hak anak dengan governance menjadi jaminan kepedulian pemerintah yang didorong partisipasi masyarakat untuk bisa mewujudkan pemenuhan hak anak. Tidak sebatas pada pemenuhan hak dasar, strategi integratif ini selanjutnya menjadi solusi atas permasalahan pekerja anak, trafficking, kekerasan pada anak, dan permasalahan anak-anak lainnya. Harapannya, gampong-gampong lain di seluruh wilayah Kabupaten Aceh Besar khususnya dan di Provinsi NAD pada umumnya bisa mereplikasi apa yang telah dilakukan oleh masyarakat di empat gampong lokasi program ini.
Yogyakarta, Januari 2009
Editor,
Krisdyatmiko
Abdur Rozaki