Kemiskinan dan desa adalah dua kenyataan yang selalu beriringan. Membincang kemiskinan selalu mengkaitkan dengan fakta bahwa desa adalah kantong kemiskinan. Kantong kemiskinan pun lekat dengan wilayah yang terisolasi, tandus, dan sumberdayanya terbatas. Pandangan inilah yang dipergunakan oleh banyak kalangan, termasuk memandang Kabupaten Gunungkidul Propinsi DI Yogyakarta. Bahkan cara pandang terhadap Gunungkidul ini, menyebabkan Pemerintah Pusat selalu mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan kemiskinan di Gunungkidul, meski tanpa usulan dari daerah tersebut. Alokasi anggaran dari Pemerintah Pusat telah mengalir deras ke desa-desa di Gunungkidul, terutama alokasi anggaran dalam bentuk skema BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) dari Kementerian dan Lembaga. Alokasi anggaran tersebut terus meningkat setiap tahun, namun fenomena kemiskinan di Gunungkidul masih tetap menjadi masalah utama di daerah ini.
Buku ini menarasikan peristiwa dan kenyataan bahwa alokasi anggaran dari pusat yang mengalir ke sembilan desa di Gunungkidul, belum menghadirkan kesejahteraan desa. Alokasi anggaran dari pusat ke desa, ternyata tidak memperkuat kapasitas keuangan desa, tetapi justeru mempersempit diskresi desa dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Kebijakan ADD yang mulai menemukan ruhnya, harus melemah karena interupsi kebijakan cost sharing dari Pemerintah Pusat. Buku ini mengajukan argumen bahwa meskipun kemiskinan Gunungkidul bersifat natural, struktural dan kultural tetapi intervensi secara institusional merupakan pendekatan yang paling fisibel bagi penanggulangan kemiskinan. Mengapa? Buku ini memberikan keyakinan bahwa Gunungkidul mempunyai pemerintahan yang memerintah, mampu merumuskan kebijakan, serta memiliki SDM, teknologi, tanah, hutan maupun anggaran yang bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk menanggulangi kemiskinan. Negara tidak boleh menyerah pada alam (natural) dan kelembaman kultural atau meng-kambinghitamkan pada kondisi alam (natural) dan kultural untuk memaklumi kemiskinan di Gunungkidul. Negara bisa melakukan reformasi aset dan akses sebagaimana direkomendasikan oleh kaum strukturalis. Negara bisa membuat kebijakan dan alokasi anggaran yang membuat pendidikan dan kesehatan lebih pro poor atau yang mudah diakses oleh kaum miskin.