Memang pemerintah, dan pemerintah daerah sudah mencanangkan program penanggulangan kemiskinan yang mampu menekan angka kemiskinan menjadi sekitar 15 persen pada tahun 2011. Perusahaan migas dan tambang melalui program CSRnya juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di aras lokal. Namun demikian, masalah kemiskinan di daerah industri pertambangan dan migas tersebut seharusnya tidak ada dan kalaupun ada harus amat kecil angkanya. Hal ini karena disamping merupakan daerah pertumbuhan ekonomi yang dipicu oleh investasi di sektor pertambangan, di daerah tersebut juga dicanangkan program CSR yang besar dananya. Apa yang terjadi adalah, masalah kemiskinan di daerah industri pertambangan dan migas relatif sangat ruwet dan rawan menimbulkan ketegangan sampai dengan konflik sosial ekonomi yang berbau SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan). Hal ini karena kemiskinan itu memang berinterseksi dengan masalah SARA yang sering menimbulkan konflik sosial ekonomi di Indonesia baik yang bersifat tertutup maupun terbuka berskala lokal hingga nasional.
Fakta seringkali mengungkapkan bahwa golongan yang menikmati adanya pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan pekerjaan serta kesempatan berusaha justru bukan penduduk lokal, melainkan pendatang. Dengan demikian, terjadilah kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk lokal yang secara tradisional telah menguasai sumber daya alam tetapi memiliki kelemahan kapasitas, pendidikan dan pengalaman terhadap pendatang yang memiliki kelebihan kapasitas, pendidikan dan pengalaman bekerja dan berusaha. Selain itu, para pendatang seringkali mempunyai identitas kelas, agama, budaya dan golongan yang berlainan sehingga kehadiran mereka bisa memicu, mendorong ataupun memperkuat konflik-konflik horisontal di aras lokal.
Fakta juga sering mengungkapkan bahwa penduduk lokal maupun lapisan bawah tidak serta merta bisa bangkit dan memperoleh akses atas pertumbuhan ekonomi yang dipicu dan atau digerakkan oleh adanya investasi atau kehadiran para pendatang. Berbagai studi sering mengungkapkan bahwa kemajuan ekonomi di aras lokal yang digerakkan oleh investasi dari luar dapat mengancam eksistensi dan keberlanjutan ekonomi lokal yang menjadi tulang punggung penduduk lokal khususnya golongan lapisan bawah. Mereka ini harus berkompetisi secara ketat dengan lapisan menengan keatas yang lebih kuat dalam mengontrol sumber daya alam. Air bersih misalnya yang dulunya tersedia melimpah di daerah atau tempat tinggal kemudian menjadi langka dan sumber kehidupan ini kemudian dikuasai oleh bisnis kapitalis sehingga mereka harus membeli daripada mengakses secara gratis sebagaimana terjadi sebelumnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan bahwa kehadiran usaha skala menengah keatas yang berusaha menguasai sumber daya lokal justru dapat menimbulkan marjinalisasi golongan lapisan bawah.
Belajar dari persoalan kemiskinan dan ketidak berdayaan masyarakat lapisan bawah di wilayah industri pertambangan dan migas di atas, maka jalan keluar untuk memberdayakan mereka tersebut adalah bukan membangun kesadaran kritis golongan miskin ini untuk menjadi pemberontak. Strategi yang mengedepankan perlawanan dengan cara kekerasan hanya akan menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan baru yang justru akan meminggirkan mereka yang lemah secara ekonomi maupun politik. Selain itu, kekerasan itu sendiri akan menghasilkan pendangkalan humanisme di kalangan masyarakat kecil. Oleh karena itu, strategi yang lebih tepat tetap berakar pada prinsip-prinsip pemberdayaan yang menghargai nilai-nilai seperti kemandirian, toleransi, kesetiakawanan, keadilan dan kesetaraan.
Gagasan mewujudkan pemberdayaan dengan berpijak pada nilai-nilai tersebut dikembangkan oleh IRE melalui program yang dikenal dengan nama “Penanggulangan Kemiskinan melalui Penguatan LSM Lokal di daerah Industri Pertambangan dan Migas”. Progam ini memandang bahwa ke depan percepatan penanggulangan kemiskinan akan diraih di wilayah industri pertambangan dan migas jika program CSR ditingkatkan kadar dan strateginya dengan menggalang kerjasama kemitraan, penguatan kelembagaan dan substansi program yang lebih responsif dan handal dalam menangani kemiskinan. Oleh karena masalah kemiskinan adalah kurangnya kapasitas dan trust LSM lokal, maka langkah strategi untuk mewujudkan agenda kemitraan tersebut adalah memperbaiki kinerja LSM lokal. Jika sebelumnya LSM lokal lebih dikenal sebagai CSO (Civil Society Organization) yang vokal dan kritis terhadap perusahaan yang bergerak di industri ekstraktif dan pemda yang dipandang kurang responsif terhadap kelompok miskin, maka ke depan perlu muncul LSM-LSM lokal yang sangat terampil dan terpercaya menjadi pendamping masyarakat miskin dan golongan perempuan lapisan bawah dalam memecahkan masalah kemiskinan. Dengan demikian, LSM lokal pun bisa menjadi mitra terpercaya bagi perusahaan dan pemda dan bahu membahu melakukan aksi nyata yang mengangkat kesejahteraan masyarakat.
Upaya untuk mewujudkan program IRE tersebut bergayung sambut dengan agenda komunitas global dalam hal ini adalah PBB dan stakeholder di aras nasional seperti Bappenas, BP Migas, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan pemda serta perusahaan. Mereka sama-sama sangat berkepentingan untuk memerangi kemiskinan dan menyadari pentingnya kemitraan sehingga dapat terwujud suatu percepatan penanggulangan kemiskinan yang efektif dan terpercaya serta mempererat kohesi sosial di masyarakat.
Download Buku Kemitraan Penanggulangan Kemiskinan di Daerah Pertambangan dan Migas