Sebagai lembaga politik pasca reformasi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memiliki potensi strategis untuk memperkuat sistem dan praktik demokrasi representasi di Indonesia, karena bisa menjadi penyeimbang lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan kebijakan strategis seperti regulasi maupun anggaran di level pusat. Walaupun sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, harus diakui, posisi anggota DPR seringkali tersandera oleh fraksi atau partai politik yang menjadi induknya. Berbeda dengan peran dan posisi anggota DPD yang bisa lebih “bebas” karena skala tanggung jawabnya langsung kepada konstituen, yakni kepada warga di daerah dan juga kepada daerah secara keseluruhan. Ini juga berkaitan dengan nomenklatur yang ada di DPD yakni perwakilan dan daerah. Kata “perwakilan” menegaskan bahwa DPD merupakan institusi representasi, sementara “daerah” menjelaskan sisi perbedaan dengan DPR, dimana anggota DPD lebih bernuansa mewakili wilayah-provinsi (masyarakat dan pemerintahnya) atau representasi spasial (representasi administratif pemerintahan provinsi).
Merujuk UU No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), setiap anggota DPD antara lain berkewajiban untuk “menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.” Amanat regulasi ini sebetulnya makin kokoh karena pada tanggal 27 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam keputusannya No. 92/PUU-X/2012telah memutuskan bahwa DPD berhak terlibat dalam pembuatan program legislasi nasional, sejajar dengan Presiden dan DPR. Sejauh ini, belum banyak dilakukan kajian yang memperdalam praktik kewajiban anggota DPD terhadap konstituennya sebagaimana diamanatkan regulasi. Adanya kewenangan ini harus dibarengi dengan kinerja yang lebih optimal, terutama dalam mengembangkan model representasi dan komunikasi dengan konstituennya.
Abdur Rozaki
Penulis