Orang Minangkabau sejak dulu meyakini nagari sebagai “republik kecil”. Belakangan seorang anggota DPD dari Papua, Paulus Yohanes, mengatakan dengan lantang bahwa desa adalah sebuah “negara kecil”, yang dalam konteks NKRI, bukan sebagai pemerintahan terendah seperti pada zaman Orde Baru, tetapi sebagai pemerintahan paling depan, paling bawah dan paling dekat dengan rakyat dan masyarakat. Kalau desa sebagai “negara kecil” tentu dia mempunyai wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya, maupun institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dll).
Keyakinan tentang negara kecil tentu mempunyai akar sejarah yang panjang dan unik. Desa, atau nama lain, di masa lalu mempunyai tiga domain yang saling terkait dan bersenyawa: sumberdaya lokal, komunitas dan pemerintahan tradisional (kekuasaan, tatakelola, aturan main) yang digunakan untuk mengatur dan mengurus sumberdaya dan komunitas lokal. Ketiganya merupakan basis penghidupan dan kehidupan masyarakat desa. Kelak model inilah yang kemudian disebut dengan otonomi asli desa.
Berdasarkan konteks itu, konstitusi asli UUD 1945 sebenarnya secara tegas mengakui dan menyebut desa dan nama-nama lain (seperti nagari, marga, dusun, dan lain-lain) sebagai kesatuan masyarakat hukum adat (self governing community). Tetapi amandemen keempat UUD 1945 justru menghilangkan sama sekali sebutan desa. Konstitusi hanya memberikan amanat kepada negara untuk menghormati dan mengakui satuan-satuan masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih ada. “Kalau sudah mati”, demikian tutur banyak pejabat, “jangan dihidupkan kembali”. Kalimat-kalimat ini menimbulkan tafsir yang bermacam-macam. Satuan masyarakat adat tanpa menyebut desa berarti menunjuk pada masyarakat tribal yang tidak tersentuh modernisasi seperti Suku Baduy Dalam, Suku Anak Dalam, Suku Tengger, Suku Wana, Sedulur Sikep atau suku-suku lain di pedalaman atau yang sering disebut masyarakat adat terpencil.
Perubahan konstitusi tampaknya sejalan dengan arus modernisasi, negaranisasi dan marginalisasi desa selama ini. Salah satu perubahan penting adalah pudarnya persenyawaan ketiga domain tradisional setelah desa diintegrasikan ke dalam negara dan setelah pembangunan masuk desa selama empat dekade terakhir. Selama empat dekade terakhir domain desa mengalami perubahan menjadi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan bahasa yang mutakhir, domain dan kebijakan nasional tentang desa mencakup bidang governance, development dan empowerment. Desa merupakan organisasi pemerintahan yang menjalankan fungsi public regulations, public goods dan empowerment. Pemerintahan mencakup kedudukan dan kewenangan desa, susunan dan penyelenggaraan pemerintahan desa, tugas dan fungsi desa, administrasi desa dan lain-lain. Di ranah pembangunan, desa mempunyai agenda membangun dirinya sendiri, dan di sisi lain pemerintah berupaya membawa program-program dan dana pembangunan masuk desa. Infrastruktur merupakan primadona utama pembangunan yang bekerja di ranah desa. Kemasyarakatan merupakan kegiatan sosial keagamaan, yang di dalamnya sarat dengan kegiatan-kegiatan silaturahmi hingga pemanfaatan modal sosial untuk tolong menolong bersama.
Sutoro Eko