Lompat ke konten

Membenahi Pilar Demokrasi

  • oleh
Membenahi Pilar DemokrasiSalah satu pilar demokrasi adalah partai politik. Partai politik memiliki peran dan fungsi dalam proses rekruitmen dan kaderisasi putra-putri terbaik masyarakat untuk dapat mewakili kepentingan dan aspirasi warga di parlemen serta menduduki jabatan publik di pemerintahan. Untuk membangun kedekatan dan basis konstituensi yang jelas maka partai politik sangat vital untuk melakukan pendidikan politik (political education) di masyarakat. Dalam konteks ini, eksistensi partai politik dalam tiga ranah, yakni yang berada di kepengurusan partai (party in the office), dengan yang berada di parlemen atau pemerintahan dan yang berada di konstituen-warga/kelompok warga harus menyatu dan saling bersinergi dalam temali gagasan atau ideologi yang diusung.
Sayangnya, makin hari laju keberadaan partai politik di tanah air makin kehilangan amunisi ideologisnya. Keterlibatan atas sejumlah kasus korupsi sejumlah kader partai di parlemen dan pemerintahan makin mengarahkan mesin partai pada praktek perburuan kekuasaan (rent seeker) demi tujuan pragmatis-memperkaya diri. Para elite partai sibuk membangun dinasti politik, dibandingkan dengan mengurus dan memperbaiki  negara. Kasus terbaru sebagaimana yang dialami oleh Partai Demokrat, SBY sibuk berebut posisi menjadi Ketua Umum Partai, menyusul anaknya, Ibas yang sebelumnya telah menjadi Sekjend Partai.  Sedangkan para aktivis partai disibukkan oleh sejumlah intrik politik, perburuan kekuasaan dan politik patronase lainnya. Para elite dan aktivis partai makin pragmatis, seolah sudah merasa cukup merawat konstituen dengan pendekatan transaksional–sejenis uang dan barang lainnya.

Dalam kondisi semacam ini, para aktivis partai telah memutus mata rantai hubungan emosional, harapan, gagasan dan jalinan ideologis lainnya dengan konstituen. Jika di masa sebelum era reformasi, sebagaimana pemikiran Clifford Geertz, adanya kelompok aliran–abangan, santri dan priyayi di masyarakat melahirkan simbolisme representasi konstituensi partai politik, yakni santri lebih dekat dengan PPP, abangan dan priyayi pada PDI dan Golkar. Kini batas-batas simbolik pembeda rumus konstituensi di kalangan partai politik semakin kabur. Jika dulu sangat gampang menebak warga yang berkopiah dan bersarung di even pemilu akan memilih partai apa, kini semakin susah ditebak kemana arah aspirasi politiknya.

Mencairnya simbolisme konstituensi ideologis dan makin dominannya pendekatan pragmatis- transaksional para elite dan aktivis partai terhadap para pemilih telah menciptakan karakter pemilih pragmatis atau konstituensi-pragmatis. Konstituensi-pragmatis ini tentu semakin tidak mengenal lagi ideologi partai, mereka merasa terikat oleh sosok orang yang akan bertransaksi untuk memperoleh suara. Suara pemilih dalam konteks ini tak lagi bermakna sebagai aspirasi-ideologis dari proses keterwakilan politik di parlemen atau pemerintahan, namun suara pemilih lebih bermakna sebagai komoditi atau barang dagangan yang diperjualbelikan dalam pasar arena pemilu(kada).

Kondisi semacam ini tentu akan sangat membahayakan bagi pilar demokrasi kepartaian, sekaligus pilar kenegaraan kita, sebab satu pilar penyangganya, yakni partai politik makin rapuh karena dirayapi oleh kesadaran pragmatis elite dan aktivis partai sendiri di dalamnya. Jika di masa lalu robohnya partai politik karena ditebas oleh penguasa, maka tidak menutup kemungkinan di masa kini, kerobohannya karena ditebas oleh pragmatisme dan apatisme warga masyarakat.

Maka sebelum partai politik mengalami kerobohan karena kehilangan kepercayaan warga masyarakat, mulailai dari sekarang dengan penuh komitmen dan bersungguh-sungguh untuk melakukan pembenahan kedalam. Rumuskan program ideologis partai secara partisipatif di tingkatan masyarakat akar rumput, kembangkan proses kaderisasi dan konstituensi dengan penuh tanggung jawab, sinergikan antara harapan warga di tingkatan konstituen dengan peran dan fungsi keorganisasian partai mulai di tingkat kepengurusan, di parlemen dan pemerintahan. Hanya partai yang memiliki kekuatan gagasan perubahan, membangun relasi konstituensi yang rasional, partisipatif dan akuntabel, nantinya yang akan memperoleh kepercayaan dan dukungan rakyat. Sebagai bagian dari pilar demokrasi, partai politik haruslah memberi arah masa depan yang jelas untuk kemajuan bangsa dan kemakmuran rakyat sehingga membuat bangsa ini memiliki martabat di hadapan bangsa-bangsa lain. (*Abdur Rozaki).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.