Aceh damai. Itulah cita-cita masyarakat dan pemerintah, setelah begitu lama hidup diantarapuing-puing derita panjang akibat konflik dan kekerasan yang tak berkesudahan. Bangkit, lalu membangun tata pemerintahan demokratis menuju kesejahteraan rakyat adalah keadaan ideal, demi menjawab masalah-masalah yang selama ini
dirasakan. Kalimat itu terpampang dimana-mana, di sudut Kota dan Gampong di Aceh, gumpalan harapan
warga Aceh yang terwujud sejak kesepakatan damai melalui penandatanganan antara pihak yang bertikai
di Helsinki 15 Agustus 2005 lalu.
Peristiwa bersejarah semacam ini sekurang-kurangnya menghapuskan
kabut gelap, Aceh dalam kurun lebih dari tiga dekade dalam suasana yang penuh represi. Mengapa harus
berdamai? Karena memang perdamaian merupakan prasyarat utama agar suatu pemerintahan dan pembangunan
di Aceh dapat diselenggarakan. Bersama, menuju kesejahteraan rakyat. Tanpa perdamaian, Aceh pasti akan terpuruk.Namun, membangkitkan semangat membangunAceh setelah melewati rentang sejarah panjang yang
demikian getir, tentu bukan pekerjaan yang mudah.
Proses ini membutuhkan perhatian, komitmen, kecerdasan, keseriusan berbagai pihak. Apalagi, sejak
hancurnya infrastruktur, kemacetan kelembagaan pemerintahan dan terkoyaknya pranata sosial akibat
bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh pada penghujung 2004, suasana masyarakat Aceh menghadapi
beban berat.