Lompat ke konten

Mandatory Edisi 10 : Reformasi Desa

  • oleh
Cover Jurnal Mandatory_revBerkenaan dengan momentum pembahasan RUU Desa di Parlemen, Jurnal Mandatory  yang diterbitkan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta untuk edisi kali ini mengusung topik utama Reformasi Desa. Reformasi mengandung makna pembaharuan, transformasi atau perubahan situasi yang lebih baik dibanding kondisi sebelumnya. Berbagai pemikiran perihal dinamika dan pengembangan masyarakat dan tata pemerintahan desa akan disajikan dalam penerbitan kali ini.
Diharapkan melalui tema utama ini, pemikiran yang visioner dan bernas tentang kehidupan desa dapat terdeseminasi di kalangan masyarakat dan para pemangku kebijakan sehingga dapat mewarnai proses perumusan RUU Desa nantinya.Dalam sepuluh tahun terakhir ini memang terdapat beberapa kemajuan yang terjadi di desa, baik itu karena intervensi program pembangunan pemerintah, lembaga donor, swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Hal ini tercermin dari semaraknya dinamika warga dan organisasi warga di desa dalam melakukan pemberdayaan baik dalam isu sosial ekonomi, revitalisasi budaya dan tata kelola pemerintahan dalam memberikan pelayanan publik terhadap warga. Begitu pula dengan peran kaum perempuan, yang semakin lebih aktif dalam menjalankan peran-peran aktif kewargaan (active citizenship). Tidak sekadar terlibat membangun partisipasi, namun perempuan juga menduduki organisasi kemasyarakatan dan pemerintahan desa lainnya. Kabar semacam ini memang sungguh mengembirakan, dan patut dipandang sebagai sebuah kabar gembira.Kabar yang masih menyisakan keprihatinan dan membutuhkan pemikiran yang mendalam guna memberikan solusi adalah kondisi-kondisi sebagaimana berikut ini. Pertama, sumber daya alam yang berlimpah yang terdapat di desa masih belum mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan warga desa. Desa masih menjadi supplier buruh murah di perkotaan dan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
Kedua, konflik-konflik yang disertai kekerasan tentang pengelolaan sumber daya alam dalam 10 tahun terakhir ini terus bermunculan di pedesaan. Baik itu disebabkan oleh tumpang tinding dan penyerobotan lahan, atau dampak sosial ekonomi politik lainnya dari adanya perusahaan besar dalam tata kelola kehidupan warga. Seperti yang terjadi di Mesuji Lampung, Bima NTB, Kalimantan Barat, dan lainnya. Ketiga, mulai merebaknya gerakan radikalisasi keagamaan dan etnisitas di pedesaan yang memungkinkan menciptakan disharmoni sosial. Keempat, belum adanya tata regulasi yang memberikan kepastian yang semakin kokoh atas posisi desa, khususnya terkait dengan aspek rekognisi, redistribusi, emansipasi dan demokratisasi.Jurnal kali ini mempresentasikan tulisan tentang dinamika desa sebagaimana dimaksud dari perspektif politik, sosial, dan antropologi. Yando Zakaria mengupas desa dari sudut pandang konstitusi. Pesan utama tulisan ini terletak pada desa yang tidak menjadi bagian dari rezim otonomi daerah karena desa berhubungan langsung dengan negara (baca: Pusat). Mestinya, dengan relasi seperti ini, sebagaimana Kabupaten/Kota, desa berhak mendapatkan dana langsung dari negara. Sayangnya, dalam praktiknya ini tidak terjadi, sehingga perlu pemikiran ulang klasifikasi desain desa ke dalam Desa Praja, Desa Adat, dan Desa Perbantuan. Tulisan ini membantu kita mengidentifikasi kelemahan desain desa sekaligus implementasi kebijakannya di lapangan sebagaimana yang diamanatkan konstusi, sekaligus menelusuri berbagai kemungkinan desain desa di masa depan.

Mulyadi J. Amalik memaparkan isu pemberdayaan desa dari masa ke masa. Tulisan ini menekankan bahwa desa dalam sejarahnya, desa tidak pernah lepas dari konstelasi politik nasional dan lokal, sehingga berbagai upaya pemberdayaan desa sedikit banyak terpengaruh kontelasi politik yang ada. Tulisan ini membantu menelusuri perkembangan dan perubahan konstelasi politik yang ada, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Era Reformasi. Yang menarik dari tulisan ini adalah desa yang tidak sekedar dimaknai sebagai sebuah organisasi pemerintahan formal. Pemaknaan desa sebagai entitas sosial, politik, dan keagamaan memperkaya perspektif kita tentang desa.

Muhammad Wildan fokus pada isu harmonitas kultur keagamaan pedesaan yang dibenturkan dengan gejala radikalisasi. Dalam tulisan ini, penulis menantang pemahaman mapan para pembaca yang melihat desa sebagai tempat yang identik dengan harmoni, komunalitas dan kebersamaan. Globalisasi dan modernisasi beserta ekses sosial dan politik didalamnya, bagi penulis sangat berkontribusi di dalam memberikan pengaruh perubahan sosial di desa, termasuk terhadap bertumbuhnya gerakan radikal trans-nasional. Tulisan ini mengajak kita merenungkan kembali pemahaman kita tentang desa, yang cenderung kita identikkan dengan kohesi dan harmoni sosial, sekaligus mendorong kita untuk mengidentifikasi berbagai alternatif untuk mempertahankan desa sebagai kantong budaya.

Bambang Hudayana menulis tentang dinamika kekuasaan desa. Secara menarik, kajian tentang glembuk menunjukkan kepada kita bagaimana relasi kekuasaan di desa bisa berubah-ubah, berlanjut, maupun terjungkir-balik, memperjelas makna politik sebagai seni, termasuk politik di desa, yang melibatkan kepala desa, perangkat desa, dan masyarakat desa sebagai konstituen. Tulisan ini menegaskan bahwa politik adalah lokal, karena menggambarkan dinamika ekuasaan yang sangat sehari-hari. Selain itu, tulisan ini memperluas pengetahuan kita bahwa desa tidak hanya beragam dalam nama dan struktur, sebagaimana yang kita ketahui tentang yang disebut ‘desa’ di luar Jawa. Ia juga beragam dalam budaya dan praktik-praktik relasi kekuasaan.

Farid Hadi Rahman mendiskusikan pendekatan Asset Based Approach (ABA) dalam pemberdayaan desa. Tulisan ini memaparkan lesson learned atas program-program yang diiniasi ACCESS yang didesain dengan mengimplementasikan pendekatan aset di berbagai kawasan Desa di Indonesia bagian Timur. Tulisan ini berusaha meyakinkan bahwa pendekatan aset diperlukan karena desa pada dasarnya memiliki modal untuk berkembang, mencakup sumberdaya alam, sumberdaya manusia, budaya dan modal sosial. Hanya saja, karena aset yang ada tidak dikelola dengan baik, dan pendekatan selama ini lebih sering menempatkan desa sebagai obyek daripada subyek, kemiskinan di desa terus berlanjut. Pendekatan aset tidak sekedar mengidentifikasi desa sebagai entitas yang kaya potensi untuk berkembang, tetapi skealigus menempatkan penduduk desa sebagai pengelola aset, atau subyek pembangunan. Tulisan ini membantu kita memahami ABA sebagai pendekatan alternatif terhadap pendekatan program pemberdayaan desa yang ada selama ini yang justru menghasilkan ketergantungan desa.

Dina Mariana mendiskusikan pentingnya komitmen pemerintah untuk memberikan kepercayaan terhadap desa untuk mengelola block grant yang lebih besar. Melalui skema Alokasi Dana Desa (ADD), block grant yang diterima desa tidak mencukupi dalam mendukung desa menggerakkan inovasi dan emansipasi di tingkat lokal. Padahal, dengan nominal ADD yang sedikit, desa-desa di Indonesia timur berhasil mendinamisasi proses politik di desa, menjawab persoalan-persoalan sosial dan kultural hingga memperkuat perekonomian desa yang secara perlahan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat–sebagaimana ditunjukkan hasil riset IRE bekerjasama dengan ACCESS Phase II. Penulis mengajak elemen masyarakat sipil untuk memanfaatkan momentum penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa (RUU) untuk melakukan advokasi untuk hadirnya skema alokasi blockgrant yang mampu memfasilitasi desa untuk mandiri dan sejahtera.

Setelah berbagai tulisan yang mengupas desa dari beragam aspek, Arie Sujito memungkas edisi Jurnal Mandatory kali ini dengan melontarkan sejumlah gagasan terkait advokasi RUU Desa. RUU Desa diharapkan memberi kejelasan pengakuan negara atas kewenangan, kemajemukkan, reformasi perencanaan dan penganggaran daerah serta redistribusi sumberdaya ke desa. Hanya saja, penulis mengingatkan bawa desa dalam mendorong transformasi desa ke arah demokrasi yang menyejahterakan memelukan stok blockgrant APBD yang memadai. Selain itu, konsolidasi koalisi advokasi RUU Desa penting untuk membela desa menuju sistem yang demokratis dan pencapaian kesejahteraan, di mana desa sebagai pilar kehidupan masyarakat lokal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.