Pendiri bangsa Indonesia (Founding Fathers) telah mencanangkan kebijakan reforma agraria untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan berlandaskan pada asas keadilan dalam hal distribusi dan pengelolaan lahan bagi kaum marjinal. Reforma agraria secara fundamental memberikan program-program yang dapat menuntaskan masalah kemiskinan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan dengan kemandirian pangan nasional, meningkatkan produktivitas tanah, memberikan pengakuan hak atas tanah yang dimiliki baik secara pribadi, negara, dan tanah milik umum yang pemanfaatannya untuk memenuhi kepentingan masyarakat (https://kominfo.go.id/, 2018).
Masyarakat hutan desa menggantungkan kehidupan mereka pada sektor kehutanan lokal untuk dimanfaatkan sebagai aktivitas ekonomi, sosial, dan budaya. Akan tetapi, seiring dengan berjalan waktu dan pengaruh dari deidologisasi, depolitisasi, dan dekonstruksi politik dalam pengelolaan sumber daya lahan oleh kelompok-kelompok kepentingan yang bekerja sama dengan penguasa negara menyebabkan konsistensi dari tujuan awal reforma agraria yang telah dicanangkan oleh pendiri bangsa mulai berkurang. Alhasil, bukan kesejahteraan yang didapatkan oleh kaum marjinal, melainkan makin merebaknya konflik penguasaan lahan antara kelompok kepentingan dengan masyarakat lokal hutan desa. Hal tersebut juga disebabkan karena lemahnya penguasa negara dalam mengontrol kawasan hutan negara dan lemahnya keberpihakan penguasa negara pada kedaulatan rakyat terutama pada kaum marjinal agar menjadi sejahtera dan mandiri. Banyak kasus-kasus konflik agraria yang sejatinya dilandaskan pada konflik strata sosial tersebut membuat pihak kelas atas (korporasi swasta) yang berkepentingan dalam industrinya di lahan tersebut semakin mendapatkan keuntungan, sementara pihak kelas bawah (masyarakat lokal) kalah oleh kelompok kepentingan kelas atas tersebut yang malah membuat mereka semakin termarjinalisasi. Kontrol penguasaan lahan dipegang oleh kelompok kelas atas dan dari sini terlihat adanya ketimpangan relasi antara kelas atas dan kelas bawah dalam hal pengelolaan lahan.
Terdapat kasus konflik kekerasan yang terjadi di Sumatera Selatan (21/3/20) yang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan yaitu konflik agraria antara perusahaan perkebunan sawit PT. Artha Prigel dan masyarakat lokal di Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan dan yang menjadi korban yaitu dua petani lokal yang tewas dibunuh oleh oknum dari perusahan tersebut. Berdasarkan berita dari www.sumsel.idntimes.com, Organisasi Masyarakat Sipil Sumatera Selatan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengutuk keras kejadian kekerasan yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang melibatkan pihak keamanan perusahaan dan preman sampai merenggut nyawa dua petani dan dua terluka. Empat korban tersebut mengalami luka bacok, dua orang meninggal, dan dua orang kritis. Sementara itu, menurut sumber berita dari www.kompas.com, konflik agraria di wilayah Provinsi Sumatera Selatan cenderung meningkat, sehingga diperlukan solusi agar tidak semakin banyak warga yang kehilangan lahan sumber penghidupan mereka.
Berita dari www.sumsel.idntimes.com, menjelaskan bahwa konflik lahan Hak Guna Usaha (HGU) sudah sejak lama terjadi, sejak dari tahun 1993. Masyarakat setempat menolak perpanjangan HGU sehingga terjadi pergolakan. Setiap perusahaan yang akan melakukan panen sawit di lahan tersebut akan dihadang oleh warga lokal karena lahan tersebut masih berstatus sebagai lahan sengketa. Pihak dari warga lokal mendesak negara untuk menjamin perlindungan, keselamatan, dan hak-hak masyarakat korban dari konflik sumber daya alam. Konflik lahan di Sumatera Selatan tak kunjung selesai karena tidak adanya solusi yang memihak pada kaum marjinal. Akar masalah dari permasalahan tersebut disebabkan karena tidak adanya kebijakan untuk memberikan kepastian penguasaan akses lahan (tenurialsecurity) sumber daya alam atau wilayah pengelolaan kepada masyarakat lokal, adanya dominasi dan ekspansi oleh pihak korporasi skala makro terhadap penguasaan tata kelola lahan, serta hukum adat lokal sekitar kawasan agraria tidak dipertimbangan dalam kebijakan perundang-undangan agraria negara. Selain itu, permasalahan tersebut tak kunjung selesai dikarenakan pemaknaan demokrasi yang menyimpang di era desentralisasi oleh kepala daerah yang menempatkan investasi lahan sebagai tujuan utama serta kurangnya pemahaman pemerintah dalam menjalankan peraturan perundang-undangan dalam reforma agraria yang tepat.
Dari kasus tersebut, menunjukkan bahwa kebijakan reforma agraria yang masih tumpul dalam implementasinya karena lemahnya kuasa pemerintah dalam mengurusi permasalahan agraria. Peran pemerintah mengatur sektor agraria masih lemah dan kalah dari kelompok korporasi yang memiliki kepentingan besar yang mengarah pada penguasaan kawasan agraria secara mutlak. Masyarakat lokal tidak mendapatkan hak secara penuh terhadap hutan lokal yang ada di kawasan mereka, padahal mereka menggantungkan kehidupan di sektor agraria. Hal tersebut membuat kaum rentan semakin termarjinalkan dan tidak memiliki daya kuasa dalam memanfaatkan sumber daya agraria yang ada di kawasan mereka. Adanya tekanan ekonomi, investasi, dan bisnis untuk meraup keuntungan yang tinggi terhadap hutan sehingga banyak meninggalkan fungsi sosial dan lingkungan masyarakat lokal. Rusaknya kearifan lokal dalam hutan adat dikarenakan banyaknya hutan yang terdegradasi dan deforestasi besar-besaran tanpa memperhatikan kearifan lokal yang ada di dalamnya. Hal tersebut memunculkan kritikan tajam terhadap eksistensi dan tanggung jawab negara atas pengelolaan sumber daya hutan.
Setidaknya terdapat dua pemicu konflik agraria: 1) Tidak tepatya kebijakan pengatur masalah agraria, baik terkait pandangan atas tanah, status tanah dan kepemilikan, hak-hak atas tanah, maupun metode untuk memperoleh hak-hak atas tanah; 2) Kelambatan dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa tanah yang akhirnya berujung pada konflik. Akibatnya, masyarakat marjinal banyak yang kehilangan mata pencaharian dan akhirnya menjadi pengangguran, yang menyebabkan semakin meningkatnya tingkat kemiskinan di desa tersebut (https://kominfo.go.id/, 2018). Reforma agraria yang digaungkan pemerintahan saat ini belum menunjukkan adanya keadilan bagi kaum rentan sehingga mereka semakin termarjinalisasi. Penyebab utama tingginya angka konflik juga disebabkan karena pemberian izin konsesi skala makro kepada perusahaan-perusahaan negara maupun swasta yang tidak melihat kepentingan kaum marjinal secara berkeadilan.
Visi dan misi reforma agraria kehutanan tidak akan terwujud tanpa adanya political will yang kuat dari aktor-aktor negara yang juga seimbang dengan tiga pokok arahan dalam reforma agraria yaitu: 1) Inisiatif reform yang kuat dari aktor negara; 2) Partisipasi aktif dari rakyat; dan 3) Interaksi yang kuat antara pemerintah dengan rakyat yang pro-poor(Hakim, 2014). Tetapi sayangnya, aktor negara kurang memberikan perhatiannya pada kebijakan reforma agraria yang melihat pada kaum marjinal dan hak-hak mereka. Saat ini, belum ada kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menindak kasus-kasus sengketa lahan yang merugikan kaum marjinal. Bahkan, pemerintah masih lemah dalam mengatur kebijakan-kebijakan agraria sehingga negara juga akan kalah dengan kuasa korporasi swasta yang terus melakukan imperialisme dan hanya fokus pada ekonomi skala makro. Masyarakat marjinal semakin menjerit apabila kawasan hutan lokal yang menjadi sumber penghidupan mereka dijarah oleh kelompok kepentingan yang hanya fokus pada ekonomi makro dan mensubordinasikan kelompok rentan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sambutan dalam acara Konferensi Tenurial Reformasi Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Hutan Indonesia Tahun 2017 di Istana Negara (25/10), bahwa semangat reforma agraria dan perhutanan sosial adalah bagaimana lahan dan hutan yang merupakan bagian dari sumber daya alam Indonesia dapat diakses oleh rakyat dan dapat menghadirkan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat. Selain itu, Presiden Jokowi juga mengharapkan konferensi tersebut akan melahirkan hasil nyata, rumusan peta jalan yang dapat diterapkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil, dan para pelaku usaha dalam rangka mempercepat program reforma agraria dan perhutanan sosial. Dan terutama peta jalan yang dapat menunjukkan arah yang pasti dan berkelanjutan untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada rakyat, kesempatan yang lebih besar pada masyarakat (https://setkab.go.id/, 2017).
Tetapi pada kenyataannya, Ombusdman menilai reforma agraria belum mampu menyelesaikan konflik agraria di lapangan, salah satunya izin konsesi skala makro terhadap perusahaan. Ombudsman juga menilai bahwa reforma agraria yang dilakukan pemerintah masih sebatas sertifikat tanah yang tidak bermasalah. Sertikasi tersebut memang penting sebagai kekuatan hukum atas tanah, namun sertifikasi sudah seharusnya menjadi hak bagi warga yang sudah memiliki tanah. Sertifikasi hanya layanan administrasi biasa tetapi belum menyelesaikan esensi seperti ketimpangan lahan dan keadilan agraria (https://ombudsman.go.id/, 2019). Terbukti, bahwa masih banyaknya kasus konflik agraria dimana pemerintah lamban dan tidak tegas dalam menindaklanjuti konflik tersebut. Dalam hal ini, hak-hak kaum marjinal belum dijunjung dan diperhatikan dalam skala nasional.
Alangkah lebih baiknya apabila kajian mengenai kebijakan reforma agraria semakin digalakkan dan mendorong resentralisasi dalam kebijakan pengelolaan sumber daya lahan kehutanan. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berkolaborasi dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan tegas dan sudah saatnya desentralisasi kepada pemerintah daerah dalam pendistribusian hak dan wewenang pengelolaan hutan (forest tenurial reforms) secara adil dan merata. Jika tidak seperti itu, kebijakan dalam reforma agraria semakin dilupakan dan begitu juga dengan nasib kaum marjinal yang juga terlupakan oleh negara. Bagaimana mereka bisa hidup tanpa mengandalkan sumber daya hutan? Padahal hutan menjadi satu-satunya sumber penghidupan kaum marjinal di desa hutan. Dan bagaimana keadilan dapat terwujud dan dirasakan oleh kaum marjinal apabila tempat mereka mencari penghidupan dijarah oleh kelompok-kelompok elit demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa melihat nasib masyarakat lokal? Bahkan mereka yang menjadi korban dari penjarahan lahan sampai memakan korban jiwa.
Sumber Referensi:
https://setkab.go.id/presiden-reforma-agraria-dan-perhutanan-sosial-hadir-untuk-pemerataan-ekonomi/
https://ombudsman.go.id/pengumuman/r/ombudsman-jokowi-jk-belum-mampu-selesaikan-konflik-agraria
https://regional.kompas.com/read/2013/05/02/09041076/Konflik.Agraria.di.Sumsel.Cenderung.Meningkat
Hakim, Ismatul, dkk. 2014. Hutan Untuk Rakyat Jalan Terjal Reforma Agraria di Sektor Kehutanan. Yogyakarta: LKis
Ewinda Adlina Hashifa
Asisten Peneiti IRE