
Imam Priyono, Calon Walikota No urut 1 (keempat dari kiri), sedangkan Hariyadi Suyuti diwakili oleh Asep Kusumajaya, dari The Hariyadi Suyuti Center
“Pembangunan kota Yogyakarta membutuhkan paradigma baru yang menempatkan manusia sebagai titik tumpu sebagai tujuan bersama”, kata Titok Hariyanto, peneliti IRE.
Kota Yogyakarta kini mengalami problem besar yang akan menjadikannya masuk pada deretan “kota gagal” jika berbagai masalah yang ada saat ini tidak segera diatasi. Permasalahan tersebut antara lain berkaitan dengan transportasi public yang belum memadai, kemacetan, ekologis tata ruang, alih fungsi lahan, krisis air, dan intoleransi, serta persaingan ekonomi politik yang ganas.
Pada masa pilkada seperti sekarang ini isu-isu pelayanan dasar dan kesejahteraan sosial akan menjadi hal yang sangat populis. Tak terkecuali dua pasangan calon wali kota Yogyakarta Imam Priyono dan Haryadi Suyuti. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh IRE pada hari Senin, 31 Oktober 2016, mereka memaparkan visi-misinya yang kesemuanya merujuk pada penyelesaian bebagai permasalahan besar yang ada di kota Yogyakarta saat ini seperti permasalahan lingkungan, pembangunan, tata kota, dan pendidikan.
“Isu kesejahteraan sosial menjadi populis, namun jangan sampai hanya berhenti di kampanye,” kata Elanto Wijoyono, perwakilan komunitas Warga Berdaya. Elanto menambahkan situasi yang terjadi sekarang ini, seharusnya dapat melihat lebih jauh dan lebih substantif, sehingga tidak hanya sekedar melihat kontestasi pasangan calon wali kota saja. Warga kota Yogyakarta ingin memperoleh alasan yang mendasar terkait berbagai kebijakan yang diambil.
Saat ini banyak kritik dan masukan pada pemerintah kota Yogyakarta, namun eksekutif dan anggota legislative tidak terlalu kelihatan dalam prosesnya. Warga mencari salurannya sendiri untuk menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah. Menurut Elanto Demokrasi yang berjalan tidak dapat dilihat kotak-perkotak perdaerah, urusan pembangunan suatu daerah bisa berimbas di seluruh wilayah di sekitarnya.
Dalam setiap hari lebih dari dua kali lipat jumlah penduduk Kota Yogyakarta yang beraktifitas di dalam kota ini. Mereka datang dari berbagai daerah yang ada di sekitar Kota, dan tentunya mereka akan berhubungan dengan birokrasi kota. “Semua orang dapat membicarakan kepemimpinan dan pemilihan di kota ini. Yogyakarta terlalu penting untuk diserahkan pada 2 orang wali kota dan wakilnya, anggota dan dewan, kata Elanto.
Pemerintah kota Yogyakarta hingga kini masih belum berhasil menghadirkan sara dan prasarana yang memadahi sehingga banyak permasalahan muncul. Capaian keberhasilan penyelesaian masalah masih dipancang sebagai angka-angka statistic saja, yang belakangan dikabarkan memiliki peningkatan yang positif, seperti peningkatan kualitas sosial masyarakat dengan tingkat konflik sosial yang telah menurun dibanding 2012. Padahal kenyatannya banyak kasus intoleran yang terjadi dan belum ada yang terselesaikan hingga akarnyaa, sehingga menjadikan Jogja menjadi kota yang intoleran.
Padahal, menurut Titok Haryanto, pemikiran keistimewaan Yogyakarta oleh HB IX pada konsep historisnya adalah ingin menjadikan Yogyakarta bagian dari republik dengan semangat kewargaan. Kebijakan yang diambil akulturatif sebagai miniature Indonesia yang mengartikulasi keberagaman budaya, etnis, dan agama. Pembangunan kota Yogyakarta kedepan membutuhkan paradigma baru yang menempatkan manusia sebagai titik tumpu dan sebagai tujuan bersama dengan syarat utamanya adalah warga aktif dan pemerintah responsive.
“5 tahun kemarin Jogja berhenti. Tidak ada satupun inovasi yang dikembangkan di kota Yogyakarta. Pada PBB melalui SDG’s mendorong no one life behind tidak ada orang yang tertinggal pada pembangunan,” kata Titok Haryanto. Hal tersebut terjadi sebab demokrasi procedural yang dilewati saat ini meskipun demokratif namun masih dangkal.
Pemerintah Kota Yogyakarta perlu membangun relasi antara pemerintah dan masyarakat melalui musyawarah dan dialog. Dari relasi yang terbangun tersebut pemerintah dapat menemukan masalah dan penyelesasiannya secara bersama-sama.
Titok menambahkan, saat ini kerja-kerja kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil harus mulai dilakukan. Dorongan rencana aksi daerah sebaiknya dilakukan secara bersama antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah dan akademisi, pemerintah dan NGO. Pemimpin perlu merubah pola pandang pembangunan serta pengambilan kebijakan yang diramu berdasarkan data dari pemerintah, CSO, dan masyarakat.
Semua permasalahan dan kegelisahan masyarakat kota Yogyakarta yang dikemukakan oleh Elanto Wijoyono dari Warga Berdaya, serta beberapa solusi yang ditawarkan oleh Titok Hariyanto tersebut dedengarkan langsung oleh dua calon wali kota. Imam Priyono berjanji akan melibatkan semua dilibatkan dalam pembangunan kota. Sedangkan Haryadi Suyuti yang diwakili oleh Asep Kusumajaya, Direktur the Haryadi Suyuti Center, berkomitmen akan menjadikan masukan pada diskusi yang diselenggarakan oleh IRE ini akan dicatat sebagai dasar pembangunan kota Yogyakarta 5 tahun kedepan.
Siapapun yang akan memimpin kota Yogyakarta, semoga dalam 5 tahun ini ada perubahan lebih baik. Karena Yogya memiliki warga aktif seperti Warga Berdaya. Semua mempunyai rasa memiliki dengan kota Yogyakarta. “Kita menginginkan tidak hanya Yogya akan dibangun dengan visi misi calon, namun lebih menekankan pada demokrasi yang lebih baik. komitmen pemberantasan korupsi yang lebih tegas,” pungkas Elanto.