Sejak Pandemi Covid-19 mulai menyebar di Indonesia, Presiden Jokowi segera menghimbau masyarakat untuk menerapkan kerja, sekolah hingga berdoa dari rumah. Alhasil sejumlah sekolah hingga perkantoran pun mengizinkan aktivitas belajar dan bekerja beralih ke rumah masing-masing siswa dan karyawan. Selain itu media sosial pun gencar dengan kampanye preventif yang mendorong masyarakat untuk lebih awareagar memilih beraktivitas di rumah aja, menjaga jarak dan menghindari keramaian.
Hashtag-hashtagseperti #DiRumahAja, #JagaJarak dan #HindariKeramaian membanjiri lalu lintas media sosial. Meskipun tentu saja, tidak semua orang bisa menikmati “kemewahan” untuk bisa duduk santai sambil bekerja di rumah, atau mengisolasi diri dengan persediaan makanan yang mencukupi.
Para pejuang medis harus tetap berdiri di garda terdepan melayani kemanusiaan dan memerangi wabah yang mengancam, selain itu para pejuang nafkah jalanan juga harus tetap melawan serangan ganda: serangan pandemi dan serangan ekonomi. Tak ada amunisi dan senjata yang mereka miliki selain keyakinan bahwa keluarga di rumah harus tetap berdetak jantungnya. Merekalah kelompok miskin dan rentan.
Bagi para pedagang gado-gado yang setiap hari mangkaldi taman kota, kerja di rumah berarti mengancam kesempatan mendapatkan uang hari itu musnah, bagi para sopir ojek yang setiap hari berpetualang di jalan berburu penumpang, kerja di rumah berarti tidak ada rupiah, dan bagi para pedagang kecil serta sopir angkot lainnya, kerja di rumah mengindari keramaian berarti kehilangan kesempatan mendapatkan uang untuk bayar cicilan.
Menurut kajian peneiliti LIPI, Syarifah Aini Dalimunthe dalam artikelnya online yang berjudul Bencana Pandemi Covid-19 Tidak “Society Neutral”, jauh sebelum Covid-19 merebak, dunia telah mencatat berbagai macam pandemic yang mengakibatkan jatuhnya korban dari kaum ekonomi msikin. Pada rentang 1918-1919 fluSpanish yang merebak di Spanyol telah menelan nyawa dua puluh juta penduduk dunia. Setelah Perang Dunia II berakhir, flujenis lain kembali mewabah. Tahun 1957 pandemi “Asian Flu” dilaporkan. Virus H2N2 ditemukan di Singapura kemudan mencapai Hongkong hingga daratan Amerika Serikat.
Ketika mencapai Eropa, pabrik ditutup mengurangi penyebaran. Akibatnya kelompok pekerja tidak memliki pendapatan. Empat belas ribu orang di Inggris meninggal karena tidak memiliki akses medis. Sementara diseluruh dunia diperkiran 1,1 juta meninggal karena wabah ini. Berbagai literature menunjukan kelompok ekonomi menengah dan atas memiliki kesempatan lebih besar untuk mengurangi tingkat keterpaparan.
Bagi keluarga miskin yang tinggal di lokasi dengan kualitas lingkungan yang buruk dan jauh dari fasilitas kesehatan, kondisi mereka akan semakin rentan. Mereka yang tidak memiliki akses air bersih atau harus membeli air akan menurunkan prevalensi untuk sanitasi sehingga mempercepat proses transmisi. Selain itu pemukiman dengan kerapatan bangunan yang tinggi dan jumlah penghuni yang padat dalam satu unit tempat tinggal dipastikan berdampak pada tingginya tingkat keterpaparan virus.
Hal serupa juga diungkap Dandhy Dwi Laksono (founderWatchDoc ), ia membagikan beberapa foto kondisi rakyat miskin kota di Instagram pribadinya. Bagi kita yang tinggal di rumah layak dengan luas dan sanitasi yang mapan, tentu jaga jarak aman bersama anggota keluarga lain tak jadi masalah. Tapi bagi keluarga miskin hanya tinggal di dalam petakan seluas 1,75 meter x 3 meter, “Jaga Jarak” aman bagai tantangan bermain sulap. Satu rumah petak bisa berisi 3 sampai 7 orang. Jangankan korona, dengan kondisi tersebut penyakit kudis dan cacar saja bisa dengan sangat mudah menjangkiti para penghuninya. Sebelum pemerintah mengeluarkan imbauan “jaga jarak”, mereka sebenarnya telah terbiasa “berjarak” dari dampak dan manfaat kebijakan pemerintah.
Anggapan bahwa kemiskinan dan kerentanan sosial ekonomi adalah dampak dari kemalasan atau ketidakmauan seseorang untuk bekerja keras mungkin masih mendominasi cara berpikir kita Menurut Robert Chambers, orang miskin tidak begitu saja dikatakan miskin karena kemiskinannya. Ada 5 perangkap kemiskinan menurut Chambers (1893), yaitu: Kemiskinan itu sendiri (poverty), kelemahan fisik (Physical Weakness),keterisolasian (isolation), kerentanan (Vulnerability),dan ketidakberdayaan (Powerlessnes). Kelima hal ini menurut hal Chambers adalah perangkap kemiskinan karena membuat orang terus terjebak dalam kemiskinanya (LIPI Press ,2019:10)
Dari kelima unsur tersebut, menurut Chambers, kerentanan dan ketidakberdayaan harus menjadi fokus utama, karena kerentanan akan menyebabkan roda penggerak kemiskinan yang membuat keluarga miskin harus menjual harta benda dan asset produksi mereka, hal ini akan membuat mereka semakin terpuruk dalam lembah kemiskinan (Suyanto, 1996).
Kerentanan sosial sendiri mengacu pada ketahan komunitas untuk menghadapi ancaman dan bahaya dari luar, seperti kesehatan, bencana atau bahkan penyakit (Agency for Toxic Substance and Disiasse Registry). Melalui ATSDR, pemerintah USA menyusun index kerentanan sosial atau (Social Vulnerability Index, SVI).
Ada 4 indikator utama dalam indicator kerentana sosial, yaitu: (1) Status sosial ekonomi yang mencakup pendapatan, pekerjaan, pendidikan dan kemiskinan. (2) Komposisi rumah tangga dan disabilitas yang terdiri dari variable usia, orangtua dan disablitias. (3) Status minoritas dan bahasa yang meliputi ras, kelompok, etnis dan kemampuan berbahasa Inggris. (4) Pemukiman dan trasnportasi yang terdiri dari variable struktur pemukiman, kepadatan dan akses kendaraan.
Jaga jarak memang terdengar mudah bagi kita yang memiliki privilegeruang dan akses, baik itu rumah yang layak maupun akses kesehatan yang mapan. Namun, seperti Chambers uraikan, bahwa bagi mereka yang memiliki kerentanan sosial ekonomi, “ruang dan akses” adalah kemewahan. Sejak lama pula mereka sudah hidup begitu “berjarak” dengan keadilan pembangunan yang merata.
Bukan hanya soal jarak aman. Makanan bergizi, vitamin, sayuran, buah-buahan, hand sanitizer,masker dan deinsfektan adalah seperangkat hal mewah yang tentu saja sulit dan bahkan mustahil mereka dapatkan dengan rupiah yang diperjuangkan seharian. Harga 3 bungkus mie instan tentu akan lebih murah dan hemat dari harga sekilo apel atau daging ayam. Bukan soal tak mau memberikan gizi terbaik bagi keluarga, tapi definisi kenyang bagi mereka adalah bisa makan saja sudah syukur, bukan makan 4 sehat 5 sempurna.
Saat sekumpulan orang mendadak barbar dan melakukan panic buyinghingga persediaan barang menipis dan harga melonjak, kaum miskin dan rentan mungkin hanya bisa menonton sambil tetap berpikir bagaimana caranya mendapat “recehan” di tengah situasi sekarang. Kabar lain yang tidak kalah memilukan justru datang dari Desa Pagar Batu, Kabupaten Lahat, Sumatra Selatan.
Disaat kota-kota besar disibukan dengan aksi melawan wabah, kabar pilu justru datang dari desa. 2 orang petani di Desa Pagar Batu, Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Sumatra Utara tewas karena sengketa lahan pada 21 Maret 2020. Saat para frontliner sibuk memerangi wabah korona, para frontliner perusahaan PT. Artha Prigel juga sedang sibuk memerangi petani Desa Pagar Batu. Para petani Desa Pagar Batu memperjuangkan hak mereka atas tanahnya, dan seperti biasa, korporasi “meminjam” moncong aparat untuk menghantam rakyat demi merampas akses produksi mereka.
Bagi kaum rentan dan kaum miskin kota yang notabene memiliki akses informasi normatif soal korona, wabah ini tetap sulit dihadapi karena serangan beban ekonomi, apa jadinya bila wabah ini menyeruak pada masyarakat miskin perdesaan yang tinggal dipelosok dan sama sekali tidak memiliki akses informasi dan akses kesehatan yang mumpuni?
Wabah ini memang bukan hanya menyerang ketahanan imun, tapi juga menggoyang kekuatan iman, menguji mental dan akal sehat, memborbardir kekuatan kemanusiaan, hingga mengancam keberdayaan hidup masyarakat miskin dan kaum marginal.
Habis Wabah Terbitlah Cerah
Rupanya, perjuangan kita bukan hanya tentang melawan wabah korona, tapi juga berjuang melawan wabah kerakusan yang bisa membunuh sesama, perang melawan wabah keangkuhan yang bisa membahayakan saudara sebangsa, dan perang melawan wabah neolib yang merampas kedaulatan dan ruang hidup kita.
Selain sisi gelapnya, wabah ini juga menunjukan kuatnya gotong-royong masyarakat kita. Tidak semua manusia menjadi barbar dan menimbun persediaan. Berbagai gerakan solidaritas hadir saling menguatkan. Masyarakat, influencer, komunitas, hingga NGO dan jaringan masyarakat sipil pun mulai bersuara dan memulai aksi nyata. Ada yang ikhlas mengolah data dan informasi korona untuk edukasi di sosial media, penggalangan donasi untuk APD Medis dan patungan bantu ekonomi warga, kampanye traktir sopir ojol, hingga sejumlah penerbit dan startup yang menggratiskan layanan untuk mereka yang harus belajar dan kerja dari rumah.
Gerakan gotong-royong dan solidaritas masyarakat tersebut seharusnya menjadi cambuk dan tamparan bagi pemerintah agar mampu membentuk kebijakan yang lebih strategis, tegas, inklusif dan demokratis. Bukan hanya soal Kebijakan strategis di bidang kesehatan dan penanganan medis, tapi juga kebijakan sosial ekonomi yang harus berpihak pada masyarakat miskin dan kaum marginal.
Kita memang tidak bisa berjalan secara parsial untuk menghadapi pandemic ini, perlu penanganan holistic dari berbagai aspek kehidupan. Luasnya Indonesia yang merupakan negara kepulauan membuat penanganan dan mitigasi pada pandemi ini akan efektif jika semuanya dilakukan secara integrative dan kolektif,
Memang benar apa yang Kartini bilang, habis gelap terbitlah terang. Habis Wabah Terbitlah Cerah. Bagi manusia-manusia yang sadar dan berpikir, seharusnya wabah ini akan memantik peradaban kemanusiaan yang lebih adil dan selaras. Tidak hanya menjamin keselarasan hubungan antara manusia dengan manusia, tapi juga keselarasan antara manusia dengan Alam dan tentu saja dengan Dia yang menciptakan.
Sumber Refrensi:
Syarifah Aini Dalimunthe, Bencana Pandemi COVID-19 Tidak “Societty Neutral”, Kajian Kependudukan LIPI, http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-kependudukan/bencana-dan-perubahan-iklim/806-bencana-pandemi-covid-19-tidak-socially-neutral
Tinjauan Kritis Ketahanan Sosial Masyarakat Miskin Perdesaan dan Perkotaan, Ruang Sosial, Kebijakan dan Pola Kerentanan, (Jakarta: LIPI Press , 2009)
Dinda Ahlul Latifah. S.Sos
Asisten Peneliti