Dengan matinya ingar-bingar kehidupan “luar rumah” di wilayah perkotaan, penyebaran virus COVID-19 atau yang kerap disapa virus Korona, mulai bergerak ke daerah-daerah yang bukan termasuk perkotaan; yakni daerah suburban atau bahkan perdesaan. Berita-berita yang berseliweran pada pertengahan hingga akhir Maret memberitakan laju migrasi perantau dari desa yang mudik alias kembali ke desa masing-masing karena tak lagi bisa bekerja di kota (Persada, 2020; CNN Indonesia, 2020). Banyak dari pemudik ini awalnya bekerja pada sektor informal; pedagang asongan, karyawan atau karyawati di pusat-pusat hiburan, pengemudi (konvensional atau daring), penjaga toko, dan masih banyak lagi. Cara pencegahan penularan virus Corona yang menganjurkan masyarakat untuk beraktivitas di rumah, menyebabkan lapak mereka bekerja tak lagi dihinggapi pengunjung atau pelaris. Sebagai akibatnya, banyak di antara mereka mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan tanpa menerima upah (unpaid leave), seperti yang dilaporkan Manurung (2020) dalam Tempo Metro. Meskipun banyak pemerintah daerah merespon laju migrasi ini dengan pelarangan mudik, seperti yang dilakukan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, dan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, banyak masyarakat terlanjur hijrah dari kota ke desa. Dampaknya, desa harus mengemban tanggung jawab yang lebih berat untuk menanggulangi potensi penyebaran COVID-19 di daerahnya masing-masing.
Dikatakantanggung jawab yang berat, karena desa harus mati-matian mengimplementasikan pencegahan COVID-19 agar tidak ada masyarakat desa yang terjangkit. Soalnya, sistem kesehatan di Indonesia belum melangsungkan penanggulangan COVID-19 yang tepat dengan merata. Ketika banyak rumah sakit di pusat-pusat kota—bahkan mereka yang merupakan RS rujukan COVID-19—saja kekurangan Alat Pelindung Diri (APD), bagaimana dengan puskesmas? Banyak puskesmas telah mengeluhkan ketiadaan pemberian APD bagi mereka, padahal, puskesmas merupakan fasilitas pelayanan kesehatan pilihan pertama untuk segelintir masyarakat, terutama masyarakat desa dan mereka yang memiliki perekonomian menengah ke bawah (GO Sulut, 2020; Arfah, 2020; Somantri, 2020). Oleh karena itu, sakit bukan pilihan. Beberapa rumah sakit rujukan juga mulai menolak masuknya pasien positif COVID-19 karena kapasitas rumah sakit sudah tidak mampu mewadahi jumlah pasien yang membludak.
Untungnya, banyak desa telah berinisiatif untuk menciptakan karsa (usaha) demi menanggulangi COVID-19. Penanggulangan tersebut muncul utamanya dalam tiga aspek: penanganan pendatang, perlindungan wilayah, dan penyediaan kebutuhan primer. Inisiatif bermunculan dari “tepian”, hal krusial yang perlu diselaraskan dengan inisiatif dan langkah tanggap pemerintah pusat
Karsa Desa Tangkis Corona
Seperti yang telah kita ketahui, pemerintah telah mengeluarkan anjuran karantina mandiri atau swakarantina bagi mereka yang baru saja bepergian ke daerah dengan transmisi lokal (penularan COVID-19 dari orang dalam negeri, bukan dari luar negeri) dan zona merah (daerah dengan jumlah pasien positif COVID-19 yang tinggi) selama 14 hari, karena bisa saja mereka menjadi pembawa virus (carrier). Masyarakat desa yang telah menyadari bahaya pendatang yang berpotensi membawa virus, kemudian gotong-royong mendirikan fasilitas karantina mandiri berwujud rumah isolasi. Misalnya, warga Desa Kadilanggon, Kecamatan Wedi, Jawa Tengah, yang sudah mengalihfungsikan rumah kosong, kantor, dan gedung pemerintah menjadi 15 rumah isolasi yang siap ditinggali (Prakoso, 2020). Ini sebagai upaya untuk menanggulangi 500 dari 1200 jiwa warga Kadilanggon yang awalnya merantau tetapi kini telah pulang kampung. Di Desa Sumbermulyo, Kabupaten Bantul, pemerintah desanya juga telah menyulap gedung Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) menjadi Gedung Karantina COVID-19 (Pertana, 2020). Kedua desa tersebut turut menyelaraskan inisiatif ini dengan memasok makan sehari-hari, juga meminta bantuan untuk pemeriksaan medis warga yang diisolasi. Jika di Sumbermulyo pemeriksaan dilakukan oleh Puskesmas Bambanglipuro, di Desa Kadilanggon dilakukan oleh bidan desa. Yang paling penting, inisiatif ini juga terlahir melalui kesepakatan warga dalam rembuk desa, yang artinya, warga sudah memiliki kesadaran untuk menanggulangi COVID-19, serta mengedepankan asas musyawarah, kegotong-royongan, demokrasi, dan kemandirian seturut dengan UU Desa Pasal 3.
Dari segi perlindungan wilayah, beberapa desa pun tak tinggal diam melindungi daerah tempat tinggal mereka. Sepanjang perjalanan menuju kantor IRE di Desa Sariharjo beberapa minggu yang lalu, saya sendiri melihat desa-desa di sepanjang Jalan Kaliurang atau Palagan Tentara Pelajar telah memberlakukan apa yang disebut sebagai lockdown kampung atau lockdown mandiri. Jalan masuk ditutup, lantas pengemudi diarahkan melalui satu jalan utama yang akan berujung ke pos penyemprotan disinfektan. Meskipun penyemprotan disinfektan masih kontroversial karena disinyalir berbahaya bagi tubuh oleh WHO dan ahli lainnya (Kompas, 2020), upaya lockdown kampung bisa dilihat sebagai bukti kontrol masyarakat terhadap pendatang yang keluar masuk areal desa. Penjaga pos bisa melihat siapa-siapa yang masuk ke kampungnya. Pun, lockdown kampung yang kerap disertai imbauan agar tamu yang akan menginap wajib melapor juga akan meningkatkan kontrol pemerintah dan masyarakat desa terhadap jumlah pendatang dan kondisi kesehatan mereka. Penyemprotan disinfektan dari rumah ke rumah, juga pembagian hand sanitizer dan masker yang sudah bergulir di desa, baik yang berasal dari pembuatan secara mandiri atau dari bantuan institusi supra desa, merupakan usaha perlindungan wilayah efektif yang lain.
Untuk menyokong dua karsa desa sebelumnya, pemerintah desa bersama masyarakat pun juga menciptakan usaha penyediaan pangan sebagai salah satu kebutuhan primer. Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, Bali, yang baru saja mengalami panen raya, menghimpun padi mereka untuk kebutuhan mereka terlebih dahulu, baru dijual ke luar (Bisnis Bali, 2020). Berbeda dengan Desa Gubug, tetapi dengan semangat yang sama, Pemerintah Desa Hanjuang, Kabupaten Garut, Jawa Barat juga sudah mengalokasikan Anggaran Dana Desa (ADD) dan anggaran swadaya masyarakat untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan warga selama 14 hari, selama karantina mandiri. Kebutuhan pangan itu terdiri dari beras, telur, daging ayam, vitamin, dan uang tunai Rp 150.000,00 (Antonius, 2020). Pangan, pada masa darurat COVID-19 ini, bukan lagi berfungsi sebagai pemenuhan gizi semata. Namun, ia adalah prasyarat untuk tubuh yang vital melawan virus Korona.
Solidaritas dari Pusat
Dari karsa-karsa desa yang telah dilukiskan di subbab sebelumnya, bisa dilihat, bahwa desa telah menumbuhkan inisiatif-inisiatif yang dilandaskan pada solidaritas sosial di antara mereka. Menurut sosiolog Eric Klinenberg (dalam Klein, 2020), yang dikutip dari artikel bertajuk “The Covid-19 question: Can solidarity replicate faster than the virus?”, solidaritas sosial merupakan interdependensi antara individu-individu dan antar kelompok, sebuah mekanisme krusial untuk melawan penyakit menular atau ancaman kolektif. Solidaritas sosial lah yang menggerakkan kita untuk berkorban demi satu sama lain, termasuk memikirkan kesehatan masyarakat di atas kesejahteraan personal: tidak menandaskan obat-obatan (di apotek), tidak pergi keluar ketika kita sakit, mengetuk pintu tetangga yang usianya lebih tua. Namun, kata Klinenbberg lagi, ketika kita menginginkan orang lain untuk melakukan kompromi dan pengorbanan yang besar dalam untuk kepentingan kelompok, perlu ada rasa kolektif—kebersamaan—yang dibentuk. Dari penciptaan karsa desa tadi, kita sudah melihat kebersamaan dibentuk dari adanya sokongan dari pemerintah desa dan masyarakat untuk bergotongroyong membantu sesama. Yang diminta untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja, didukung oleh pangan gratis dari pemerintah desa. Kedua-duanya saling berkorban. Solidaritas berarti juga resiprositas, hubungan imbal balik yang “bertemu di tengah”.
Namun, inisiatif-inisiatif bersolidaritas yang telah dilakukan desa, atau saya umpamakan sebagai “inisiatif dari tepian”, tidak akan berlangsung optimal tanpa adanya solidaritas dari Negara—dalam hal ini pemerintah pusat—terhadap rakyatnya. Desa-desa dapat menumbuhkan inisiatif juga karena kepercayaan bahwa mereka hanya perlu melakukan ini dengan sementara, dan pemerintah akan menuntaskan hal-hal yang melampaui kemampuan mereka. Meskipun pemerintah sudah melakukan tindakan mitigasi darurat COVID-19, memberitakan update terbaru tentang pasien terjangkit COVID-19, selama ini kita melihat langkah pemerintah dalam hal kesehatan, kebijakan, dan informasi seputar COVID-19 masih nampak tidak maksimal dan tidak sinkron. Yang paling baru, misalnya, permohonan Anies Baswedan untuk menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Jakarta baru dikabulkan Kementerian Kesehatan Selasa (7/04), saat banyak orang telah pergi dari kota ini. Data pasien COVID-19 dari hari ke hari memiliki jumlah yang tak sinkron, dan aktivitas mudik oleh pemerintah pusat masih dibiarkan. Bila alasannya adalah menjaga keberlangsungan ekonomi, tampaknya tidak etis ketika melihat korban jiwa semakin berguguran setiap hari, termasuk tenaga kesehatan yang sangat dibutuhkan pada masa darurat seperti ini.
Dalam artikelnya tadi, Klein (2020) mengutip percakapan dengan salah seorang kawannya yang berkata bahwa cara untuk mengurangi penularan virus COVID-19adalah melakukan tindakan yang sangat sukar, dan sangat tidak menjamin keberlanjutan (unsustainable). Ini diinterpretasikan Klein bahwa Negara perlu melakukan hal yang ekstrim dalam singkatnya periode untuk mengajak masyarakat berkorban demi menekan laju penularan virus. Soalnya, tidak mungkin membendung orang-orang menutup bisnis dan tidak mengunjungi sanak atau keluarganya sebegitu lama. Adapun, ketika Negara berani bertindak tegas dan ekstrim, masyarakat bisa semakin mengultivasi rasa solidaritas dan kepercayaan (trust) pada otoritas publik. Tidak perlu melakukan lockdown total tanpa persiapan sebagaimana yang dilakukan oleh India, akan tetapi kita bisa mencontoh tindakan ekstrim yang pasti menggelontorkan banyak dana tapi efektif, seperti yang dilakukan Tiongkok ketika membangun tambahan fasilitas kesehatan besar-besaran demi menampung pasien yang membludak, Korea Selatan ketika melakukan test drive-thruuntuk deteksi dini virus Korona, dan semi-lockdown wilayah Singapura.
Yuval Noah Harari (2020) dalam The Financial Timesmengamini ucapan Klein (2020), bahwa ketika masyarakat percaya pada otoritas publik, juga pada fakta-fakta saintifik yang mereka utarakan, mereka akan melakukan hal-hal tepat bahkan tanpa perlu diawasi. Dan ini akan berbuah pada populasi yang digerakkan oleh motivasi yang independen dan terinformasi dengan baik, masyarakat yang lebih kuat dari populasi yang telah diatur oleh kebijakan tapi cenderung abai (ignorant population) (Harari, 2020).
Jelas, desa-desa yang dimuat dalam artikel ini bukan termasuk dalam “ignorant population” ala Harari, demikian pula, beberapa daerah (kabupaten dan kota) yang sudah menyuntikkan aneka ragam bantuan ekonomi dan kesehatan bagi mereka yang rentan. Malahan, mereka termasuk dalam populasi yang termotivasi secara mandiri dan memahami isu COVID-19 dengan baik. Solidaritas dan karsa telah mereka himpun dan salurkan, tapi hingga kapan ini bertahan, ketika negara sendiri belum melakukan resiprositas dengan menekan laju COVID-19, dan akhirnya, mengembalikan kehidupan yang “normal” secara sosio-ekonomi bagi warganya?
REFERENSI:
Arfah, Ahmad. 2020. Pemko Medan Dikritik Gegara Petugas Puskesmas Pakai Jas Hujan Gantikan APD. detikNews. https://news.detik.com/berita/d-4964516/pemko-medan-dikritik-gegara-petugas-puskesmas-pakai-jas-hujan-gantikan-apd/2(7 April 2020)
Bisnis Bali. 2020. Jaga Stok Pangan, Desa di Tabanan Fokus Produksi untuk Penuhi Kebutuhan Lokal. Bisnis Bali. http://bisnisbali.com/jaga-stok-pangan-desa-di-tabanan-fokuskan-produksi-untuk-penuhi-kebutuhan-lokal/(7 April 2020).
CNN Indonesia. 2020. Di Tengah Corona, Pemudik Masuk Wonogiri Capai 27 Ribu Orang. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200331134953-20-488684/di-tengah-corona-pemudik-masuk-wonogiri-capai-27-ribu-orang. (6 April 2020)
GOSULUT. 2020. Tenaga Medis di Puskesmas Butuh APD. Go Sulut. https://gosulut.id/post/tenaga-medis-di-puskesmas-butuh-apd(7 April 2020)
Harari, Yuval Noah. 2020. Yuval Noah Harari: the world after coronavirus. Financial Times. https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75. (7 April 2020)
Klein, Ezra. 2020. The Covid-19 question: Can social solidarity replicate faster than the virus?. Vox. https://www.vox.com/coronavirus-covid19/2020/3/17/21180645/covid-19-coronavirus-social-solidarity-epidemic-pandemic-paid-leave-health-care. (6 April 2020)
Klein, Ezra. 2020. What social solidarity demands of us in a pandemic. Vox. https://www.vox.com/podcasts/2020/4/3/21204412/coronavirus-covid-19-pandemic-social-distancing-social-solidarity-the-ezra-klein-show. (7 April 2020)
Kompas. 2020. Peringatan WHO: Bahaya Penyemprotan Disinfektan ke Tubuh Manusia. Kompas.com.https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/180000865/peringatan-who–bahaya-penyemprotan-disinfektan-ke-tubuh-manusia(7 April 2020).
Manurung, M Yusuf. 2020. Ribuan Pekerja di Jakarta Kena PHK Selama Pandemi Corona. Tempo.co.https://metro.tempo.co/read/1328262/ribuan-pekerja-di-jakarta-kena-phk-selama-pandemi-corona/full&view=ok(6 April 2020)
Persada, Syailendra. 2020. Pandemi Corona, 1.188 Perantau Sudah Mudik ke Gunungkidul. Tempo.co.https://nasional.tempo.co/read/1324514/pandemi-corona-1-188-perantau-sudah-mudik-ke-gunungkidul/full&view=ok(7 April 2020).
Pertana, Pradito Rida. 2020. Tangkal Corona, Gedung BUM Desa Bantul Disulap Jadi Karantina Pemudik. detikNews. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4962569/tangkal-corona-gedung-BUM Desa-di-bantul-disulap-jadi-karantina-pemudik(7 April 2020).
Prakoso, Taufiq Sidik. 2020. Desa Kadilanggon Klaten Siapkan 15 Rumah Isolasi Bagi Pemudik. Solo Pos. https://www.solopos.com/desa-kadilanggon-klaten-siapkan-15-rumah-isolasi-bagi-pemudik-1054949. (7 April 2020)
Somantri, Agus. 2020. Kekurangan APD, Petugas Medis di Puskesmas Gunakan Jas Hujan. https://www.galamedianews.com/daerah/252797/kekurangan-apd-petugas-medis-di-puskesmas-gunakan-jas-hujan.html.(7 April 2020)
Gusti Nur Asla Shabia (Asisten Peneliti IRE)