Hari ini, Sabtu 21 Juli 2018, sejumlah aktivis pegiat desa yang sebagian besar di antaranya adalah penggagas lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, menyelenggarakan kegiatan sarasehan “Gotong Royong Meluruskan ‘Jalan’ Desa”. Kegiatan ini merupakan udar gagasan dan berbagi cerita dari mereka yang dulu menggagas lahirnya UU Desa, para pegiat desa, mereka yang duduk di pemerintahan pusat, daerah, dan desa. Dari udar gagasan tersebut diharapkan akan terpetakan persoalan-persoalan krusial pelaksanaan UU Desa dan rumusan agenda-agenda perbaikan pelaksanaan UU Desa yang sesuai dengan mandat nilai serta semangat UU Desa.
Sarasehan ini diselenggarakan secara gotong royong oleh 9 lembaga yang selama ini memiliki perhatian serius kepada desa. Kesembilan lembaga tersebut adalah Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, Forum Pengembangan dan Pembaharuan Desa (FPPD), Sanggar Maos Tradisi, STPMD ‘APMD’, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Forum Masyarakat Sipil (Formasi) Kebumen, Asosiasi untuk Demokrasi dan Kesejahteraan Sosial (Ademos) Bojonegoro, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa), dan Jarkom Desa. Sarasehan akan dilaksanakan pada Sabtu, 21 Juli 2018 mulai jam 09.00 sampai 16.00 di Sanggar Maos Tradisi (SMT) Karanglo Baru Blok C Donoharjo, Ngaglik, Sleman.
Sejumlah nama pegiat desa dan pejabat publik akan hadir pada sarasehan, di antaranya Budiman Sujatmiko (DPR RI), Ari Dwipayana (Staf Khusus Presiden), Anwar Sanusi (Sekjen Kementerian Desa dan PDTT), dan Taufik Madjid (Dirjen PPMD Kemendesa PDTT).
Selain itu sejumlah aktivis NGO, ormas, dan akademisi juga akan hadir di antaranya Arie Sujito, Susetiawan, Sutoro Eko, Yando Zakaria, Yusuf Murtiyono, Farid Hadi, dan Sunaji. Serta dari kalangan Asosiasi Pemerintahan Desa, Pemerintahan Desa, dan Pendamping Desa dari sejumlah daerah yaitu Semarang, Kebumen, Banyumas, Pekalongan, Tasikmalaya, Sleman, Ngawi, Gunungkidul dan lain-lain.
Menurut Anwar Sanusi (Sekjen Kemendesa), kementerian desa adalah spektakuler meski masih terkait dengan transmigrasi dan daerah tertinggal dan masih berbagi dengan kemendagri serta penyaluran dana desa dikelola oleh kemenkeu. Dengan DPR juga bermitra dengan komisi yang berbeda-beda. Karena itu ke depan perlu pembenahan. Tantangan masih banyak. Pada fase kedua 2019-2014 jangan bongkar pasang kementerian. Fundamen terkait institusi sudah cukup kuat. Semakin banyak lembaga semakin semrawut, semakin banyak yang mengurus makin tak terurus.
Anwar Sanusi juga mengatakan, kementerian ingin mendapatkan contoh desa inklusif yang bisa direplikasi. UU Desa saat dilaksanaan ada 60 persen desa tertinggal. Karena itu kita membangun infrastruktur pedesaan. Kami telah melampauai capaian yang dicanangkan. Telah terealisasi lebih dari 2000 desa mandiri dan 5000 desa terentaskan dari ketertinggalan.
Ari Dwipayana menyatakan kembali tekad pemerintah membangun dari daerah pinggiran. Ini merupakan transformasi. Kita membutuhkan reform yang terlembagakan. Kerangka reform yang jelas dan kerangka kelembagaan yang terus melakukan reform. Pertama yang dilakukan adalah reformasi alokasi budget. Dulu dengan program inpres tapi tak berimbas peningkatan kesejahteraan desa. Setiap kementerian ada outlet di desa. tapi tak ada dampak pengurangan kemiskinan di desa.
“Ini pasti ada sesuatu yg salah,” kata dosen UGM itu. Bagaimana cara membenahi? Caranya adalah konsolidasi anggaran. Solusi dengan membuat program yang mempunyai dampak terhadap masyarakat miskin. Fokus untuk 40% terbawah. Dari BPS ada laporan terbaru angka kemiskina turun dari dobel digit. Namun, meski kemiskinan di desa turun tetapi muncul ketimpangan. Ada 20% warga desa cepat naik, sementara 40% warga desa terbawah sangat lambat.
Ari juga menggarisbawahi tentang program reformasi agraria dan redistribusi aset yang menjadi isu penting. Keduanya bisa bermanfaat untuk desa. Akses terhadap permodalan juga didorong. Misalnya bank wakaf mikro. Ke depa sumber daya manusia di desa harus ditingkatkan. Bagaimana mengedukasi warga desa memperjuangkan haknya.
Budiman Sudjatmiko (DPR RI) Menegaskan bahwa UU Desa bisa jadi karena hebatnya jejaring sosial. Jika sebelum ada UU Desa dulu perdebatannya antara kemiskinan struktural atau kultural. Kini tak ada lagi karena UU Desa bisa menjawabnya. Namun, tak semua orang siap menerima UU Desa.
Mantan Wakil Ketua Pansus RUU Desa itu menambahkan ada tiga entitas yaitu Negara, korporasi dan Komunitas. “Negara itu pendekatannya formalis. Sehingga yang terjadi high cost low impact. Korporasi, pendekatannya cost efisiency. Sementara komunitas: low cost high impact,” jelas Budiman. UU Desa bisa terwujud karena dengan dua pendekatan yaitu kedua dan ketiga. Pendekatan ini memadukan teori mesin pertumbuhan dan pemerataan.
Kepada pegiat desa Budiman mengajak untuk lebih meningkatkan tak sekadar menggunakan jejaring sosial. “Jejaring social mungkin sudah banyak dan besar. Namun kurang efektif. Cara mengefektufkan adalah dengan menjadi pemegang tanda tangan / kuasa. Mari menjadi anggota DPR/DPRD, pejabat publik sampai kepala desa,” kata bakal caleg PDI Perjuangan untuk dapil Ngawi, Magetan dan Pacitan ini. Bagi Budiman, UU Desa bukan sekadar pemberdayaan tapi pemberkuasaan rakyat. To put good people in power. To put progresive people to power. UU Desa adalah Game changer.
Arie Sudjito ( Pengasuh SMT), menegaskan Menteri Desa (saat ini) itu tidak mengerti UU Desa. Menteri terlalu korporatif. Kegiatan sarasehan Gotongroyong meluruskan desa ini mengingatkan bahwa desa tak hanya problem masalah administrasi. Kita butuh kepala-kepala desa progresif. Kepala desa tak harus Roh di balik angka.Karena itu desa harus didampingi orang desa sendiri. Selama ini bottle neck UU Desa itu kabupaten. Ari Djito juga mencatat bahwa UU Desa jauh lebih baik dari PNPM. Dirinya juga melihat Presiden Jokowi mempunyai Nawacita tetapi birokrasi kurang ke arah sana.
Sutoro Eko (STPMD ‘APMD’) mencatat keberhasilan desa di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah itu karena ada dua kata kunci: konsolidasi dan negosiasi. UU Desa merupakan kemenangan sementara atas kolonialisasi. Sebelum ada UU Desa Pangrehprojo dulu berkuasa lebih sekarang mengatur lebih. Ke depan, gotongroyong harus dimaknai sebagai konsolidasi untuk merebut akses dan asset demi kepentingan desa. Warga desa harus diradikalisasi. Radikal untuk merebut aset. Terkait banyaknya regulasi tentang desa, Sutoro Eko mengatakan, semakin banyak regulasi makin banyak jebakan. Karena itu, sekarang yang dilakukan di desa adalah resisten. Mereka “Nggih nggih nggak kepanggih”. Sarasehan ini mengingatkan untuk menguatkan lagi konsolidasi dan negoisasi.
Tri Agus SS
(Dosen STPMD APMD)