Desa Hijau
Wacana tentang pembangunan desa dalam kerangka Undang-Undang No. 6 / 2014 tentang Desa (UU Desa) bukan hanya diarahkan pada filosofi, makna, rancangan, strategi, dan pelaksanaan desa membangun sebagai konsep penting dalam rangka mengembalikan kedaulatan desa. Di luar wacana tersebut, tetapi juga penting adalah wacana desa hijau (green village), yaitu desa yang memiliki kualitas ekologi atau lingkungan hidup yang berkelanjutan. Tanpa adanya desa hijau, maka agenda desa membangun akan gagal. Banjir, kekeringan, erosi dan tanah longsor, pencemaran lingkungan, eksploitasi berlebih atas sumberdaya alam (SDA) dan degradasi lingkungan terus berlangsung semakin parah. Kerusakan lingkungan tersebut akan berakibat pada meningkatnya kerentanan ekonomi, kesehatan, dan konflik sosial. Desa hijau akan membuat SDA lestari, dan dipakai secara arif dan bijaksana untuk kesejahteraan warganya secara adil dan merata.
Jauh sebelum meluasnya pengaruh negara, dan bahkan juga modernisasi, desa di Nusantara merupakan republik kecil (a little republic) yang mampu menyediakan dan mengelola SDA untuk kesejahteraan warganya. Desa menjaga keseimbangan ekologis dengan menegakkan hukum adat, pranata sosial dan kearifan lokal agar SDA itu bisa dinikmati warganya dari generasi ke generasi tanpa mengalami degradasi. Dengan konsep desa hijau seperti itu dan tanpa bergantung pada hadirnya negara, desa bisa mencukupi kebutuhan warganya seperti papan, sandang, air dan energi.
Namun demikian, penyelenggaraan negara dan modernisasi justru mengancam kelestarian dan kemandirian desa dalam memenuhi kebutuhan warganya. Negara dan swasta mengambil kekayaan desa seperti tanah, hutan, tambang, dan memperkenalkan revolusi hijau yang memperburuk ekologi desa, menjadikan desa sebagai objek pembangunan untuk mendukung industrialisasi. Negara kemudian semakin terpengaruh oleh neoliberalisasi yang kemudian masuk ke dalam sendi kehidupan di desa, justeru ketika era reformasi, desentralisasi dan otonomi desa bergulir. Akibatnya, desa bukan menjadi dalam kondisi kaya dan sejahtera. Memang banyak desa kemudian memiliki wajah seperti kota tetapi sumber penghidupan desa telah rusak parah. Desa bukan lagi menjadi produsen, tetapi justeru pengimpor pangan, dan bahan papan. Kemiskinan menggejala di desa, dan kaum miskin dianggap sebagai biang keladinya. Desa tidak berdaya menghadapi kerusakan lingkungan dan bergantung dari negara dan pasar untuk mengatasinya melalui program-program reboisasi, rehabilitasi tanah kritis, pemberdayaan perambah hutan dan menangulangan bencana alam.
Kedepan, desa seharusnya mampu mejadi solusi atas masalah lingkungan. Memasuki era reformasi, masyarakat desa dan masyarakat hukum adat mendapat kesempatan untuk menghidupkan hak-hak tradisionalnya, yaitu menguasai SDA desa. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 6 / 2014 tentang Desa (UU Desa), semua pihak perlu mengusung agenda desa hijau. Mereka seharusnya melakukan berbagai advokasi kebijakan agar desa memiliki hak penuh atas SDA. Sementara itu, desa juga memiliki agenda untuk melestarikan dan mengembangkan SDA untuk kemandirian, pemberdayaan masyarakat guna mewujudkan kesejateraan dan keadilan sosial.
Dr Bambang Hudayana
Dewan Redaksi Flamma dan Dosen FIB UGM
Sejauh mana UU desa di pahami oleh pemerintah daerah dan desa itu sendiri, selain hanya mengejar dana add yang cukup besar bagi desa.