Pada bulan Desember 2015 nanti untuk pertama kalinya di Indonesia digelar pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau yang sering disebut pilkada atau pemilukada secara serentak. Banyak orang bermimpi dengan dilaksanakannya pilkada serentak, ke depan nanti kualitas demokrasi akan menjadi semakin baik.
Dari sisi penyelenggaraan terutama efisiensi anggaran, berangkali memang benar mimpi tersebut. Namun, yang mesti diingat, persoalan demokrasi di Indonesia bukan semata-mata mengkait dengan penyelenggaraan pemilu. Kita memiliki problem representasi sangat serius. Kita juga memiliki problem komunikasi yang tidak pernah nyambung antara mereka yang berada di parlemen dengan suara-suara yang diteriakkan dari pinggir-pinggir jalan, dari hutan-hutan yang telah gundul, dari sawah-sawah yang makin tergusur, dari pelosok-pelosok desa, dan dari keluh kesah kaum papa. Pendek kata, demokrasi kita tengah menghadapi tantangan sangat kompleks yang cara menyembuhkannya tidak mungkin hanya dengan resep pilkada serentak saja.
Menjelang pelaksanaan pilkada serentak, Flamma Review edisi kali ini hadir dengan judul Membaca Prasangka Miring Pilkada Serentak. Judul tersebut kami angkat sebagai semacam “peringatan” kepada siapapun yang terlalu optimis terhadap pilkada serentak. Menjadi semacam peringatan bahwa untuk melaksanakan pilkada serentak yang baik ada beberapa persoalan yang mesti dihadapi dan diantisipasi.
Dari sisi penyelenggara misalnya, pilkada serentak tidak akan memberikan makna ketika para penyelenggara pemilu tidak memiliki integritas kuat dalam meneguhkan independensi mereka. Dari sisi pemilih, partisipasi tetaplah menjadi kata kunci. Partisipasi yang dimaksud di sini tentu tidak hanya datang berbondong-bondong ke bilik suara pada hari pencoblosan saja, lebih dari itu partisipasi yang dimaksud adalah ikut menjaga dan ikut bertanggungjawab sehingga kompetisi antarcalon bisa berlangsung secara adil.
Nah, pada titik dimana masyarakat harus didorong lebih berdaya, kita biasanya baru menyadari bahwa PR pembangunan demokrasi masih panjang dan membutuhkan dialog yang berlangsung secara terus menerus.