Lompat ke konten

Flamma Edisi 39 : Mempertegas Representasi di Kamar Kedua

  • oleh
Flamma Edisi 39 : Mempertegas Representasi di Kamar Kedua

Kemunculan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI pasca reformasi menegaskan bahwa sistem parlemen Indonesia berwajah dua kamar atau bicameralism. Dengan begitu, lembaga representasi DPR RI dianggap sebagai kamar kesatu, sedangkan DPD RI adalah kamar kedua. Bagaimana peran, fungsi dan kewenangan kamar kedua di dalam sistem parlemen bicameralism? Jika menengok praktik di negara-negara yang menerapkan bicameralism parliament, maka kita menemukan kamar kedua ini berperan, berfungsi dan memiliki kewenangan yang tegas dan kuat (strong bicameralism). Negara-negara federal seperti Amerika, Australia dan Brasil dicatat oleh hasil penelitian IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) sebagai pelaksana strong bicameralism, pun demikian halnya dengan negara kesatuan seperti Jepang, Belanda dan Filipina. Memang tidak semua negara melaksanakan strong bicameralism, karena negara-negara seperti Austria, Inggris, India adalah contoh soft bicameralism, (Siti Nurbaya Bakar, 2012).
Bagaimana di Indonesia? Konstitusi memberikan mandat kepada DPD RI, Pasal 22C dan 22D, agar lembaga ini  berperan dalam proses legislasi di parlemen Indonesia. Namun mandat ini ternyata tidak seutuhnya dipatuhi oleh para legal drafter UU No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Regulasi ini materi muatannya membatasi kedudukan, peran dan fungsi DPD dalam proses legislasi. Alih-alih memberikan norma yang menjamin dan melindungi konstitusional kewenangan DPD RI, regulasi ini justru berpunggungan dengan konstitusi. Putusan MK RI Nomor 92/PUU-X/2012 menjadi bukti bahwa beberapa norma dalam regulasi MD3 secara sah dan nyata bertentangan dengan Pasal 22C dan 22D UUD 1945.
Amar putusan MK ini mempertegas bahwa di dalam sistem parlemen Indonesia terdiri dari dua kamar. Kamar kedua yang dihuni DPD RI secara konstitusional memiliki kedudukan yang sama dengan DPR yang menghuni kamar pertama dalam proses legislasi nasional. Dalam pengertian ini berarti kedudukan DPD RI terhadap proses legislasi sama dan setara dengan Presiden. Mandat konstitusional DPD RI adalah berwenang mengusulkan, membahas dan mengawasi pelaksanaan undang-undang yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Meskipun konstitusi tidak memandatkan DPD RI untuk turut memutuskan dan menetapkan RUU tertentu tadi, peran dan fungsi representasi melalui kamar kedua menjadi lebih jelas dan tegas.
Bagaimana representasi akan dimainkan oleh DPD RI pasca putusan MK? Kalangan DPD RI yang pada medio Mei 2012 mendeklarasikan dirinya sebagai senator (anggota DPD RI) yang duduk di senat, sampai saat ini belum diketahui terobosannya. Artinya, penegasan kembali marwah DPD RI oleh putusan MK RI belum ditindaklanjuti secara nyata. Hasil penelitian IRE terkait dengan representasi anggota DPD RI di Propinsi DIY dan Kalimantan Timur, mengkonfirmasi masa suram kedudukan mereka dalam parlemen Indonesia. Meskipun demikian, para senator nampaknya berusaha memainkan peran representasi di daerah pemilihan. Paa senator dari DIY lumayan berkeringat dalam mengawal RUU Keistimewaan Yogyakarta. Meskipun dimarginalisasikan dalam pembahasan, pengesahan dan penetapan RUU tersebut,  keempat senator nampak memiliki catatan yang rapi atas kontribusi mereka selama proses berlangsung. Hal yang sama dirasakan pula oleh senator asal Kaltim, pada saat mereka menjadi bagian dari masyarakat Kaltim yang mengajukan judicial review beberapa pasal dalam UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Sayang sekali tapak representasi para senator di kedua Dapil ini bertepuk sebelah tangan dengan kedudukan dan kewenangan DPD RI dalam legislasi di parlemen pada saat itu. Sekarang, ketika penegasan kembali kamar kedua dalam sistem parlemen Indonesia diberikan MKRI, representasi di dapil semestinya semakin menggelora. Temuan penelitian IRE memberikan sinyal redup atas gelora representasi para senator. Popularitas senator bermasalah di tengah masyarakat, terlebih popularitas senator asal Kaltim. Bagaimana representasi akan berlangsung jika tidak kenal antara yang diwakili dan yang mewakili?
Merujuk pikiran Hanna Pitkin (1967), representasi adalah kehadiran secara literal maupun non literal para wakil terhadap yang diwakilinya. Popularitas dengan demikian menjadi prasyarat pokok, kemudian diikuti oleh adanya interaksi fisik/langsung maupun tidak langsung/gagasan. Representasi yang didambakan menggelora di kamar kedua parlemen, tentu tidak sekedar tontonan simbol-simbol atribusi kelompok maupun teritorial (representasi simbolik dan deskriptif), tetapi harus melampaui keduanya berupa orkenstrasi gagasan yang artikulatif karena proses agregasi dari setiap daerah (representasi subtantif). Let’s guard. ***
Sunaji Zamroni

Peneliti IRE

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.