
Di tengah dinamika perubahan yang berlangsung, terjadi pula pergeseran peran dan fungsi institusi sosial di masyarakat, yakni ada yang mengalami defisit makna dan involusi tindakan dan ada pula yang masih bertahan dalam keterbatasan. Institusi sosial mengalami defisit makna ketika mulai terjadi ketimpangan relasi kuasa antar warga dengan elitnya. Para elit mendominasi wacana dan pemaknaan dan merepresentasi diri tanpa menghadirkan suara-aspirasi warga. Hal semacam ini marak, khususnya saat berlangsung momen pemilukada. Para elite mempolitisasi eksistensi institusi lokal untuk memoblisasi dukungan warga.
Dalam konteks ini, sebagaimana dinyatakan Robert Putnam, para elite mendorong solidaritas eksklusif yang mengikat warga ke dalam dukungan politik sempit dibandingkan dengan solidaritas inklusif yang saling menjembatani hubungan antar warga yang melintas batas sosial. Pertemuan sekerabat (trah) kini kerap digunakan untuk melegitimasi dukungan politik. Ketika terjadi konflik politik antar trah para elite lokal, konfliknya juga meluas dan mempengaruhi masyarakat. Kondisi semacam yang membuat institusi sosial mengalami involusi makna dan fungsi.
Di sisi lain, masih terdapat institusi sosial yang eksistensinya masih berperan dalam mengayomi kehidupan harmoni warga. Tradisi saling berbagi, merawat jaringan melalui silaturahmi, khususnya di kalangan warga pedesaan di saat mengalami ketidakberuntungan nasib manjadi modal sosial dalam merawat ikatan berkomunitas. Meskipun di tengah himpitan ekonomi dalam masyarakat pedesaan, kultur komunalitas dalam ikatan komunitas sebagaimana dalam anjangsana (kunjungan) sripahan (kematian), pernikahan dan lainnya yang kini mulai didasarkan tidak sekadar kehadiran-fisik, juga ikatan sumbangan dalam bentuk uang (moneter). Realitas semacam ini kerapkali menghimpit keluarga miskin yang ingin tetap eksis melangsungkan pola hubungan berkomunitas. Utang-piutang untuk memenuhi tradisi semacam ini kerapkali kita dengar dan saksikan di masyarakat.
Problemnya memang seringkali karena tidak adanya keterhubungan yang saling menopang antara institusi sosial, institusi ekonomi dan institusi politik dalam mengkerangkai secara utuh dalam memberdayakan warga, khususnya keluarga miskin di pedesaan. Kebijakan pemerintah yang makin berorientasi pasar, perilaku sosial yang makin konsumtif kerapkali menciptakan kesejangan sosial di tengah masyarakat.
Dalam konteks inilah sangat diperlukan adanya penyegaran peran dan fungsi institusi sosial sebagai penyanggah sosial, sekaligus penyangga ekonomi dan politik yang memberdayakan komunitas warga miskin. Institusi sosial haruslah berupaya agar tetap menjadi modal sosial untuk menggalakkan solidaritas yang produktif, partisipatif dan efisien melalui tindakan yang terkoordinasi secara baik.
Dalam membuat kebijakan untuk si miskin, sebaiknya pula pemerintah memperhatikan dinamika warga dalam konteks berelasi dengan institusi sosialnya. Pemerintah sangat perlu memperhatikan kultur, spirit dan sistem jaringan warga dalam pranata sosial, ekonomi dan politik dalam suatu kawasan. Kisah sukses kebijakan pembangunan dapat bermula, jika pemerintah dapat melakukan hubungan timbal balik yang positif dengan masyarakat sipil dalam mengembangkan institusi sosial, ekonomi, politik yang produktif, partisipatif dan berorientasi pada pemberdayaan untuk si miskin secara integratif. Dalam konteks inilah perlu adanya penyegaran terhadap peran dan fungsi institusi sosial yang berjalalan secara lebih produktif guna mengatasi praktek involusi yang berlangsung pula.
Abdur Rozaki