Lompat ke konten

Flamma 33: Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan

  • oleh
Flamma 33: Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan

Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan

Penanggulangan kemiskinan seolah menjadi tema abadi pembangun-an di Indonesia maupun negara dunia ketiga lainnya. Dalam Laporan Perkembang-an Pencapaian Millennium Development Goals Indonesia 2007 dikisahkan, betapa penanggulangan kemiskinan selalu menjadi program rezim yang berkuasa. Di era pemerintahan Soekarno, lahir dokumen perencanaan pembangunan yang diberi nama Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 dan Pokok-pokok Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahun 1961-1969. Merujuk dokumen Biro Perancang Negara 1956, pembangunan nasional 1956-1960 diorientasikan pada peningkatan pendapatan nasional yang membentuk kemakmuran rakyat Indonesia (Bapenas, 2007). Berbagai kebijakan—dengan perhatian khusus pada bidang pendidikan, kesehatan, dan perumahan—dibuat dan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan pendapatan keluarga secara mandiri.
Lima tahun berikutnya yakni 1961-1969 (Depernas RI, 1961:Bab 8), demikian laporan ini, fokus pembangunan adalah meningkatkan pendapatan nasional dan perseorangan. Sementara, untuk mening-katkan kualitas penduduk, pemerintah menempuh pembangunan kemasyara-katan, pendidikan, dan kesejahteraan. Kebijakan ini dituangkan dalam dokumen Pembangunan Nasional Semesta Berentjana Delapan Tahun (Penasbede, tahun 1961-1969). Akan tetapi, kemelut politik 1965 mengaborsi program-program tersebut.
Di rezim berikutnya, melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), Orde Baru sejak dekade 1970-an kembali menggulirkan berbagai program peningkatan kesejahteraan  di bidang pendidikan, kesehatan perorangan, kesehatan reproduksi, dan penanggulangan kemiskin-an (Bapenas 2007:4). Program-program tersebut dilaksanakan di Repelita I-IV baik berbasis program sektoral maupun regional. Selanjutnya, di Repelita V-VI, Orde Baru fokus untuk mengatasi kesen-jangan sosial dan ekonomi. Rute yang dipilih adalah menyinergikan program reguler sektoral dan regional. Namun, se-perti 1965, Repelita V-VI ini pun terhenti tatkala Indonesia diterpa krisis ekonomi dan politik 1997.
Memasuki iklim demokrasi, program penanggulangan kemiskinan di awal reformasi erat dengan upaya penanggulangan krisis. Kala itu lahir kebijakan Jaring Pengaman Sosial sebagai peredam kejut dampak krisis ekonomi sekaligus kompensasi atas dicabutnya subsidi tertentu—sebagai bagian dari penerapan structural adjustmen program. Kebijakan JPS mencakup antara lain JPS bidang pendidikan, kesehatan, dan pembangun-an daerah sebagai upaya penanggulang-an kemiskinan. Umumnya, pendanaan program-program ini berasal dari hutang luar negeri.
Misalnya saja, program di bidang ke rintah mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial-Bidang Kesehatan (JPS-BK). Kemudian atas berkurangnya daya beli masyarakat miskin atas pelayanan kesehatan akibat kenaikan BBM, peme-rintah mengeluarkan Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan/PDPSEBK (1997) dan program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar/PKSBBM (2001). Beberapa program tersebut kemudian berlanjut. Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK-Gakin) tahun 2003-2004, misalnya, dananya berasal dari PKPS-BBM.
Baru setelah pemilu kedua era reformasi, pemerintah menerbitkan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Setiap tahun, RPJMN dijabarkan melalui Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Melalui dokumen-dokumen itu pula, termasuk didalamnya dokumen SNPK, pemerintah berupaya mengarus-utamakan penanggulangan kemiskinan. Hal itu merupakan komitmen Indonesia terhadap Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 55/2 tanggal 18 September 2000 Tentang Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia menjadi bagian dari 189 nega-ra anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PB) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KT) Milenium PB bulan September 2000 silam.
Kini pemerintah di berbagai level, baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota memiliki beragam program penanggulangan kemiskinan. Orientasinya ada tiga: pro poor, pro jobs dan pro growth. Pemerintah pusat menjalankan program PNPM Mandiri yang diguna-kan sebagai program induk, BLT, sekolah gratis, ASKES-KIN, ketahanan pangan, kredit UMKM, akselerasi desa tertinggal, infrastruktur perdesaan, dan sebagainya. Guna menjamin sinergi antar kementerian, antar sektor, antar program pemerintah membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK).
Pengarus-utamaan penanggulangan kemiskinan juga didesakkan melalui skema desentralisasi. Baik dari sisi perencanaan dan penganggaran daerah, maupun dari sisi kelembagaan yakni dengan pembentukan TKPK daerah. TKPKD dikonsepsikan sebagai wadah bersama (integrasi) program-program penanggulang-an kemiskinan yang dijalankan SPKD. Program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan daerah sangat beragam: jaminan kesehatan (provinsi maupun kabupaten/kota), pendidikan dan kesehatan gratis, kredit usaha tani, infrastruktur perdesaan, ekonomi kerakyatan, ketahan-an pangan, dan sebagainya.
Pertanyaannya, apakah aksi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah, de-ngan program nyaris di semua sektor, bisa menanggulangi kemiskinan?

***
Salah satu program yang menjadi ”jualan” SBY-Boediono saat kampanye 2009 lalu adalah PNPM Mandiri. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini lahir 30 Juli 2007. PNPM ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi masya-rakat. Program ini dijalankan oleh Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) dan diketuai oleh Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat.
PNPM Mandiri terdiri dua komponen program. Pertama, PNPM inti yang meliputi program/kegiatan pemberdayaan masyarakat berbasis kewilayahan. Masuk dalam ketegori ini adalah Program Pe-ngembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Pengembangan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Wilayah (PISEW), dan Percepatan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK).
Kedua, PNPM Pendukung, yang terdiri dari program pemberdayaan masyarakat yang berbasis sektoral, kewilayahan, dan khusus untuk mendukung penangulangan kemiskinan yang pelaksanaannya terkait pencapaian target tertentu. Pelak-sanaannya di tingkat komunitas mengacu pada kerangka PNPM Mandiri (TKPK, 2009).
Kedua komponen program ini berasal dari perpaduan program pemberdayaan masyarakat yang terdapat di semua departemen dan kementerian. Akan tetapi, perpaduan antar departemen dan antar kementerian ini belum selesai. Hingga tahun 2009, hanya 17 kementerian dan departemen yang menyatukan program pemberdayaan masyarakat dalam PNPM. Sedangkan program dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kehutanan belum masuk.
Agar PNPM sukses, diperlukan kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, beberapa pemda ternyata menolak PNPM. Pasalnya, PNPM dinilai mengan-dung semangat sentralisasi. Tak sedikit pemerintah daerah yang menilai pemerintah pusat sentralistik dalam merumuskan PNPM. Seperti Pemerintah Kota Surabaya, salah satu dari sepuluh pemda yang menolak PNPM.
Ketika ditemui oleh wartawan Radar Surabaya, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Tri Rismaharini mengatakan, ia menyesalkan perumusan prioritas program PNPM tidak melibatkan pemda. Padahal, justru pemda yang lebih paham masalah kemiskinan. Karena menilai PNPM tidak memiliki semangat desentralisasi, Pemkot Surabaya memilih menolak PNPM.
Selain itu, daerah keberatan dengan pola pendanaan PNPM yang berbentuk Dana Urusan Bersama (DUB) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.168/PMK 07/2009. Peraturan itu dianggap telah bertentangan dengan Permendagri No 32/2008 tentang penyusunan APBD 2009. “Jadi kita tidak menolak. Program itu silahkan jalan, tapi kita tidak bisa memberikan (dana DUB) karena itu melanggar aturan,” tutur Tri Rismaharini sebagai wujud penolakan secara halus.
PNPM Mandiri pun dianggap sangat rentan dengan penyimpangan. Rismaharini mencontohkan program Kelompok Usaha Bersama (KUBe) di Kelurahan Rangkah, Tambaksari yang bernilai Rp 300 juta. Karena diduga terjadi penye-lewengan dana kasus itu kini ditangani oleh pihak Kejaksaan.

 

Pemda yang menolak PNPM, yakni Kota Semarang (Jateng), Kota Ambon (Maluku), Kota Mojokerto (Jatim), Kabupaten Deli Serdang (Sumut), Kota Medan (Sumut), Kota Tegal (Jateng), Kabupaten Sidoarjo (Jatim), Kabupaten Rokan Hilir (Riau), dan Kabupaten Kepulauan Sula (Maluku Utara).
Selain senada dengan alasan Pemkot Surabaya, banyak daerah yang menilai, PNPM sangat bermuatan politik, terutama kala itu jelang Pemilu Presiden 2009. Ketidakjelasan landasan hukum juga menjadi keberatan sejumlah pemda. Hal ini makin menguatkan pendapat pakar ekonomi UGM Awan Santoso, bahwa program penanggulangan kemiskinan di Indonesia hanya karikatif, ad hoc (sementara), dan sentralistik.
Pendapat berbeda muncul dari pengamat desentralisasi dan otonomi daerah Sutoro Eko. Menurut Sutoro, program ini sangat membantu menambahkan modal daerah dalam menjalankan program penanggulangan kemiskinan. Menurut Sutoro, daerah yang kreatif akan berupaya menyesuaikan programnya dengan program dari pusat, sehingga terjadi sinkronisasi program. ”Ini adalah keberkahan dan kesenangan tersendiri bagi daerah,” tutur Dosen ”STPMD” APMD Yogyakarta ini.
Lain halnya dengan daerah-daerah baru hasil pemekaran. Program PNPM, demikian Sutoro, akan membuat daerah tersebut makin lemah karena mereka masih miskin kreasi, khususnya dalam memanfaatkan peluang dari pusat untuk membangun dan menyejahterakan rak-yatnya.
”Saya termasuk orang yang tidak setuju terhadap pemekaran-pemekaran daerah. Karena skala ekonominya kecil dan kapasitas pemerintah daerah lemah. Kalaupun di daerah baru memiliki sumber kekayaan yang cukup memadai, karena kemampuan yang terbatas sehingga belum memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat. Sekitar 80 persen daerah baru adalah daerah tertinggal atau miskin,” tutur Sutoro.
Akan tetapi, Sutoro tidak memandang PNPM tanpa cacat. Baginya, PNPM tidak disertai spirit pemberdayaan. Idealnya, masyarakat sendiri yang mengenal potensi lokal mereka. Potensi tersebut kemudian dijadikan sebagai basis hidup mandiri. Nah, peran pemerintah adalah mengawal jalannya proses tersebut.
Jika PNPM melalui Bantuan Lang-sung Masyarakat (BLM), langsung memberikan dana segar pada masing-masing kelompok, maka tak jarang kelompok justru keliru didalam menggunakan dana tersebut. Bisa jadi karena memang kelompok tidak tahu apa kegunaan dana tersebut. Terlebih masyarakat di daerah pemekaran baru yang memiliki keterbatasan kualitas SDM.
***
Dari kasus PNPM di atas, kiranya bisa ditarik sejumlah poin penting. Persoalan koordinasi dan sinkronisasi tampaknya menjadi momok yang menjengkelkan. Merujuk pendefinisian Gabungan Antipemiskinan Rakyat Indonesia (GAPRI), sebuah aliansi NGO yang fokus pada advokasi kebijakan penanggulangan pemiskinan-kemiskinan, istilah koordinasi merujuk pada upaya sinergi antar orang, agensi, atau lembaga. Sementara sinkron-isasi adalah upaya untuk menyelaraskan program-program. Bila di pusat antar departemen dan antar kementerian sulit berkoordinasi dan programnya sukar disinkronkan, maka di level daerah levelnya adalah SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Bahkan, boleh jadi antar SKPD, atau SKPD dengan badan pusat yang ada di daerah semisal BPS, berbeda data tentang jumlah penduduk dan persentase yang miskin, pendekatan dan program penanggulangan kemiskin-an, dan sebagainya yang menyebabkan saling tidak sambungnya kebijakan dan program antar sektor.
Upaya melembagakan koordinasi antar pihak dan sinkronisasi antar program bukannya tidak pernah dilakukan. Pada saat pemerintahan Gus Dur, dibentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK). Di era Megawati, pemerintah memngganti BKPK dengn Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Di era Presiden SBY, KPK berubah menjadi Tim Koordinasi Penanggulang-an Kemiskinan (TKPK). Riset SMERU (2007:4) menemukan bahwa perubahan KPKD menjadi TKPK daerah dinilai pemda sebagai kemubaziran, membi-ngungkan, dan merepotkan. Dalam ke-simpulannya, riset SMERU (2007:9) menyatakan, “Hambatan pengoptimalan kinerja kelembagaan TKPK daerah di antaranya bersumber dari sifat organisasi yang cenderung eksklusif, sifat egosektoral instansi pemerintah yang mempersulit upaya koordinasi, dan keterbatasan dana.”
Sementara itu, dalam analisis GAPRI (2008), ada empat persoalan terkait kelembagaan TKPK dan TKPKD. Pertama, perihal sosialisasi akan pentingnya TKPKD. GAPRI mencatat, sejak 2005 hingga 2008, hanya 350 dari 440 kabupaten yang memiliki TKPKD. Dan dari 350 kabupaten yang telah memiliki TKPKD, demikian data GAPRI, hanya 115 kabupaten yang memiliki dokumen SPKD (Strategi Penanggulangan Kemiskin-an Daerah). Kedua, fungsi koordinasi baik TKPK maupun TKPKD lemah lantaran masih kuatnya ego jabatan atau eselonisasi. Ketiga, porsi keterlibatan elemen masyarakat sipil dalam TKPK/TKPKD lebih kecil dibanding unsur pemerintah. Analisis GAPRI menengarai pemerintah dominan karena pendanaan TKPK/TKPKD berasal dari pemerintah. Fakta ini berakibat lemahnya kontrol publik terhadap efektivitas fungsi dan kinerja TKPK/TKPKD. Keempat, pendanaan TKPK/TKPKD misterius sebab ternyata tidak ada dana khusus dari APBN maupun APBD.
Yang menarik, problem koordinasi antar pihak dan sinergi antar program tidak hanya terjadi di internal pemerintah saja. Selama ini, antara pemerintah, swasta, dan masyarakat juga belum padu. Padahal, bila pemerintah dengan APBN/APBD-nya, kemudian swasta dengan CSR-nya, dan masyarakat dengan modal sosialnya bisa berkolaborasi, maka agenda penanggulangan kemiskinan niscaya mencapai hasil yang lebih optimal. Temuan riset IRE di Kabupaten Bandung menunjukkan, melalui pendekatan kultural-keagamaan, berbasis potensi lokal, dan modal material yang minimal, Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Potensi Umat berhasil mengangkat kesejahteraan komunitas.
Selain itu, persoalan yang membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan di daerah bersilang-sengkarut adalah perihal konten program. Merujuk analisis GAPRI, SNPK dan SPKD masih lemah menyangkut substansi dan dasar legalnya. Dari sisi substansi, SNPK dinilai baik karena paradigma pendekatan berbasis pemenuhan hak-hak dasar sudah diadopsi. Meski begitu, GAPRI menilai antara SNPK dengan rencana aksinya masih konsisten. Inkonsistensi bisa jadi karena tergesa-gesa atau belum paham paradigmanya. Kelemahan lain rencana aksi SNPK adalah indikator yang masih umum. Alhasil, selain sukar diimplementasikan, rencana aksi itu juga sulit dikonversi ke nominal pembiayaan.
Masalah berikutnya berkaitan dengan landasan hukum SNPK. Meskipun Perpres 54/2005 telah mengamanatkan penyusunan SNPK dan SPKD, tapi daerah merasa regulasi tersebut belum cukup menggaransi legalitas pengadopsian prinsip pemenuhan hak di setiap program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan oleh departemen sektoral pusat maupun dinas-dinas daerah. Satu pihak sepakat jika TKPKD patuh pada Perpres 54 itu. Tapi nyatanya, di daerah, SKPD tidak diintegrasikan ke dalam beberapa proses perencanaan. Karena itu, GAPRI menilai harus ada perbaikan atau revisi untuk memperkuat basis hukum dari SNPK.
Yang tak boleh dilupakan adalah soal anggaran untuk penanggulangan kemis-kinan. Untuk kepentingan mendulang popularitas dan mencengkramkan citra populis, banyak daerah mengklaim telah memenuhi anggaran 20 persen pendidik-an tapi faktanya kerap menipu. Analisis IRE terhadap APBD semisal Kebumen dan Bantul, menemukan modus di mana porsi anggaran yang besar terhadap sektor pendidikan misalnya, masih banyak didominasi belanja yang manfaatnya dirasakan birokrasi.
***
Tak kunjung beresnya penanggulang-an kemiskinan boleh dibilang menjadi bukti ketidakseriusan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan. Keresahan ini pula yang dialami Guru Besar Ekonomika dan Bisnis UGM Mudrajad Kuncoro (Investor Daily 19/5/2008). Ia menga-takan, era reformasi dan demokratisasi selama sepuluh tahun ini belum mampu mengubah kualitas hidup masyarakat Indonesia. Kemajuan hanya dalam hal pemilihan langsung dari presiden sampai bupati/walikota dan kebebasan berpendapat melalui demonstrasi yang ba-nyak dilakukan elemen masyarakat.
Kemiskinan, demikian Mudrajat, tak melulu disebabkan nihilnya perbaikan distribusi pendapatan. Pertama, pembangunan di daerah sangat tergantung dengan subsidi dari pusat. Kedua, alokasi APBD di banyak daerah lebih diperuntukkan untuk belanja aparatur pemerin-tahan dari pada belanja publik. Ketiga, pembangunan di daerah selalu memiliki pola berbeda dengan pemerintah pusat akibat dari perbedaan potensi, masalah, sumber pertumbuhan ekonomi, dan alokasi belanja APBD. Keempat, program penanggulangan kemiskinan terbukti belum mengurangi jumlah penduduk miskin secara substansial.
Sementara itu, pakar Ekonomi Kerak-yatan UGM Awan Santoso mengatakan, program penanggulangan kemiskinan yang dirancang pemerintah mengan-dung sederet kelemahan. Selain karitatif, bersifat ad hoc, dan sentralistik, program-program pemerintah juga bersumber dari hutang luar negeri. Bila hal itu berlarut, demikian Awan, maka jangan berharap kemiskinan bisa diatasi.
Awan mengartikan karitatif karena program-program yang ada berasal dari pemikiran para pakar dan bukan berdasarkan kondisi riil sosial masyarakat. Penanggulangan kemiskinan bersifat ad hoc sebab program ini dipandang sekadar projek yang harus dikerjakan, bukan seba-gai kewajiban negara. Sementara itu, sifat sentralistik dapat kita temukan semisal pada program PNPM mandiri, di mana desain PNPM berlaku sama di seluruh wilayah Indonesia. “Dari Sabang sampai Merauke diterapkan PNPM Mandiri inilah bentuk sentralistiknya” tegas Awan.
Penyebab lain yang tak kalah pen-ting, bagi Awan, adalah hutang. Besarnya cicilan berikut bunga hutang menyebabkan persentase anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat berkurang. “Ibaratkan sumberdaya nasional kita 100 persen. Hanya 10-15 per-sen energi kita untuk penanggulangan kemiskinan. Sisanya, digunakan untuk sibuk menaikkan harga barang,” tegas Awan. Tak hanya itu, demikian Awan, kebijakan perencanaan pembangunan nasional termasuk program penanggulangan kemiskinan akhirnya dikontrol pasar—yang umumnya melalui structural adjustment policy.
Sementara itu, Sutoro Eko menyarankan dua hal agar penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah bisa efektif. Pertama, tempatkan daerah sebagai pemain utama dalam me-ngatur daerahnya. Intervensi pusat mesti dikurangi agar daerah mampu untuk merumuskan kebijakan dan mengawalnya dengan baik. Karenanya, pusat harus mengubah cara pandang, dengan memosisikan diri sebagai pendukung daerah. Bukan sebaliknya, daerah yang mendukung pusat.
Kedua, desain program penanggulangan kemiskinan harus mengoptimalkan peran desa sebagai ujung penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, karena desa sejatinya mampu untuk menghidupkan kembali potensi-potensi lokal. Sutoro memberikan contoh desa yang ada di Jembrana. Berdasarkan beberapa riset yang ia lakukan di Jembrana, desa-desa di sana mampu untuk mandiri karena dibangun atas inisiatif lokal. Mereka mampu menjadikan potensi lokal sebagai sumber kehidupan yang berkelanjutan. Desa seperti inilah yang dimaksud Sutoro sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan.

 

Ardin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.