Setiap manusia maupun organisasi selalu menciptakan institusi, sebagai bentuk tatakelola untuk mengelola kaitan antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam. Demikian juga dengan desa, yang mempunyai institusi lokal yang mereka bentuk sendiri maupun yang dibentuk pemerintah dari atas. Di masa lalu, institusi lokal desa mengandung tiga pilar utama yang saling berkaitan (komunitas, sumberdaya dan tatakelola), yang membentuk dirinya sebagai self governing community. Tatakelola dikendalikan secara tradisional oleh pemimpin lokal yang digunakan untuk mengatur dan mengurus sumberdaya untuk kepentingan dan kemakmuran komunitas lokal secara komunal. Dalam literatur, skema institusional itu disebut otonomi asli desa (indigenous autonomy), maupun kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang mengutamakan aspek kecukupan, keseimbangan dan keberlanjutan.
Tetapi institusi lokal dan tiga domain desa itu terus-menerus mengalami perubahan ketika Orde Baru memperkenalkan modernisasi dan pembangunan yang masuk desa. Modernisasi dimaksudkan untuk mengubah institusi lokal tradisional menjadi institusi modern secara seragam di berbagai sisi: administrasi, struktur organisasi, lembaga kemasyarakatan serta berbagai bidang pembangunan (infrastruktur, pendidikan, kesehatan, pertanian dan sebagainya). Intervensi pemerintah terhadap desa ini menciptakan perubahan domain, dari domain lama (komunitas, sumberdaya dan tatakelola) menjadi domain baru (pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan). Desa merupakan organisasi pemerintahan yang menjalankan fungsi public regulations, public goods dan empowerment. Di ranah pembangunan, pemerintah berupaya membawa program-program dan dana pembangunan masuk desa. Infrastruktur merupakan bentuk utama pembangunan yang bekerja di ranah desa. Kemasyarakatan merupakan kegiatan sosial keagamaan, yang di dalamnya sarat dengan kegiatan-kegiatan silaturahmi hingga pemanfaatan modal sosial untuk tolong menolong bersama.
Pembangunan merupakan tema utama, yang diyakini pemerintah untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa. Kebijakan dan praktik pembangunan yang masuk desa itu selama empat dekade sangat dipengaruhi oleh pemikiran Bank Dunia. Model pembangunan perdesaan pada tahun 1970-an sampai 1980-an sangat dipengaruhi oleh aliran ekonomi klasik, yang menerapkan model integrated rural development (IRD), yakni memadukan berbagai sektor, baik pertanian, infrastruktur maupun pelayanan sosial untuk memacu pendapatan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi. IRD pada waktu itu bersifat top down, seragam, serta kurang menyentuh institusi dan partisipasi. Program revolusi hijau mengalami kegagalan, tetapi IRD juga berhasil menumbuhkan kota-kota kecil (small town) di level kecamatan, yang setiap kecamatan dibangun infrastruktur, sekolah, puskesmas, kantor pos, pegadaian, BRI, pasar, subterminal, ruko, dan sebagainya. Kota-kota kecil itu semakin ramai sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik, yang sekarang menjadi ibukota baru bagi daerah-daerah pemekaran.
Pada tahun 1990-an Bank Dunia mengganti IRD menjadi community based development (CBD), tetapi model ini tidak berumur panjang, yang kemudian digantikan dengan community driven development (CDD). CDD diterapkan dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dari tahun 1998 hingga 2006, yang ditopang dengan utang luar negeri, dan kemudian diteruskan dengan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) sejak 2007. Karena komponen rupiah jauh lebih besar daripada komponen dollar (utang), maka Presiden memberi nama PNPM Mandiri.
Sutoro Eko dan Borni Kurniawan