Lompat ke konten

Dirjen PPMD Kemendesa Menunggu Rekomendasi Perubahan Kebijakan dari IRE

  • oleh
Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika, Direktor Jenderal (Dirjen) Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Desa, Kementerian DPDTT, sedang menjelaskan regulasi BUMDesa di Roudtable Discussion (RTD) “Transformasi Ekonomi Lokal melalui BUMDesa” di Jakarta 13 Juni 2016

Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika, Direktor Jenderal (Dirjen) Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Desa, Kementerian DPDTT, sedang menjelaskan regulasi BUMDesa di Roudtable Discussion (RTD) “Transformasi Ekonomi Lokal melalui BUMDesa” di Jakarta 13 Juni 2016

Untuk ke sekian kalinya Institute for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta didukung oleh Knowledge Sector Initiative (KSI) membincangkan isu Badan Usaha Milik (BUM) Desa. Kegiatan yang dikemas dalam bentuk round table discussion ini berjudul “Transformasi Ekonomi Lokal melalui BUMDesa”. Diskusi yang melibatkan perwakilan dari empat kementrian—Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigarasi (DPDTT), Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas—serta jaringan IRE, dan beberapa wartawan media nasional ini, diselenggarakan Senin sore, 13 Juni 2016 di Morrisey Hotel, Jakarta.

Acara diawali dengan pemaparan temuan riset IRE tentang isu-isu krusial seputar BUMDesa, yang sudah dikemas dalam naskah policy brief. Naskah singkat itu merekomendasikan setidaknya empat hal penting terkait; orientasi dan pemosisian BUMDesa, kewenangan pengelolaan aset di desa, penyertaan modal pada BUM Desa, dan bentuk badan hukum BUM Desa dan unit usahanya.

Sebelum peserta lain merespon pemaparan itu, Dr. Arie Sujito, peneliti senior IRE yang juga anggota Satuan Tugas (Satgas) Dana Desa Kementerian Desa, menegaskan bahwa ide besar BUMDesa adalah sebagai motor ekonomi desa. Karena itu menurutnya, cara pandangnya harus berbeda dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badang Usaha Milik Daerah (BUMD). Selain itu, menurutnya persoalan birokratisasi juga masih menghambat misi BUMDesa, sehingga merintangi inisiatif-inisiatif desa.

Sementara itu, peserta yang mewakili Direktur Pengembangan Usaha Ekonomi Desa (PUED) Kemendesa banyak menyoal tentang regulasi terkait BUMDesa, yang dinilainya masih banyak mengandung persoalan. Disamping itu, dia menegaskan bahwa pihaknya setuju badan usaha kolektif desa itu mengedepankan sisi kemanfaatan sosial (benefit) bagi masyarakat, tidak melulu mengejar keuntungan ekonomi (profit), agar aura desa tidak justru hilang. Soal badan hukumnya, “Koperasi dan BUMDesa sangat berbeda, BUMDesa cukup ditetapkan dengan peraturan desa,” terangnya.

Sedangkan, perwakilan dari Bappenas menyoal tentang status hukum BUMDesa saat ini yang akan menjadi masalah ketika badan usaha itu berkembang pesat di kemudian hari. Menurutnya, ketika berkembang pesat BUMDesa mungkin akan melakukan ekspansi hingga melibatkan desa lain. Persoalan sumber daya manusia (SDM) pengurus BUMDesa juga disinggungnya, bahwa pada awalnya mereka akan bekerja temporer, namun ketika maju, pasti akan memerlukan SDM yang lebih besar dan bekerja fulltime.

Herbert, mewakili Kemenko PMK, menyoroti soal rekomendasi policy paper, yang sebenarnya mudah ditindaklanjuti. Namun, ketika sudah ada regulasi-regulasi baru, implementasinya pasti tidak akan mudah, ketika BUMDesa hadir di tengah kondisi yang sudah jalan. Dia juga juga mengatakan bahwa kearifan lokal harus jadi prioritas ketika mengembangkan BUMDesa, dan badan usaha itu sebaiknya lebih segmented, tidak mengelola semua hal, agar tidak jadi “predator” bagi usaha kecil lain milik warga desa.

Peneliti senior IRE yang lain, Dr. Bambang Hudaya menjelaskan bahwa kelahiran BUMDesa menjadi jawaban, ketika kekuatan ekonomi desa tengah “rapuh” menghadapi globalisai yang terus melemahkan keswadayaan di desa. Karena itu, menurutnya perlu ada roadmap agar BUMDesa menjadi payung ekonomi masyarakat kecil, agar keuntungan BUMDesa bisa menggerakkan ekonomi lokal. Dengan begitu, desa kembali menjadi self governing community dimana desa memiliki tanggungjawab besar untuk menggerakkan ekomomi masyarakat dan pengentasan kemiskinan. “BUMDesa harusnya mampu menjawab persoalan riel di desa. Misalnya, masalah pangan, air bersih, energi terbarukan, dan problem lingkungan hidup lainnya”, jelasnya.

Merespon kekawatiran peserta dari Vivanews.com bahwa BUMDesa dapat mengalami industrialisasi dan mengancam kelestarian lingkungan hidup, Dr. Arie Sujito kembali menjelaskan bahwa mengikuti semangat Undang-Undang No.6/2014 tentang Desa (UU Desa), BUM Desa harus lahir dari bawah, lokalitas dan corak BUMDesa menjadi penting, serta tidak menuju liberalisasi ekonomi. Karena itu, menurutnya membaca azas dan prinsip BUMDesa haruslah utuh, dan mengubah mindset pemerintah desa agar lebih peka terhadap aspek ekologi desa menjadi tantangan yang harus diselesaikan.

Berbicara di akhir sesi, Prof. Dr. Ahmad Erani Yustika, Direktor Jenderal (Dirjen) Pembangunan dan Pengembangan Masyarakat Desa, Kementerian DPDTT, mengakui adanya perkara serius yang musti segera diatasi. Dia mencontohkan kasus UPK yang saat ini problematik, karena sejak awal desainnya bermasalah dan ada carut marut kepentingan. “Kita tidak boleh mengulangi hal yang sama, BUMDesa jangan sampek seperti itu,” tegas Erani.

Menurutnya, dalam memilih jenis usaha, BUMDesa dapat mengacu pada spirit Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Karena itu masih menurutnya, BUMDesa harus bergerak dari cabang-cabang produksi tersebut, seperti pengelolaan air dan sumber daya alam lainnya.

Erani mengakui bahwa masih banyak persoalan menyangkut BUMDesa yang harus dipecahkan. Soal regulasinya juga masih belum beres. Karena itu, pihaknya sangat menghargai peran dan dukungan IRE untuk merumuskan rekomendasi perubahan kebijakan yang juga tengah dia tunggu. Erani berjanji akan menindaklanjuti rekomendasi yang akan dihasilkan dari kegiatan sore itu (13/6) dengan perubahan kebijakan jika memang diperlukan. “Selama rekomendasi itu ada di jangkauan kami, maka akan kami tindaklanjuti,” pungkasnya. (Sg. Yulianto, Peneliti IRE)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.