Lompat ke konten

Desa Penjaga Hutan: Memaksimalkan Konservasi, Meminimalkan Kuasa

Akhir-akhir ini konfl ik agraria banyak bermunculan di berbagai belahan bumi Nusantara yang ditandai dengan ti ndak kekerasan baik oleh aparatur negara maupun perusahaan kepada masyarakat desa. Desa selalu menjadi arena konfl ik dan sekaligus menjadi korban atas ti ndak kekerasan tersebut. Munculnya konfl ik agraria berpangkal pada disain aturan atau regulasi tentang tata kelola sumber daya alam yang nyaris tidak pernah berpihak kepada desa. Padahal semua sumber daya alam berada di desa.

Apa yang terjadi dengan tragedi kemanusian di Mesuji, Kebumen, Kulonprogo maupun Bima beberapa waktu lalu, merupakan serangkaian contoh dampak keti dakberesan negara dalam mengatur kekayaan agraria nasional. Sumber-sumber daya alam penti ng yang mempunyai nilai strategis untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat malah menyengsarakan masyarakat desa. Masyarakat Mesuji harusberhadapan denganĀ  kebijakan negara yang memberi konsesi berlebihan kepada perusahaan perkebunan. Petani Urut Sewu di Kebumen terancam kehilangan aset tanah mereka karena kebijakan sepihak TNI yang mencaplok tanah ulayat dan tanah masyarakat desa untuk industri penambangan pasir besi dengan menumpang kebijakan tata ruang dan argumentasi sebagai pusat lati han tempur TNI. Demikian pula dengan masyarakat Bima yang lebih memilih mempertahankan hutan merega sebagai cagar alam daripada merelakannya menjadi area
produksi tambang. Karenanya mereka rela berhadapan dengan alat negara (TNI dan POLRI), demi mempertahankan kedaulatan mereka atas potensi agraria.

 

Borni Kurniawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.