Ada dua momentum besar sedang berlangsung di negeri ini. Momentum yang pertama adalah kepemimpinan nasional yang berpihak dan berorientasi membangun Indonesia dari pinggiran dan desa. Sedangkan momentum kedua adalah pelaksanaan UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), yang mendudukan desa sebagai subyek pembangunan (disebut desa membangun), bukan lagi obyek pembangunan. Joko Widodo dan Jusuf Kalla sejak masa kampanye Pilpres 2014 telah merumuskan 9 agenda prioritas (Nawa Cita). Setelah resmi menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, nawa cita tersebut menjadi agenda prioritas kepemimpinan nasional yang ditetapkan dalam dokumen RPJMN 2015-2019, dimana prioritas ketiga adalah “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.” Pilihan prioritas ketiga ini pun jika dicermati secara seksama merupakan pilihan sadar untuk mengembangkan kebijakan desentralisasi asimetris di Indonesia dan mematuhi mandate UU Desa yang telah ditetapkan pada akhir tahun 2013.
Desentralisasi asimetris menjadi wacana korektif atas praktik sistem desentralisasi yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade di negeri ini. Keragaman daerah akibat faktor geografis, sosial, budaya dan potensi ekonomi tidak mungkin lagi diwadahi melalui sistem hubungan pusat dan daerah yang seragam (symmetrical decentralization). Kehendak inilah yang tercermin dalam rumusan gagasan untuk membangun dari pinggiran, suatu penegasan pengakuan bahwa Indonesia itu beragam dan butuh perlakuan yang beragam pula. Hal yang sama pun tercermin di dalam asas pengaturan desa oleh UU Desa. Sejumlah 74.754 desa di negeri ini memiliki keragaman sejarah, geografis, kapasitas SDM dan SDA, sehingga membutuhkan pengakuan (recognition) dan penghormatan (subsidiarity) dari negara. Masalahnya sejauh ini perhatian dan fokus pembangunan mengabaikan daerah dan masyarakat pinggiran, baik itu di daerah perbatasan maupun pulau-pulau terluar. Bahkan, dalam pengertian tertentu masyarakat pinggiran di desa-desa pun mengalami nasib serupa.
Cerita getir berikut bisa menjadi gambarannya. Lumbis Ogong di Kabupaten Nunukan Propinsi Kalimantan Utara (Kaltara) mengagetkan public dan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo. Tiga desa di kecamatan yang berbatasan darat langsung dengan wilayah negara Malaysia ini, dikabarkan telah menjadi wilayah Malaysia. Kabar ini seakan menampar Menteri Desa, PDT dan Tranmigrasi yang kemudian menegaskan, “desa-desa perbatasan harus diurus dan diprioritaskan dalam pembangunan”. Selain kisah lepasnya desa Lumbis Ogong, tersiar kabar juga beberapa warga desa di Kabupaten Malinau Propinsi Kaltara memiliki identitas kewarganegaraan ganda (KTP, IC). Bahkan ada pula warga desa yang melakukan eksodus ke Malaysia. Informasi ini menyiratkan bahwa masyarakat yang tinggal di desa-desa perbatasan menghadapi dilema, antara mempertahankan nasionalisme atau memenuhi kebutuhan makan.
Sunaji Zamroni
Artikel dipaparkan dalam “International Seminar and Workshop Developing from the margins: Exploring marginal groups as part of Indonesia’s nation-state”, pada tanggal 9-10 November 2016 di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur